Menuju konten utama
Mozaik

Tragedi Haur Koneng: Rakyat Menolak Negara, Aparat Menghabisinya

Abdul Manan dan para pengikutnya tak sudi mengakui semua lembaga pemerintah dan menolak menyekolahkan anak. Ujungnya bisa ditebak: Orde Baru menghabisinya.

Tragedi Haur Koneng: Rakyat Menolak Negara, Aparat Menghabisinya
Ilustrasi Desa Talangsari dan Militer. tirto.id/Gery

tirto.id - Dulu, orang-orang sering mendengar gaung wirid dan syahadat bertalu-talu di lembah Sinar Galih yang terpencil. Suaranya acap nyaring saban Subuh dan Magrib. Di Dusun Gunung Seureuh, Kecamatan Lemah Sugih, Majalengka, lembah itu terletak.

Jika ditelisik lagi jauh, sumber suaranya mengerucut pada empat gubuk bambu kecil di kaki Gunung Ceremai. Tidak banyak jumlah yang bermukim di sana, hanya sekitar 20 orang. Tetapi gubuk-gubuk yang lebih mirip padepokan itu dikabarkan hangus, sesaat setelah sejumlah aparat keamanan menyerbu ke sana.

Laporan Tempo pada 7 Agustus 1993 menyebut bahwa lokasi padepokan yang dimaksud telah dipagari garis polisi. Beberapa aparat bertugas mengamankan area. Sementara tak jauh dari kompleks padepokan terdapat area persawahan hijau yang ditanami ubi kayu dan padi. Di tepinya ada kolam ikan. Namun setelah insiden terjadi, tanaman-tanaman dibiarkan mengering, tanda area tak lagi diurus.

Seorang penduduk setempat bernama Ajat Sudrajat mengaku bahwa sawah itu kepunyaan Abdul Manan, dikelola bersama pengikutnya untuk kebutuhan pribadi ajaran mereka. Abdul Manan, 27 tahun, adalah pemimpin Haur Koneng, ajaran yang diklaim sesat dan ringan tangan alias menggampangkan kekerasan.

Dinamai Haur Koneng yang berarti "Bambu Kuning" lantaran kebiasaan pengikut Abdul Manan yang ke mana pun selalu membawa tongkat dari bambu kuning. Itu bukan nama resmi yang diperkenalkan oleh Abdul Manan, tetapi julukan yang disematkan oleh orang-orang menggunakan bahasa lokal. Pengikutnya percaya, bambu kuning adalah azimat ajaib yang diyakini memberi kekebalan.

Laporan Dirk Vlasblom dalam NRC Handelsblad (13/8/1993) menyebut pengikut Abdul Manan dengan ciri rambut panjang dan berjenggot. Mereka adalah komunitas partikelir, menolak membayar pajak tanah, tidak menyekolahkan anak, dan bahkan tak mau mengakui semua lembaga pemerintah.

Proses rekrutmen bisa lewat pertemuan yang dihelat klandestin. Mengidentikkan aliran yang berjejaring senyap di pedalaman Jawa Barat.

Selain beraktivitas di sawah, mereka juga gemar beribadah serta berlatih silat. Konon, mereka terus mengagungkan Allah lewat lafaz tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil sampai 100 kali setiap sesi. Tetapi yang paling disorot utama adalah kemandiriannya mengembangkan ajaran tarekat.

"Falsafah hidup mereka ialah rampak cisaribu, alias hidup mandiri," ungkap Kapolda Jawa Barat, Mayor Jenderal Rukman Samirudin, terkait pengepungan yang dilakukan pasukannya, sebagaimana dikutip Tempo.

Menurut Rukman ajaran Abdul Manan sesat dan menyimpang dari Islam. Itu, menurut dia, karena yang bersangkutan beserta istri, anak, dan pengikut memutuskan silaturahmi dengan penduduk setempat. Mereka memilih mengasingkan diri dari dunia luar dengan mendiami lembah yang terisolasi.

Dari Pemukulan hingga Penggerudukan

Awalnya, eksklusivitas yang Abdul Manan dkk. bangun tak jadi soal. Mereka tak pernah mencuri atau menjarah barang tetangga, sebab swasembada yang dibangunnya sudah cukup mengisi perut. Mungkin hanya satu yang dianggap aneh, yakni melakoni salat Jumat sendiri.

Pada Juni 1993, saat Kepala Desa yang bernama Rohamid menghubungi kelompok Abdul Manan untuk meminta sensus penduduk, mereka menolak. Rupanya, Abdul Manan beserta seluruh pengikutnya belum tercatat sebagai penduduk setempat. Namun kontak itu dimaknai lain, sebab kelompok ini merasa dicurigai.

Sekonyong-konyong terjadi perkelahian di antara kedua belah pihak. Salah seorang pengikut Abdul Manan bernama Sudarna dituduh Rohamid memukul dirinya. Buntutnya, Rohamid mengadu ke polisi dan Sudarna dipanggil ke Polres Majalengka.

Tetapi panggilan itu tak digubris. Dua surat yang ditulis mantan guru agama Abdul Manan, Kiai Sambas, atas permintaan kepolisian pun tak diindahkan. Kelompok mereka bersikeras tak mau menyerahkan Sudarna.

"Lebih baik mati," kata Kapolres Majalengka, Letkol M. Djunaini, menirukan ucapan Abdul Manan saat dimintai pertanggungjawaban.

Alhasil, pada Rabu (28/7/1993), kediaman Abdul Manan digeruduk sekompi polisi. Ismail dkk. dalam Kisah Pelarangan Haur Koneng (2023) menjelaskan, aparat kepolisian terdiri dari unit sabhara, reserse, dan intel yang dipimpin langsung Kapolres Djunaini.

Abdul Manan telah mengendus rencana penggerudukan dirinya. Dia bersama para pengikutnya sudah siaga untuk membela diri dengan celurit, golok, dan bambu untuk melawan.

Dalam serbuan itu Kapolsek Bantarujeg, Sersan Kepala Sri Ayeum, terjatuh. Lalu sabetan celurit menghunjam tubuh polisi itu bertubi-tubi. Suasana jadi kalut. Kendati Sersan Dua Ismail melepaskan tembakan peringatan, anak buah Abdul Manan sama sekali tak mendengarkan. Mereka sudah kalap. Bahkan Ismail jadi bulan-bulanan selanjutnya dan nyaris tewas dikeroyok massa.

Sri Ayeum tewas ditempat. Juga salah seorang pengikut Abdul Manan yang dihabisi peluru polisi.

Keesokan harinya bantuan polisi didatangkan dari Cirebon. Empat truk tentara Divisi Siliwangi yang membonceng Brimob Polda Jawa Barat dikerahkan. Rumah Abdul Manan dikurung. Mereka dilempari granat gas air mata dan bangunannya terbakar dijilat api. Menurut polisi, Abdul Manan sendiri yang membakar padepokannya. Namun beberapa warga menampik dan bersaksi bahwa molotov sengaja diarahkan polisi ke gubuk itu.

Penggerudukan yang kedua menelan korban lebih banyak lagi. Lima warga tewas, termasuk Abdul Manan dan bahkan seorang balita. Pimpinan ajaran ini mengalami luka tembak di dada dan langsung dilarikan ke RS Majalengka. Dia meninggal di sana.

Delapan anak buah Abdul Manan mengalami luka berat dan dirawat di rumah sakit yang sama. Salah satunya masih berusia 8 tahun yang viral lantaran terbaring di ranjang dengan tangan terborgol. Sementara itu, tujuh anak buah Abdul Manan yang lain diringkus polisi, dua sisanya masih berstatus buron.

Kritik terhadap Aparat

Menurut Kapolri saat itu, Banurusman Astrosemitro, dikutip dari Pikiran Rakyat, perpecahan yang merenggut korban jiwa semestinya bisa diminimalisasi. Pihak kepolisian dianggap merasa enteng dan kelewat percaya diri merespons penolakan komplotan Abdul Manan. Persiapan yang dikerahkan masih jauh dari kata matang.

Ditambah pernyataan Pangab, Jenderal Feisal Tanjung, pada Jumat (30/7/1993) yang menyebut, "Kelompok Haur Koneng memang tak sepaham dengan kebijakan Pemerintah Indonesia."

Memang kerap demikian cara aparat bersenjata dalam menyelesaikan konflik. Ledakan masalah hanya dilihat dari sudut pandang cara menumpas pelaku onar. Mereka dicap serupa kriminal.

Apabila terjadi konflik, aparat akan memilih jalur kekerasan, sehingga hasilnya bukan penyelesaian dingin, melainkan tuduhan dan penghakiman. Memilih jalur kekerasan adalah wujud ketidakbecusan pemerintah dalam merespons pertikaian.

Padahal ketika Kiai Sambas (guru Abdul Manan) diinterogasi, dia mengatakan tidak pernah sekalipun muridnya berceramah kebencian yang antipemerintah. Dia percaya muridnya bisa bersikap bijaksana menghormati penguasa.

Pun psikolog Polres Majalengka yang sempat mewawancarai Abdul Manan sebelum akhir hayatnya mengaku terkejut. "Bagi saya, dia tampak seperti orang yang sangat serius dengan imannya, bahkan orang yang baik. Sebelum meninggal, dia mengungkapkan penyesalannya tentang apa yang telah terjadi dan mendesah, 'saya hanya ingin dibiarkan sendiri'."

Ketua PBNU saat itu, Abdurrahman Wahid, memberikan pandangan yang berbeda atas masalah ini. Menurutnya, konflik mesti dilihat dari akar masalahnya. Dia menilai kemunculan aliran Islam yang menyempal dari ajaran pokok adalah cerminan ketidakmampuan negara memberdayakan masyarakat.

Mereka yang merasa tidak dipedulikan pemerintah akan berusaha mengundi nasib sendiri lewat swasembada yang berdikari. Oleh karenanya, fatwa pemerintah sering diabaikan.

Fenomena ini bisa dilihat dari latar belakang profesi pengikut Haur Koneng. Mereka adalah para petani miskin yang mengolah lahan untuk dimakan sendiri.

Seturut Ubaedilah Cece dalam Peristiwa Haur Koneng: Akar Masalah Konflik Vertikal di Kabupaten Majalengka Tahun 1993 (2013), komunitas ini merupakan korban atas sentimentalisme negara terhadap aliran sempalan. Boleh jadi mereka fobia terhadap aktivitas umat Islam yang tak sepaham dengan "tafsir" Pancasila.

Kurangnya upaya persuasif yang dibangun aparat membuat Ketua MUI, Hasan Basri, melontarkan kritik, "Tindakan main gerebek itu seperti menghadapi perampok saja. Saya menyesalkan tindakan kekerasan yang dilakukan polisi, seharusnya mereka dibiarkan saja untuk sementara waktu."

Seluruh komplotan Abdul Manan yang terlibat akhirnya bui. Menurut John A. MacDougall dalam artikel "Haur Koneng Trial Demands", jaksa Suharso mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri Majalengka. Dia menuntut tiga perempuan, yang diidentifikasi sebagai Is (15 tahun), Al (31 tahun), dan Wat (18 tahun) agar masing-masing dikenai hukuman kurungan selama 4,5 bulan. Sementara Ad, pria berusia 16 tahun didakwa satu tahun lantaran melakukan unjuk rasa saat konflik berlangsung.

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi