tirto.id - Adlun Fiqri harus berurusan dengan polisi lagi. Belum sampai setahun setelah ia bikin gara-gara pertama dengan korps berbaju cokelat muda itu, kali ini mereka dengan senang hati mencocoknya dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme. Adlun menghadapinya dengan santai, ia menikmati bermain-main dengan aparat negara. Di profil Facebook, ia mencantumkan "Mantan Tahanan" di "Kepolisian Republik Indonesia" sebagai profesi di kolom pekerjaan.
Pada 10 Mei 2016 malam, seperti biasa Adlun menghabiskan waktu di Sekretariat AMAN Maluku Utara. Dua orang bertubuh tegap masuk tanpa mengetuk pintu. Adlun saat itu sedang berselancar di depan laptopnya di kamar paling belakang. "Kamu Adlun? Ikut kami," kata salah satu dari mereka.
"Ada apa ini?" tanya Adlun.
"Pokoknya ikut kami," kata orang itu.
Dengan sepeda motor Adlun dibawa ke kantor Kodim. Di sana ia ditanyai tentang kaos yang sehari sebelumnya ia pamerkan di Instagram dan Facebook. Kaos itu bergambar palu-arit yang tercelup di cangkir kopi dan bertuliskan “Pecinta Kopi Indonesia”. Tahulah Adlun bahwa ia dicokok karena ribut-ribut kiri. Adlun bilang, kaosnya ada di kamar kontrakannya. Mereka meminta Adlun untuk kembali ke sana bersama mereka dan mengambil barang yang dimaksud.
Adlun patuh.
Bukan satu kaos yang dianggap bermasalah itu saja yang diamankan. Beberapa helai kaos yang dianggap "membahayakan kedaulatan NKRI" juga disita, berikut beberapa judul buku koleksi Adlun.
Penangkapan Adlun adalah satu dari sekian banyak aksi yang diterjemahkan dari perintah Presiden Joko Widodo untuk menertibkan segala yang berbau komunis. Menurut laporan majalah Tempo, instruksi untuk menindak “sesuai aturan hukum” semua yang dianggap berbau PKI itu bermula pada rapat terbatas presiden bersama Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, Jaksa Agung M Prasetyo, Kepala BIN Sutiyoso, dan KASAD Jenderal Mulyono.
Setelah pertemuan itu, pada Senin, 9 Mei 2015, Jenderal Badrodin segera menggelar jumpa pers. “Sekarang kalau kamu lihat lambang palu-arit, apa pandanganmu?” kata Badrodin kepada wartawan.
Dalam kesempatan itu beliau menyampaikan arahan presiden untuk menangani masalah peredaran atribut-atribut kiri yang merebak di masyarakat. Ini diduga sebagai ancaman yang dapat melahirkan kembali komunisme dan Partai Komunis Indonesia. “Tadi presiden katakan, gunakan pendekatan hukum,” kata Badrodin.
Dasar hukum yang dipakai antara lain TAP MPRS No XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme; dan UU 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara. “Makanya jangan main-main. (Ini masalah) Serius. Baca saja UU itu,” katanya.
Menyusul kemudian razia atribut PKI oleh aparat kepolisian dan tentara di berbagai daerah. Aparat bergerak memburu pemakai atribut kiri di berbagai tempat umum. Di Gunung Kidul, Yogyakarta. Kodim 0730 menggeledah beberapa perusahaan sablon rumahan. Kodim 733/BS Semarang merazia toko barang antik di Pasar Klitikhan, mereka menyita satu topi dan dua set pin berlambang bintang kuning berlatar merah yang dianggap kekomunis-komunisan. Di Blok M, Jakarta, Di Grobogan, Jawa Tengah, polisi menyita buku-buku tentang sejarah dan tokoh-tokoh PKI dari berbagai toko buku. Penyitaan buku berlanjut di Kediri dan Tegal dan Cirebon. Di Gresik, sebuah bazar buku dilarang oleh pemerintah kota. Di Bandung, para penjual buku diinterogasi.
Di Yogyakarta, dua penerbit dan satu toko buku didatangi petugas. Selasa, 10 Mei 2016, sekitar pukul 10.00, tiga orang berpakaian berbadan tegap mendatangi Toko Buku Budi di kawasan Caturtunggal. Mereka bertanya-tanya tentang buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula terbitan Ultimus. Olihin, penjaga Toko Budi menjawab tidak ada. Sorenya harinya, tiga orang berbeda, dan keesokan harinya lima orang lain lagi, datang dengan pertanyaan yang sama. “Orangnya beda-beda, tapi mobil yang dipakai sama,” kata Olihin.
Di hari yang sama, sekitar pukul 12:00, dua orang yang mengaku dari intel Polda Yogyakarta mendatangi Penerbit Narasi. Hasnul Arifin, pemimpin redaksi penerbit Narasi menerima keduanya. Mereka memberitahukan bahwa hari itu ada aksi dari sekelompok massa di kantor Polda DIY yang mengancam akan merazia buku-buku Kiri. Demi menghindari aksi ricuh bila massa menuju alamat penerbit, kedua polisi itu menyampaikan niat baik mereka untuk mengamankan. Kedua intel itu tak lupa bertanya seputar buku-buku yang diterbitkan Narasi, termasuk buku Peristiwa 1 Oktober 1965: kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution (2012) dan Komunisme ala Aidit: Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan D.N. Aidit 1950-1965. Khusus dua buku itu, keduanya menuntut penjelasan kepada Hasnul. Dengan tenang Hasnul mengatakan bahwa dua buku itu adalah buku sejarah. Sebelum pulang, mereka meminta sampel dua judul buku , masing-masing satu eksemplar. “Untuk dipelajari oleh atasan,” kata Hasnul menirukan permintaan mereka.
Selepas kepergian dua petugas, Hasnul segera meminta bawahannya untuk mengecek demonstrasi di depan Polda DIY. Jarak antara kantor Narasi dan Polda DIY hanya 7 menit dengan kendaraan bermotor. Tapi tidak ada tanda-tanda atau bekas-bekas aksi massa hari itu.
Rabu, 11 Mei 2016, sekitar pukul 09:30, dua orang yang mengaku dari Polsek Sleman datang ke penerbit Narasi membawa motif yang sama dengan dua petugas sebelumnya. Mereka langsung bertanya soal buku Komunisme ala Aidit.
Aksi aparat ini memicu protes berbagai kelompok masyarakat sipil. Terutama kecurigaan dan penyitaan terhadap buku-buku, ini dianggap sebagai kemunduran besar. Pemberangusan pengetahuan hanya akan melahirkan kebodohan satu ke kebodohan lainnya. “Buku kiri diterbitkan untuk dibaca luas dan dipelajari, untuk memajukan peradaban manusia, bukan untuk dilarang negara,” kata Bilven Sandalista.
Pada 17 Mei 2016, bertepatan dengan peringatan Hari Buku Nasional, Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) yang terdiri dari insan-insan perbukuan Yogyakarta menyampaikan 7 maklumat:
SATU. Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat di hadapan orang banyak lewat berbagai media, termasuk persamuan seni-budaya dan penerbitan buku, adalah amanat Reformasi dan Konstitusi yang mesti dijaga dan dirawat bersama dalam kerangka kebhinnekaan sebagai bangsa.
DUA. Setiap perselisihan pendapat atas pikiran yang berbeda hendaknya diselesaikan dengan jalan dialog dan/atau mimbar-mimbar perdebatan untuk memperkaya khasanah pengetahuan dan keilmuan.
TIGA. Segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku dan produk-produk akal budi seyogyanya dilakukan pihak-pihak yang berwewenang atas seizin pengadilan sebagaimana diatur oleh hukum perundangan yang berlaku dengan mengedepankan aspek penghormatan pada hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan. Prosedur hukum yang dimaksud salah satunya seperti termaktub dalam Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelarangan Buku Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010.
EMPAT. Mendesak kepada lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk membuka secara bebas arsip-arsip negara yang terkait dengan tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat lainnya sebagai bagian dari upaya kita belajar dan memperkaya khasanah pengetahuan kesejarahan.
LIMA. Mendorong pemerintah, baik pusat dan daerah, menciptakan iklim perbukuan yang sehat, kompetitif, dan memberi perlindungan pada kerja penerbitan, diskusi buku, dan gerakan literasi yang inovatif sebagaimana diamanatkan preambule UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
ENAM. Asas, kerja umum, dan kegiatan harian ekosistem perbukuan membutuhkan aturan main yang jelas dan mengikat semua ekosistem yang bernaung di dalamnya. Oleh karena itu, mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk menggodok dan segera mengesahkan UU Sistem Perbukuan Nasional yang demokratis.
TUJUH. Mendesak Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai salah satu dari asosiasi penerbit buku yang menjadi mitra pemerintah dan sudah berpengalaman dalam sejarah panjang perbukuan nasional senantiasa mengambil peran yang signifikan dan aktif-responsif untuk membangun komunikasi yang sehat dengan elemen-elemen masyarakat yang plural.
Sekretaris MLY Muhidin M Dahlan menilai, sweeping terhadap yang kiri-kirian ini soal laten. Reguler, tiap tahun mesti saja ada. Entah sampai kapan terus dipelihara, dan tahun ini diperparah lagi dengan keterlibatan perangkat negara. “Dua unsur masyarakat yang selalu senewen sama komunis: di sudut agama ada masyumi dan kelompok yang memiliki ikatan batiniah dengannya. Wah, Masyumi dan PKI ini dulu tiada hari tanpa berantem di koran. Nyaris tiap hari PKI memaki-maki Masyumi. Dendam, tho? Nah, unsur kedua tentu saja Angkatan Darat dan laskar-laskar pemuda yang deket dengan AD di mana Soeharto dianggap sebagai The Godfather,” kata Muhidin. “Dua unsur itu, Ya Tuhan, sengitnya abadi, Bung!”
Kedua kelompok antikomunis itu, menurut Muhidin, hingga saat ini masih belum bisa membuka mata mereka mengenai upaya pelurusan sejarah peristiwa 1965, usaha rekonsiliasi nasional, dan Marxisme sebagai ilmu. Bahkan hingga di era ketika informasi sudah demikian terbuka ini, mereka masih termakan mentah-mentah propaganda orde baru bahwa semua yang kiri itu busuk dan harus dibuang jauh-jauh.
Di media sosial, razia sambung-menyambung yang dilakukan oleh aparat ini mendapat perhatian cukup luas oleh netizen. Mereka menjadikan aksi aparat yang main berangus itu sebagai olok-olok dengan macam-macam meme, dan banyak yang mengomentari rezim Jokowi sebagai orde baru gaya baru.
Mendapati reaksi netizen yang terpantau melalui iPad-nya, Presiden Jokowi tidak bisa tidak resah. Komentar yang menyebut bahwa pemerintahannya represif seperti orde baru sangat mengganggu perasaan presiden. “Ada sebagian aparat yang dianggap kebablasan dalam menerjemahkan perintah Presiden,” kata juru bicara presiden Johan Budi.
Kamis, 18 Mei 2016, presiden Jokowi memangil beberapa orang kepercayaannya untuk diajak bicara tentang perkembangan terakhir dan langkah yang harus diambil. Setelah mendengar masukan dari orang-orang dekatnya itu, Jokowi segera menghubungi Kapolri Badrodin Haiti dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Beliau meminta tindakan berlebihan yang dilakukan aparat agar segera dihentikan. “Presiden meminta aparat menghormati kebebasan berpendapat,” kata Johan. “Kami kira Panglima TNI dan Kapolri bisa menerjemahkan itu dengan baik.”
Maka demikianlah, isu kiri ini berlalu lagi untuk kemudian suatu hari nanti dibangkitkan lagi dan hilang lagi dan muncul lagi dan terbang lagi tanpa penyelesaian berarti. Tanpa penyembuhan luka-luka sejarah. Tanpa pemahaman yang utuh mengenai segala yang kiri.
Musim paranoia itu belum berlalu. Indonesia belum sepenuhnya bebas dari stigma dan prasangka khas orde baru. Pelarangan acara-acara berbau kiri dan pemberangusan buku-buku kiri kemungkinan masih akan berulang lagi di waktu mendatang.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti