tirto.id - Urusan gusur-menggusur dengan dalih pembangunan, negara kita punya sejarah yang panjang. Penggusuran penduduk di Kulon Progo pada Senin (04/12/2017) lalu, dengan alasan pembangunan bandar udara, adalah salah satu kasus teranyar. Tiga puluh dua tahun silam, penggusuran besar-besaran pernah menimpa warga Kedung Ombo lantaran pemerintah hendak membangun sebuah waduk.
Pada 1985, Bank Dunia tidak datang membawa duit bagi 5.268 keluarga di 37 desa di Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Lembaga keuangan internasional ini mengucurkan dana 156 juta US dolar dari keseluruhan proyek berjumlah 283 juta US dolar. Duit tersebut digelontorkan demi terbangunnya sebuah waduk seluas 5.898 hektar.
“Menurut perkiraan berdasar masterplan, dalam tahun-tahun mendatang Semarang dan kota-kota di sebelah utara Jawa Tengah akan tumbuh berbagai macam industri yang akan memerlukan cadangan air. Dalam rangka itu pula, Waduk Kedung Ombo dibangun. Untuk kebutuhan penyediaan air minum dan industri di Ibukota Jawa tengah Semarang,” tulis Stanley dalam Seputar Kedung Ombo (1994: 74).
Baca juga:
Lahan yang akan tergusur itu, menurut Y.W. Wartaya Winangun dalam
Tanah Sumber Nilai Hidup (2004) setidaknya menjadi tanah kelahiran 30.000 jiwa. Sebanyak 3.006 keluarga—yang masing-masing keluarga beranggota 5-6 orang—tinggal di wilayah Kemusu yang tanahnya relatif subur (hlm. 46). Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani.Pembangunan memang selalu memakan korban, terutama lokasi yang harus digusur. Demi terwujudnya waduk, diperlukan lahan yang luas. Jika di atas lahan itu ada manusia-manusia empunya tanah, artinya harus ada penggusuran yang disertai ganti rugi.
Dalam proyek-proyek negara, pemerintah lah yang harus memberi ganti rugi. Pada kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo, belum ada pembicaraan jelas dengan warga yang akan digusur. Sementara pemerintah daerah sudah main pasang harga.
Menurut Mochtar Pakpahan dalam Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990:40), lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor 593/135/1987, besaran nilai ganti rugi tanah pekarangan yang terkena Proyek Waduk Kedung Ombo di wilayah Kabupaten Sragen, Boyolali dan Grobogan sebesar Rp700 per meter (hlm. 40).
Masalah ganti rugi rupanya tak kunjung rampung. Bahkan ketika waduk mulai digenangi air sejak 14 Januari 1989 dan menenggelamkan apapun di dalamnya.
“Ketika sebagian besar warga berpindah ke tempat-tempat lain, masih ada 600 keluarga yang bertahan di daerah genangan dan sabuk hijau. Mereka menuntut ganti rugi yang sesuai, karena uang ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Setelah diusut, ternyata ada pihak yang telah melakukan penipuan terhadap warga Kedung Ombo […] uang ganti rugi yang berasal dari Bank Dunia itu telah diselewengkan,” tulis Iip Yahya dalam buku Romo Mangun - Sahabat Kaum Duafa (2005: 198).
Protes yang Tak Pernah Digubris
Tak semua warga yang akan tergusur rela menerima ganti rugi tersebut. Frans Hendra Winarta, dalam Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum (2009), menyatakan bahwa warga yang tidak sepakat dengan ganti rugi tanpa rundingan itu menggugat pemerintah ke pengadilan. Meski kemudian dipentalkan (hlm. 130).
Sebenarnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Pemendagri) nomor 15 tahun 1975 menyebut secara eksplisit tentang ganti rugi kepada pemilik tanah: “Di dalam mengadakan penaksiran/penerapan mengenai besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya berdasarkan harga umum setempat.”
Baca juga laporan In-Depth Tirto tentang penggusuran warga Kulon Progo:
- Aksi Gebuk Aparat Saat Pengosongan Paksa Lahan Bandara Kulon Progo
- Aktivis Agraria: Sultan Abaikan Asas Keadilan Warga Penolak Bandara
- Penangkapan Aktivis dalam Pusaran Konflik Agraria
- Peran Jokowi Memuluskan Megaproyek Bandara Kulon Progo
- Penolak Bandara NYIA: Kami Pertahankan Milik Kami, Kami Punya Hak
Terkait masalah hukum lahan Kedung Ombo, menurut Frans Hendra Winarta, “pemerintah melakukan intervensi ke lembaga peradilan, di dalam hal ini Mahkamah Agung.” Ketua Mahkamah Agung Purwoto Gandasubrata dipanggil Presiden setelah keluarnya putusan Kasasi Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan warga Kedung Ombo.
“Ketua Mahkamah Agung meminta agar kasus waduk Kedung Ombo diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Ketua Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan surat keputusan yang menetapkan penundaan eksekusi ganti rugi terhadap warga Kedung Ombo,” tulis Frans Hendra Winarta (hlm. 130). Sementara itu, pemerintah Orde Baru bersikeras membangun waduk, meski merugikan petani yang lama tinggal di sana. Semua itu, tentu saja, dilakukan atas nama pembangunan.
Selain diperlemah secara hukum, citra PKI tak lupa dilekatkan kepada warga Kedung Ombo. “Di Kedung Ombo, petani yang membangkang untuk menyerahkan tanahnya, dicap sebagai PKI dengan cara diberi kode ET di KTP mereka, padahal mereka adalah petani yang sejak lama bersih dari identitas seperti itu. Bahkan, Presiden Soeharto sendiri dalam pidato pembukaan Waduk Kedung Ombo mengatakan dirinya memahami bahwa orang atau warga yang tidak mau menerima pembangunan Waduk Kedung Ombo disusupi oleh komunis,” tulis Ikrar Nusa Bhakti dalam Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru: Soeharto di Belakang Peristiwa 27 Juli (2001: 280).
Dalam peresmian waduk itu, pada Sabtu pagi 18 Mei 1991 di desa Kedung Ombo, Grobogan, Jawa Tengah, seperti tercatat dalam Jejak Langkah Pak Harto 21 Maret 1988 – 11 Maret 1993 (2010), Soeharto mengatakan bahwa ia tahu sebagian anggota masyarakat telah memberikan pengorbanan bagi pembangunan waduk ini. Bagi Presiden, intinya, pembangunan itu untuk rakyat, dan bukan sebaliknya. Kalaupun rakyat terpaksa harus diminta pengorbanannya, hal itu tidak lain karena ada kepentingan yang lebih besar, kepentingan rakyat yang lebih banyak dan kepentingan jangka panjang yang lebih jauh (hlm. 423-424).
Baca juga: Dosa dan Jasa Soeharto Untuk Indonesia
Setelah peresmian, Presiden berdialog dengan 51 petani. Dalam kesempatan itu Soeharto mengingatkan, masyarakat yang belum mau pindah dan minta tambahan uang ganti rugi agar jangan sampai menjadi penghalang. Ia menambahkan, mereka akan masuk dalam catatan sejarah sebagai kelompok yang “mbalelo mengguguk makuto waton” (membangkang, keras kepala, dan kaku). Dikatakannya bahwa jika ini sampai terjadi, maka predikat tersebut akan disandang oleh anak cucu mereka.
Predikat itu tak jauh beda dengan warga negara pemilik KTP dengan kode ET (seperti diberikan kepada bekas PKI dan koleganya). Salah satu akibatnya, mereka sulit jadi pegawai negeri.
Bagi Soeharto, seperti dicatat dalam Siapa Sebenarnya Soeharto (2006) karya Eros Djarot, di antara orang-orang yang menuntut ganti rugi itu terdapat oknum-oknum PKI (hlm. 107). "Karena saya tahu daerah itu basis PKI," aku Soeharto.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan