Menuju konten utama

Dino Patti Djalal Bicara Manuver Politik Luar Negeri Prabowo

Dino Pati Djalal meminta Prabowo berani menolak permintaan asing jika tak sejalan dengan kepentingan bangsa sesuai asas politik bebas aktif Indonesia.

Dino Patti Djalal Bicara Manuver Politik Luar Negeri Prabowo
Header Wansus Dino Patti Djalal. tirto.id/Tino

tirto.id - "Alhamdulillah Pak Prabowo langsung gaspol. Beliau sudah langsung tahu apa pentingnya G-20 dan APEC juga, dan saya kira pesan yang paling penting itu adalah I'm here, I want to be a player, saya mau menjadi player di kancah internasional dan juga saya mau fast start."

Begitu lah tanggapan Mantan Wakil Luar Negeri, Dino Patti Djalal, melihat Presiden RI Periode 2024-2029, Prabowo Subianto, yang melakukan lawatan luar negeri usai dilantik sebagai Presiden RI. Bagi Dino, Prabowo menunjukkan sebuah perbedaan dibanding Presiden Jokowi saat memimpin Indonesia. Dino melihat, mantan Menteri Pertahanan itu sedang memperkuat eksistensi Indonesia di luar negeri, sebuah aksi yang berbeda daripada Jokowi.

Meskipun mengapresiasi, Dino mengingatkan bahwa pemerintahan Prabowo perlu berani berkata tidak dalam menghadapi asing. Ia mengingatkan potensi hubungan buruk AS dan Tiongkok yang mungkin memanas di era Donald Trump. Indonesia harus mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.

"Nah menangani Tiongkok dan Amerika yang paling penting tahu nggak apa, jangan ragu say no. Jadi, ukuran bebas aktif itu sekarang adalah nyali kita untuk say no. Bukan kemauan untuk say yes karena say yes itu kan gampang. Kita mau sama ini baik, sama itu baik. Ya, yes, yes. Tapi bebas aktif itu diukur dari kalau kita harus, kita bisa say no. Ya kan?" kata Dino.

Berikut perbincangan lengkap Tirto dngan Dino Patti Djalal:

Gimana kabarnya?

kabar baik, terima kasih

Sibuk apa, pak?

sibuk persiapan konferensi luar negeri terbesar di dunia, yang dilakukan di Indonesia nanti. Nanti kita bicara itu.

Sebelum ngobrol konferensi luar negeri kita, kita mau sedikit tanya pendapatnya juga. Pak Dino pernah menjabat sebagai diplomat pernah, wakil menteri luar negeri pernah, kemarin kan kita tahu Pak Prabowo abis keliling selama 10 hari mulai Tiongkok sampai akhirnya kemarin pulang. Kalau misalkan Pak Dino sendiri melihat dari lawatan Pak Prabowo seperti apa kebijakan luar negeri Pak Prabowo, yang mungkin jadi highlight untuk Pak Dino?

Pertama terima kasih mengundang saya di podcast ini ya. Menurut saya memang dari awal perlu disadari bahwa politik luar negeri itu mempunyai peran yang sangat strategis ya, untuk semua program pembangunan, program ekonomi, yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Jadi, senang sekali saya melihat Pak Prabowo langsung memutuskan untuk melakukan kunjungan kerja ke luar negeri ini, baik secara bilateral maupun forum APEC dan G-20. Kenapa? Beliau memberikan isyarat I'm here kepada dunia internasional. Kenapa ini penting? Waktu dulu Pak Presiden Jokowi, waktu 2014, kan beliau sangat fokus kepada dalam negeri dan tidak tertarik kepada dunia internasional, bahkan banyak cerita beliau itu sampai nanya, "Ngapain sih saya harus ke G-20?", misalnya. Ya kan? Padahal kan penting sekali ya dan juga di ASEAN pun beliau sangat waktu itu agak reluctant ya, untuk ikut-ikut acara KTT ASEAN. Padahal ASEAN kan yang paling utama bagi politik luar negeri.

Nah alhamdulillah Pak Prabowo langsung gaspol. Beliau sudah langsung tahu apa pentingnya G-20 dan APEC juga, dan saya kira pesan yang paling penting itu adalah I'm here, I want to be a player, saya mau menjadi player di kancah internasional dan juga saya mau fast start, jadi mulai dengan cepat karena dulu kalau kita lihat waktu Pak Jokowi term pertama, baru term kedua mulai aktif di politik luar negeri. Itu pun pada paruhan kedua di term kedua. Term pertama sangat tidak tertarik masalah itu dan saya lihat Pak Prabowo juga nampaknya akan memerhatikan aspek multilateral karena waktu Presiden Jokowi dulu, 10 tahun tidak permah sekali pun ke sidang majelis umum PBB. Padahal kan Indonesia apa, kita kan adalah anggota PBB, tapi juga selalu pelopor multilateralisme. Kita kan dari dulu pendekarnya. Ini sinyal yang kuat itu adalah ketika Presiden Prabowo bertemu dengan Sekjen PBB Antonio. Saya yakin sekali setelah pertemuan itu, nanti tahun depan, bulan September, beliau akan ke PBB ya. Walaupun tentu belum direncanakan, belum diumumkan, saya yakin beliau akan melakukan kunjungan dan pidato di PBB. Itu menandakan Indonesia benar-benar full akan berkiprah di diplomasi multilateral.

Mungkin karena sedikit berbeda dengan Pak Jokowi, kesannya kan kemarin menyerahkan ke Bu retno kebanyakan kerja diplomasi dan kerja luar negeri ini. Kalau Pak Prabowo ini...

Ini kayaknya kebalik nih

Bakal dia yang lebih aktif?

Bahkan di kalangan dunia internasional, orang sudah bisik-bisik, ini kayaknya Presiden merangkap Menlu karena kalau kita lihat, kemarin apa, yang diliput media, sepenuhnya adalah, sepenuhnya adalah pidato beliau. Di G-20, APEC, dan sebagainya, bilateral juga dan belum ada konferensi pers nih, ya kan.

Iya, setelah lawatan 10 hari kemarin belum ada yang disampaikan kembali.

Dan Menlu pun saya lihat sampai sekarang belum ada penjelasan mengenai politik luar negeri. Mau diapain nih? Kan beliau kan manajernya, yang punya gawe kan Pak Prabowo, tapi beliau manajernya. Nah, jadi kita masih menunggu. Kita sih berharap Menlu, Menlu harus komunikatif. Alatas, Nochtar, Marty, Hasan Wirayuda, Retno, tugas Menlu adalah untuk memberikan penjelasan lebih detail mengenai operasional dan latar belakang dari langkah-langkah diplomasi kita.

Atau mungkin karena ada tantangan. Kan kesannya karena ini pertama kali menlu kita bukan dari Menlu karier, gitu. Jadi Pak Prabowo masih banyak in charge di sini. Ada hal seperti itu mungkin?

Enggak. Kalau saya lihat di India, India. Jadi, masukan saya untuk Pak Sugiono, think Jai Shinkar. Di India itu kan ada, pemimpin yang sangat kuat, bukan kuat saja, sangat kuat. Itu Modi. Ya kan. Kemudian, sudah kayak dewa lah Modi. Tapi Menlunya juga sangat lantang, sangat lantang.

Mengimbangi ya yang ditampilkan keluar pun sama dengan pemimpin utamanya?

Karena pemimpin utamanya tidak bisa melakukan semuanya. Jadi pemimpin utama itu nanti akan hadir di KTT, konferensi tingkat tinggi, ya kan? Tapi kan digodoknya, dimasaknya, di dapurnya, itu kan oleh Menlu dan dirjen. Gitu. Banyak sekali pertemuan, banyak sekali pertemuan, di mana presiden tidak mungkin akan hadir, tapi yang hadir, yang menggodok, itu adalah Menlu.

Jadi, Menlu harus komunikatif, harus bersuara, harus visible, harus tampil dan dilihat orang, harus berbedat, dan harus melobi, ada lobi yang di belakang layar, tapi ada juga yang harus tampil ke depan. Kenapa karena publik harus diyakinkan? Yang paling penting tau enggak apa, foreign policy begins at home. Ya kan. Politik luar negeri itu, dia harus kuat di rumah. Dan untuk kuat di rumah apa, dia harus menjelaskan ke rakyat. Rakyat harus dukung. Apapun sistem politiknya. Apakah di Tiongkok, sistem politik komunis, atau di Amerika yang liberal, atau di Indonesia, atau di mana pun. Foreign policy begins at home.

Karena dia mewakili seluruh di Indonesia. Jadi di Indonesia sendiri harus satu suara?

Benar, dan jangan sampai ada politik luar negeri yang rakyatnya enggak paham karena tidak dijelaskan.

Ini satu hal yang menarik sebenarnya, yang banyak di hightlight oleh teman-teman media. Soal kemarin kunjungan pertama ke Tiongkok, Cina, lalu ada pernyataan untuk joint development di perbatasan, di wilayah-wilayah yang tumpang tindih. Itu kan langsung ramai, wah apakah ini maksudnya di laut Cina Selatan dan sebagainya, lalu Indonesia tampaknya jadi pro Cina banget setelah sebelumnya juga mengajukan atau berkata gabung BRICS. Kalau dari Pak Dino melihat dari urutan lawatan dan juga pernyataan tersebut, sebenarnya apakah itu kesalahan. Aku mungkin enggak tahu ya, apakah itu kesalahan dalam nota, apakah itu akan berpengaruh ke kedaulatan kita di Laut Cina Selatan atau Natuna Utara. Atau seperti apa? Atau memang ada arah perubahan kebijakan dalam hal diplomasi di Natuna?

Kalau menurut saya, tidak ada satu pun wilayah Indonesia yang tumpang tindih dengan Tiongkok. Tidak ada. Baik darat, maupun laut dan ini juga insyaallah sudah di-clear-kan walaupun tidak terlalu explicit oleh Kemenlu bahwa kita tidak mengakui Nine Dash Line dari Tiongkok. Jadi, kita pantau saja bagaimana nanti mereka mengurus hal ini ke depan karena ini dinding ini enggak boleh bocor nih. Dinding kedaulatan dan kewilayahan kita dan kita hanya bisa berunding berdasarkan hukum laut internasional, dan berdasarkan undang-undang dalam negeri kita sendiri. Kalau berdasarkan dua hal itu, sama sekali kita tidak mempunyai wilayah yang tumpang tindih dengan Tiongkok. Baik di darat, darat jelas enggak, dan di wilayah laut mana pun di kita. Makanya Pak Menlu harus komunikasi, harus bicara, menjelaskan.

Karena jadi cukup, perdebatan yang cukup ramai, yang dimaksud joint development di wilayah-wilayah yang tumpang tindih maksudnya seperti apa?

Karena ini kedaulatan kan, jadi makanya jadi ramai. Makanya kita harus juga hati-hati menanggapi hal ini.

Tapi mungkin kita menunggu ini ya, klarifikasi lebih lanjut. Walau pun kemarin kan pihak Kemlu sudah mengeluarkan pernyataan dan Pak Prabowo pun di pidatonya juga menyampaikan kembali yang seolah-olah mengklarifikasi yang ini, tapi mungkin tetap perlu ada komunikasi lebih lanjut dengan wilayah atau dengan China sendiri?

Ya, mungkin karena, saya tidak tahu proses pembuatan joint statement seperti apa, biasanya kan ada drafnya, terus ada proses filter-nya, dan sebagainya. Tapi yang saya apresiasi ucapan Pak Presiden Prabowo bahwa beliau tidak akan mengkompromikan kedaulatan Indonesia. Jadi, saya dukung itu. Ini bagi saya personal karena ayah saya berpuluhan tahun, saya sering enggak ngelihat ayah saya kenapa, beliau ke Genewa, PBB, negosiasi puluhan tahun. Saya yang jagain ibu saya.

Jadi, bagi saya ini personal, ini perjuangan harus dijaga dan jangan sampai kita pernah menyatakan ada tumpang tindih dengan Tiongkok. Mungkin itu untuk ke depan perlu diperhatikan dan sekali lagi saya apresiasi ucapan presiden bahwa beliau tidak akan mengalah atau kompromi masalah kedaulatan.

Oke kita tunggu selanjutnya akan seperti apa. Karena setelah itu beliau ke Amerika bertemu banyak orang. Kalau dari Pak Dino sendiri melihat pertemuan ke Amerika, terpilhnya Trump, bagaimana mungkin gaya Pak Prabowo menavigasi dua polarisasi, Cina dan Amerika dengan Trump kan kesannya lebih apa ya, lebih strong, gitu?

Yang paling penting sih gini, kalau mengenai Trump, saya tidak terlalu khawatir karena nampaknya chemistry kedua orang itu baik, apalagi mantunya Trump sudah dijamu oleh Presiden Prabowo di Jakarta. Dia jauh-jauh datang ke Jakarta dan kesannya juga bagus. Trump itu intinya apa, dia gampang diambil hatinya, apalagi kalau masuk keluarga. Jadi dari sana, saya kira kita punya modal yang baik, mulainya enak. Mungkin tahun pertama kalau bisa ada kunjungan, seharusnya karena Pak Prabowo sudah ke sana, seharusnya Trump yang ke Indonesia.

Tapi dari segi Trump, yang bisa diantisipasi adalah beliau kasih tarif ke Tiongkok. Tarif ke Tiongkok dan kalau itu terjadi nanti trade war, kita bisa masalah. Kalau terjadi decoupling yang lebih luas, kan sekarang udah decoupling, decoupling tuh perusahaan internasional, termasuk Amerika yang keluar dari Tiongkok. Kita bisa berupaya agar mereka masuk ke Indonesia. Tapi kita harus menjamin bahwa iklim investasinya bagus.

Sekarang ini investor banyak yang bilang, gimana nih kok IPhone 16 aja enggak bisa masuk. Nah itu harus dijawab dengan baik oleh Pak Rosan dan Menlu juga dan lain sebagainya gitu. Tapi, yang penting memang kita harus pintar berstrategi.

Nah menangani Tiongkok dan Amerika yang paling penting tahu nggak apa, jangan ragu say no. Jadi, ukuran bebas aktif itu sekarang adalah nyali kita untuk say no. Bukan kemauan untuk say yes karena say yes itu kan gampang. Kita mau sama ini baik, sama itu baik. Ya, yes, yes. Tapi bebas aktif itu diukur dari kalau kita harus, kita bisa say no. Ya kan?

Prabowo tiba di Bandar Udara Stansted

Presiden Prabowo Subianto tiba di Bandar Udara Stansted, London, Inggris , 20 November 2024. muchlis jr/Biro Pers Sekretariat Presiden

Tapi kayaknya susah?

Bisa. Waktu saya di pemerintah, tugas saya selalu disuruh Pak SBY, ya lah, disuruh Pak Marty, say no. Sering, sering. Enggak susah dan kita, kan itu esensi dari kedaulatan. Kita enggak bisa dipaksa. Ditekan bisa. Ditekan bisa. Bahwa pasti akan ada negara yang neken kita. Tapi sebagai diplomat, itu kan makanan kita. Makanan kita. Kalau nggak mau diteken orang, jangan jadi diplomat. Ya kan. Justru seninya gitu. You neken saya, saya juga neken balik. Saya tahu berkelitnya gitu. Ya kan? Nah itu yang paling penting. Jadi kita berhubungan dengan Tiongkok, sama Amerika, siapapun presidennya, Xi Jinping atau Trump, kapan kita say no? When we have to. Nah, itu yang paling penting, And do we do that or not? Gitu. Ya kan? Karena enggak mungkin kan semuanya kita say yes. Jadi asal beliau bisa menjaga itu, bebas aktif kita, saya kira dalam kondisi yang baik.

Tapi kita bakal terus dengan politik bebas aktif ini berarti ya Pak? Maksudnya tuh dengan lawatan Pak Prabowo kemarin dan lain sebagainya, arah politik bebas aktif ini akan tetap dipertahankan?

Bebas aktif itu adalah prinsip, bukan strategi. Ya kan? Nah jadi PR terbesar bagi saya, menurut saya, adalah beliau sudah menegaskan prinsip kita enggak berubah dan memang enggak boleh berubah. Itu kan bebas aktif ya. Kita enggak boleh terikat pada siapapun secara militer, tapi strategi itu harus dirumuskan.

Nah, strategi itu yang kita sekarang sedang tunggu apa strateginya? Konsep dan strategi. Karena dari bebas aktif itu bisa ada seribu strategi. Ya kan? Ada berbagai konsep bisa lahir dari bebas aktif. Ya ini kan kayak gini aja. Kita kan mungkin anak muda ada yang nonton, kayak saya Rina, saya single. Nah single itu bebas aktif. Nah tapi intinya, oke. Rina rencananya mau apa? Mau sekolah terus, ada sarjana. Atau mau kawin atau mau cari suami yang kaya, atau mau bikin usaha? Itu semua perlu ada konsep. Semua jadi ibu yang baik. Strateginya apa? Saya harus cari suaminya yang baik. Jadi ada konsep dan ada strategi. Berdasarkan kebebasan yang ada itu.

Oh menarik ini ya. Mengibaratkan bebas aktif ini dengan kondisi. Misalkan kayak sekarang single, lalu nanti turunan strateginya seperti apa? Kalau udah punya konsepnya, oh pengen ini-ini?

Nah itu yang harus dijabarkan. Saya kira mungkin paling nggak dalam 3-6 bulan pertama perlu dijabarkan.

Tapi kan kalau misalkan kita ngelihat Pak Prabowo ini kan banyak fokus programnya sebenarnya dalam negeri ya, Pak? Dari mulai pangan, makan gratis, atau juga nanti pendidikan, dan lain sebagainya gitu. Paling mungkin yang soal pertahanan keamanan gitu ya. Mungkin karena dia dari militer. Tapi kalau misalkan dari Pak Dino sendiri melihat hasil lawatan kemarin itu sebenarnya lebih untuk mendapatkan investasi atau misalkan juga lebih untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia. Dan tadi kalau Pak Dino bilang, I'm here gitu. Dampaknya untuk program-program dia selanjutnya seperti apa sih Pak?

Ya kalau menurut saya ini kan it's a long game kan? Misalnya untuk program makan gratis, it's a long game. Ini akan lima tahun ke depan. Hilirisasi juga lima tahun ke depan. Net zero transition, green transition juga lima tahun ke depan. Masih akan jalan terus. Tapi paling enggak beliau sudah kasih beberapa pilar ya ke arah sana gitu ya.

Misalnya, untuk net zero itu beliau udah bilang target kita 2050 sekarang. Itu luar biasa tuh. Karena itu posisi FPCI juga dari awal kita minta pemerintah target 2050. Dan kami senang sekali sudah dinyatakan oleh Pak Prabowo. Dan adiknya, Pak Hasyim ke KOP di Baku dan menyatakan 75 gigawatt dari 100 listrik yang akan ditambah itu akan dari energi hijau. Jadi bagus di sana. Dan kemudian beliau bilang juga mau belajar dari Brazil, dari Tiongkok, mengenai cara untuk makan siang gratis dan saya kira banyak komponen luar negeri untuk program dalam negeri yang ada gitu.

Tapi kembali untuk IKN kan orang mungkin sudah tahu IKN, ya hati-hati dan saya senang beliau enggak ngomong mengenai IKN gitu ya karena IKN itu kan mahkota kedaulatan kita dan negara-negara lain itu kan enggak ada yang mahkota kedaulatannya itu tawar-tawar ke luar negeri. Kan gengsi doang. Itu kan ibu kota negara. Yang lain boleh lah Batam, itu investasi. Itu, kan lain. Ini kan kedaulatan kita. Saya senang sekali sekarang tidak lagi begitu. Nah dulu saya yang agak kritis tuh. Paling kritis malah. Tapi kritisnya kan wajar gitu ya. Dan orang juga umumnya mendukung, 99 persen waktu saya bikin pernyataan mengenai IKN. Jangan, itu kedaulatan kita jaga gitu ya. Bukan untuk diobral gitu ya ke luar negeri, 99 persen mendukung dan menyambut baik.

