Menuju konten utama

Aktivis Agraria: Sultan Abaikan Asas Keadilan Warga Penolak Bandara

Penduduk Kecamatan Temon, lokasi konflik agraria untuk bandara baru Yogyakarta, memenangkan Jokowi-JK saat Pilpres 2014.

Gubernur Yogyakarta Sultan HB X dan Paku Alam X usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/10/2017). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Tangis dan jerit protes warga tak menyurutkan langkah aparat keamanan dan laju ekskavator menuju Desa Palihan, Kulon Progo. Senin, 27 November lalu, di bawah guyuran hujan serta angin kencang, gabungan aparat kepolisian, TNI, dan petugas PLN yang diprakarsai oleh PT Angkasa Pura I memutus aliran listrik, membongkar pintu, dan melepas jendela rumah.

Pesan simbolis dari tindakan aparat itu: warga mesti segera hengkang dari areal proyek pembangunan Bandara Kulon Progo alias New Yogyakarta International Airport (NYIA).

Berselang lima hari kemudian, Sri Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY menanggapi derita warganya. Alih-alih mengayomi, Sultan terkesan menyalahkan. Menurut Sultan, mestinya warga pindah secara sukarela.

“Daripada dipaksa lebih baik kesadaran sendiri. Kesadaran sendiri lebih baik, masak apa-apa harus dipaksa,” kata Sultan di Kulon Progo.

Bagi Sultan, sikap sukarela warga adalah konsekuensi dari mekanisme ganti rugi yang sudah dijalankan antara pelaksana proyek dan warga terdampak bandara baru di Yogyakarta tersebut. “Semua sudah dibayar dan diberi waktu. Kesepakatannya, dua hari lalu harus dikosongkan. Kalau pengosongannya pas bencana, hanya kebetulan saja,” tambah dia.

Namun, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Hamzal Wahyudin, pendekatan ganti rugi sebagai pembenaran mengusir warga adalah dalil keliru. Sebab, menurutnya, warga bertahan bukan karena uang tapi lantaran lahan yang mereka diami telah lama sebagai sumber penghidupan.

“Masyarakat di pesisir itu petani. Tanpa ada bandara, mereka sudah mampu menyejahterakan keluarganya,” ujar Wahyudin saat dihubungi reporter Tirto, Selasa kemarin.

Data dari Badan Pusat Statistik Kulon Progo 2015 menyebutkan pertanian memang jadi sumber utama mata pencaharian masyarakat. Sebanyak 37,81 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

(Sebagai gambaran, dalam 'kertas posisi' yang dibuat oleh jaringan advokasi penolakan Bandara Kulon Progo pada 2014, lahan pertanian dan pesisir telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi 6 ribu warga di sekitarnya dan menghidupi kebutuhan 11.501 jiwa dari 2.875 kepala keluarga. Panenan cabai sebagai komoditas andalan per hektare, misalnya, bisa mencapai 30–45 ton sekali musim tanam (5–7 bulan) dengan keuntungan sekitar Rp250 juta – Rp400 juta (dengan hitungan harga cabai sekitar Rp10.000/kg).)

Wahyudin mengatakan pernyataan Sultan patut dikritik. Sebab, Sultan selaku gubernur mestinya mengutamakan "pendekatan dialog dan kemanusiaan" dalam menghadapi warga yang menolak pembangunan bandara baru Yogyakarta. Sikap emoh Sultan yang ingin warga segera hengkang dinilai Wahyudin sebagai cermin ketidakpatuhan terhadap aturan.

Ia menyebut sejumlah pelanggaran yang dilakukan Sultan:dari proyek yang tak sesuai perencanaan tata ruang, tahapan pembebasan lahan yang cacat hukum, hingga kajian amdal yang dirilis setelah proyek berjalan.

“Harusnya gubernur tahu hukum. Karena pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya harus sesuai undang-undang,” katanya.

Penetapan Kulon Progo sebagai lokasi proyek pembangunan bandara telah diputuskan Sultan pada 31 Maret 2015 melalui SK 68/Kep/2015 tentang Izin Penetapan Lokasi (IPL) Pengembangan Bandara Baru. Namun, SK ini dibatalkan Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta pada 23 Juni 2015 setelah digugat oleh Paguyuban Wahana Tri Tunggal.

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Indah Tri Haryanti menyatakan pembangunan bandara, yang didasarkan pada Perda 1/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kulon Progo bertentangan dari RTRW nasional maupun Perda DIY tentang RTRW DIY.

Majelis hakim menyatakan, dalam beberapa ketentuan RTRW Nasional dan RTRW DIY, tidak pernah disebut rencana pembangunan bandar udara dibangun di wilayah pesisir Kulon Progo.

“Tidak ditemukan norma eksplisit maupun implisit mengenai pemindahan bandara ke tempat lain, yang ada adalah pengembangan Bandara Adisutjipto,” kata Indah seperti diberitakan Antara. “Sehingga rencana pembangunan bandara di Kulon Progo perlu didahului dengan perubahan RTRW Nasional dan RTRW Provinsi.”

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/06/cuap-cuap-soal-bandara-internasional-kulon-progo--indepth--mojo.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Kulon Progo" /

Namun, Sultan tidak tinggal diam. Ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, pada 23 September 2015, MA membatalkan putusan PTUN. Pada 23 Oktober 2017, Presiden Joko Widodo memuluskan pembangunan proyek ini lewat Perpres 98/2017 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandar udara Baru di Kabupaten Kulonprogo.

Menurut Jokowi, pembangunan bandara ini "harus segera dilaksanakan" karena telah tertunda sejak 6-7 tahun lalu. Ia percaya pembangunan bandara akan memberi dampak positif bagi warga.

“Suatu saat di wilayah ini akan ada orang berjualan cingcau di angkasa. Wilayah Temon ini akan menjadi sarang burung besi. Wilayah utara dan selatan Gunung Jeruk akan menjadi kota (besar). Glagah akan menjadi mercusuar bagi dunia,” kata Jokowi saat peletakan batu pertama pada 27 Januari 2017, dalam bahasa Jawa menyitir "sabda leluhur" dari kitab kuno berlatar Jawa.

Namun, sejak proses awal pembangunan bandara baru internasional di pesisir Kulon Progo pada 2012 ini, semua warga di 5 desa Kecamatan Temon tak pernah bulat setuju. Meski jumlah warga yang menolak semakin menyusut, tetapi perlawanan tetap ada.

Hal itu ironis. Saat Pilpres 2014, mayoritas warga di Temon memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla, dengan meraup 8.308 suara dibandingkan 8.037 suara untuk Prabowo. Khusus di Desa Palihan, pasangan Jokowi-Kalla menang dari Prabowo-Hatta dengan 656 suara dibandingkan 642 suara.

“Kami minta Jokowi langsung menginstruksikan penghentian rencana pembangunan bandara karena meresahkan masyarakat. Ada banyak korban dari masyarakat terkait tindakan aparat, dan perencanaan pembangunannya sudah cacat hukum sejak awal,” kata Wahyudin.

Mengabaikan Prinsip Keadilan

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, mengutuk cara-cara represif aparat terhadap warga yang menolak pembangunan bandara. Menurutnya, cara represif ini adalah bentuk pengabaian negara terhadap prinsip-prinsip dalam Pasal 2 Undang-Undang 2/2012 tentang pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Pasal ini menyebutkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan.

Dewi menjelaskan regulasi ini mengakomodasi keberatan warga yang lahannya dijadikan proyek pembangunan pemerintah. Salah satu pasalnya menyatakan gubernur wajib "membentuk tim kajian" guna merespons kebijakan warga.

Tim itu terdiri sekretaris daerah provisi, kepala kantor wilayah badan pertanahan, instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah, kepala kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bupati atau walikota, dan akademisi.

“Proyek ini tidak bisa maju terus pantang mundur dengan mengabaikan keberatan di lapangan. Harus dihentikan dulu,” kata Dewi.

Dewi meminta sultan tak mengabaikan begitu saja keluhan warga. Penolakan harus dipahami dari sisi kemanusiaan. Sebab, persoalan bukan semata uang, tapi sumber penghidupan jangka panjang.

“Kalau ada keberatan, justru gubernur yang harus paling menangkap sinyal negatif di lapangan,” ujarnya.

Penelusuran tim riset Tirto, gubernur pernah membentuk apa yang disebut "Tim Kajian Keberatan atas Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta." Pertemuannya dilakukan pada 26 Februari 2015 di tiga lokasi berbeda: Kecamatan Temon, Balai Desa Palihan, dan Balai Desa Glagah.

Saat itu warga menyatakan hidup mereka sudah makmur tanpa ada bandara. Mereka menyampaikan kekhawatiran pembangunan bandara tak akan mengakomodasi lapangan kerja bagi warga yang mayoritas lulusan SMA. Keluhan warga dijawab dengan janji manis tanpa bukti tertulis oleh anggota tim keberatan.

Keputusan Sultan menjadikan Kulon Progo sebagai lokasi pembangunan bandara patut menjadi pertanyaan. Sebab, menurut Dewi Kartika, Kulon Progo adalah lahan pertanian produktif dan pemukiman warga. Bagi Dewi, masih adanya warga yang menolak pembangunan bandara mencerminkan proyek cacat sejak awal. Penolakan ini mestinya jadi peringatan bagi pemerintah mengenai belum ada konsensus ideal untuk meneruskan pembangunan.

“Artinya ada proses yang cacat,” katanya.

Baca juga artikel terkait PENOLAK BANDARA KULON PROGO atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Reporter: Jay Akbar & Frendy Kurniawan
Penulis: Jay Akbar
Editor: Fahri Salam