Beruntungnya Pak Prabowo mungkin juga mendengar hal tersebut dan ya tidak melakukan kesalahan, bukan kesalahan ya, mungkin tidak melakukan hal yang sama. Nah tadi Pak Dino juga udah ngobrol-ngobrol soal FPCI juga mendorong ya, kayak Net Zero Emission di Indonesia targetnya kapan, kan mundur. Sebenarnya aku pengen tahu FPCI ini apa sih Pak? Karena Bapak kan mendirikan FPCI setelah purnatugas ya? Visinya itu apa? Mendirikan apa? Foreign Policy Community of Indonesia?

Kita ini tadinya sih, gini. Saya keluar dari pemerintahan dan kemudian FPCI ini saya bentuk karena saya ingin masyarakat tadi paham mengenai politik luar negeri. Kan kita banyak misalnya anti-asing. Pokoknya kalau asing itu seakan-akan, di Indonesia itu istilah asing itu negatif. Padahal realitanya ini saya hadapi sebagai diplomat ya dan sebagai intelektual juga, kan saya akademisi. Negara yang maju dimanapun di dunia ini. Dari 200 negara itu hanya segelintir yang maju dan bisa transformasi. Kenapa? Karena mereka bisa merangkul dan memerah sumber-sumber asing. Sumber-sumber internasional.

Tiongkok, Tiongkok negara yang paling anti asing waktu jamanya Mao Zedong. Akibatnya mereka menjadi bangsa yang paling miskin di Asia. Jutaan orang mati kelaparan karena mereka menutup diri. Semua yang serba luar itu mereka ini. Mereka apa namanya? Musuhi gitu. Akhirnya Mao Zedong meninggal, Deng Xiaoping naik. Dan Deng Xiaoping bilang, enggak, kita butuh teknologi dari luar. Kita enggak punya. Kita butuh modal dari luar. Kita enggak punya. Kita butuh ini dan itu modernisasi dari luar. Kita enggak punya. Akhirnya mereka buka, segala macam. Berdasarkan kepentingan mereka. Tidak menjadi kaki tangan asing. Jadi, asing itu dijadikan alat bagi mereka untuk memperkuat diri. Dan akhirnya apa? Sekarang ekonomi terbesar di dunia siapa? Kan Tiongkok. Manufaktur terbesar. Trading, tader, terbesar di dunia inilah itulah. EV terbesar di dunia itu kan Tiongkok. Karena mereka terbiasa dengan itu. Melihat dunia secara cerdas.

Prabowo Subianto di KTT G20

Presiden Prabowo Subianto melakukan sesi foto bersama dengan pemimpin negara dan pimpinan lembaga inernasional, di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil. FOTO/Biro Pers Sekretariat Presiden

Justru ada misi nasionalismenya disitu. Kalian nyebar tapi dikasih misi juga?

Nah itu yang saya ingin yakinkan ke anak-anak muda kita, publik kita. Bahwa kalau kita mau jadi bangsa besar kita harus mempunyai strategi internasional. Kita harus tahu siapa kawan, sumber daya yang ada di luar dengan cerdas, memerah semua itu untuk kepentingan kita. Dan kalau kita semua anti-asing segala macam, enggak bisa. Lihat aja Singapura. Singapura gimana majunya. Karena mereka dnggak ada tuh kayak gitu-gitu.

Padahal di awal kemerdekaan juga kita sudah sangat berkolaborasi dengan dunia internasional. Bikin Asia-Afrika?

Benar dan itu kan bukti. Kita kuatnya juga. Bahkan kita merdeka gimana? Kan kita pakai diplomasi. Di PBB, kemudian kita Partai Buruh di Australia yang bantu. Kemudian Mesir kirim ini, waduh segala macam. Kita dengan cermat dan cerdas memanfaatkan dunia internasional. Itu yang saya ingatkan kepada generasi muda kita. Kalau kamu anti-anti asing semua, mungkin memang ada yang perlu kita cegah. Tapi kalau itu mendominasi pemikiran kamu, kamu nggak akan maju. Enggak akan sukses.

Batasannya hanya mungkin untuk menjaga kedaulatan, oke. Tapi kita bukan anti, gitu kan?

Karena memang kita kan dulu kata yang paling trauma itu adalah eksploitasi. Iya kan? Dulu waktu kita dijajah, dieksploitasi, semuanya segala macam, ditindas dan lain sebagainya gitu kan. Tapi dunia kan berubah sekarang. Sekarang kita yang kontrol negara sendiri. Jadi orang mau masuk, siapapun lah. Segala macam, itu you harus nunduk-nunduk ke kita. Harus bentangin segala macam. Kita bosnya sekarang gitu. Makanya kita buat FPCI. Dan alhamdulillah kita ingin menyebarkan semacam internasionalisme gitu ya. Karena nasionalisme kan enggak cukup.

Berarti Bapak melihat, maksudnya Indonesia ini sebenarnya Indonrsia punya potensi yang besar untuk ya mungkin melakukan hal yang sama kayak Tiongkok dengan penyebaran diaspora, kolaborasi, dan lain sebagainya gitu ya. Apa yang belum dilakukan Indonesia dalam hal itu sebenarnya?

Kita sih udah cukup banyak. Sekarang kita bermain di lini yang berbeda. Kita ingat waktu jamannya Pak Habibie dan Gus Dur dulu. Kita kan reformasi ya kan? Dan ada pemerintahan baru, politik tidak stabil. Pak Habibie sangat, aduh banyak deh ini agenda dalam negeri. Gus Dur juga ada krisis politik dan lain sebagainya gitu. Dan akhirnya kita hanya jadi pemain kandang saja.

Kita enggak ngurusin kawasan, apalagi dunia internasional. Jadi, Indonesia dicuekin tuh. Indonesia dan teman-teman kita di kawasan pada prihatin gitu. Kita kan punya leader hanya satu Indonesia di kawasan Asia Tenggara gitu kan. Nah itu udah di belakang kita sekarang. Ya kan? Sekarang, makanya Pak Prabowo kemarin itu bagusnya apa? Orang bilang, oh sekarang Indonesia sudah jadi pemain. Sudah pemain dan beliau kan juga punya personal approach, ya kan? Yang bisa bergaul lah segala macem.

Salut sih Pak Prabowo. Bahasa Mandarin, bahasa Inggris

Cuma ada dua yang, kalau saya udah nyampein ke Pak Menlu juga. Hanya dua ukurannya tuh. Ini bisa didengar oleh publik kita juga. Politik luar negeri, kita apapun kondisinya, apapun langkahnya, siapapun menlunya, hanya dua ukurannya. Inisiatif sama impact. Inisiatif tuh apa hal baru yang kita lakukan? Kalau Soeharto dulu bikin apa? ASEAN. Ya kan? Soekarno dulu, Asia Afrika dan Juanda bikin Nusantara, yang sekarang jadi wadah. Ada inisiatifnya. SBY dulu banyak ya, tapi ada Bali Democracy Forum. Satu-satunya di Asia forum membahas mengenai demokrasi.

Nah, jadi inisiatifnya apa? Ini harus ada. Tapi bukan inisiatif yang rutin, yang strategis. Kedua, apakah ada impact-nya ke kita sendiri. Atau ada inisiatif yang impact-nya bagus, kayak ASEAN. Itu impact-nya luar biasa. Sampai sekarang masih dirasakan.

Nanti akhir November dilaksanakan konferensinya. Itu berarti sudah satu dekade?

Kita sudah 10 tahun, dan alhamdulilah tadinya itu kantor kita ruangan kecil. Sekarang kita sudah full time, sekitar 25 orang. Sebagai ormas politik luar negeri, kita terbesar di Indonesia. Terbesar di Asia Tenggara, dan terbesar di Indo-Pacific. Jadi cukup bangga lah kita di Indonesia. Orang luar negeri kalau lihat negara kita, kok politik luar negeri enggak laku, tapi di tempat kamu laku banget, banyak yang hadir. Konferensi yang 30 November itu terbesar di dunia, diakui. Dan ada di Indonesia. Gratis. Kalau mau daftar, www.cift2024.com.

Isu luar negeri pada akhirnya kita belajar bagaimana negara lain dengan situasi yang serupa. Misal populisme di negara lain dan Indonesia. Akhirnya kan semua orang membicarakan hal itu juga. Dari Bapak sendiri, citizen diplomacy. Yang dimaksud citizen diplomacy itu apa?

Dulu kan diplomasi itu elitis sekali, jadi antar-presiden, menlu, menteri, pejabat tinggi, dan lain sebagainya. Enggak mungkin diplomasi berhasil apapun programnya kalau rakyatnya enggak mendukung atau bersuara, atau menyenangi hal itu. Makanya sekarang ASEAN doktrinnya berubah, menjadi People Centered ASEAN. Jadi ASEAN yang dirasakan oleh rakyatnya.

Nah citizen diplomacy dalam konteks itu bahwa kita bukan pemerintah, tidak punya kekuasaan, tapi punya power untuk membuat orang paham mengenai diplomacy. Membuat orang paham bahwa kita perlu meng-engage dunia internasional, dan hubungan antara rakyat dengan rakyat di negara lain. Sebagai contoh, perubahan iklim. 2020 itu fokus Covid. Tapi FPCI kita bilang ke pemerintah bahwa kita menangani covid, tapi perubahan iklim mengancam. Enggak bisa dilupakan. Tahun pertama enggak ada yang dengar, tahun kedua mulai didengar, terutama ketika, Presiden Jokowi ke Itali untuk G-20 dan juga ke Glasgow untuk perubahan iklim.

Kita sebagai akar rumput yang paling pertama menyuarakan secara nasional. Kita harapkan Presiden Prabowo atau minimal Menlu Sugiono hadir, kan nanti aneh dong konferensi politik luar negeri terbesar di dunia ada di Indonesia, Menlunya enggak hadir, sementara Presidennya aktif sekali di luar negeri menghadiri forum internasional.

Aksi penanaman pohon di lahan gambut

Siswa menanam pohon di hutan kota Nyaru Menteng, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (28/11/2024). ANTARA FOTO/Auliya Rahman/YU

Ke depan ada agenda lain? Fokus isu atau climate change?

Climate change menurut saya yang paling penting. Kedua, masalah toleransi agama. Karena perang di Gaza ini akan semakin banyak terutama islamophonia. Jangan lupa di Amerika, di dalam tubuh pemerintahan Trump nanti, ada beberapa pejabat yang tidak suka dengan islam. Dari ucapannya ya, saya tidak menuduh, dan dari tindakan mereka sebelumnya. Kalau ada itu, kita harus tegas dan tegar untuk menjaga integritas kita. Jangan takut say no kalau memang harus day no.

Temen muda yang mau menggeluti politik luar negeri. Ada masukan atau tips?

Kalau menurut saya, sepanjang Anda senang melihat masalah-masalah dunia dan melihatnya sebagai tantangan, dan you're in the right place. Itu belajar hubungan internasional. Kayak Asia Tenggara saja tahun 70-an berantem banget. Perang di Vietnam, berapa juta orang meninggal. Genosida di Kamboja, berapa juta. Di Indonesia juga dulu ada konflik yang enggak selesai-selesai. Sekarang kan jauh berbeda, perang Kamboja selesai, Vietnam selesai, 10 negara ASEAN. Kenala vanyak anak muda dan diplomat yang menjadi pekerja diplomasi. Besar harapan saya, kalau melihat sebagai tantangan, bisa beres semuanya, termasuk Israel-Gaza ini. PR terbesar sekarang Palestina harus menjadi negara.

Baca juga artikel terkait FOR YOUR POLITICS atau tulisan lainnya dari Muhammad Naufal

tirto.id - News
Reporter: Muhammad Naufal
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Andrian Pratama Taher