tirto.id - Kegaduhan orang-orang dan suara histeris menjadi latar video detik-detik menegangkan yang berjudul “New footage Sendai Airport Japan Tsunami Flood Earthquake”. Luapan air menjalar perlahan bak lahar gunung api melibas lantai beton apron bandara. Gelombang air berwarna pekat menyapu mobil-mobil operasional bandara, hingga garbarata yang berdiri kokoh ikut terendam air. Bagi yang mengalami langsung pastinya akan bergidik.
Mega tsunami 11 Maret 2011 yang melanda pesisir Timur Jepang, jadi bukti infrastruktur bandara di negara maju seperti Jepang tak luput dari terjangan dahsyat tsunami. Bandara Sendai di Prefektur Miyagi hanya berada di ketinggian 1,7 meter di atas permukaan laut, tentu jadi sasaran empuk tsunami meski jaraknya 1 km dari bibir pantai.
Berjarak kurang lebih 6 ribu km dari Bandara Sendai, tepatnya di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta sebuah lokasi rencana proyek New Yogyakarta International Airport (NYIA) atau Bandara Kulon Progo sedang disiapkan. Proyek yang digagas hampir enam tahun ini memang sedang menghadapi persoalan pembebasan lahan, karena mendapat penolakan sebagian warga. PT Angkasa Pura I (API) mengklaim sudah membebaskan lahan hingga 98 persen dari sekitar 580 hektare. Itu artinya, pembangunan NYIA nampaknya hanya perlu menunggu waktu.
NYIA sendiri sebenarnya menyimpan bom waktu yang tak kalah hebat yakni dari ancaman tsunami yang bisa saja terjadi seperti di Sendai Jepang. Ini bukan hanya isapan jempol belaka, laporan Airport Planning & Design oleh AP I, yang dibuat Agustus lalu, memuat Laporan studi mitigasi tsunami AP I-BMKG 2017. Kesimpulannya, wilayah Temon sangat rawan terhadap bahaya tsunami. Artinya, bila gempa terjadi dan berpotensi tsunami, area bandara dipastikan terendam air dari gelombang tsunami.
Bila terjadi gempa, waktu kedatangan air ke area bandara hanya 35 menit. Ini karena jarak bibir pantai ke area landasan bandara hanya 300 meter. Saat gempa berkekuatan 8,5 skala richter, terjadi tinggi gelombang air di pantai hingga 8-15 meter. Air akan masuk ke daratan sejauh 1-2 km. Ini artinya, air tak hanya menghantam sisi runway bandara tapi bangunan terminal bandara di sisi utara yang jauh dari pantai.
Saat air masuk ke area terminal bandara, genangan air ditaksir akan mencapai 1-7 meter, dengan rata-rata kedalaman genangan akan menggapai 3 meter. Ini sama saja sudah bisa menenggelamkan lantai dasar gedung terminal bandara. Masih dalam hasil studi tersebut, untuk antisipasinya akan dibuat tanggul tepi pantai dan area penahan dari tanaman penahan tsunami dengan lebar hingga 300 meter. Desain bangunan bandara untuk lantai 2 akan dibuat lebih luas, dan kegiatan orang lebih banyak di lantai atas. Ketinggian lantai dasar akan dibuat lebih tinggi dari pada umumnya.
“Bicara rawan bencana, kami sudah melakukan simulasi juga pembahasan yang detail berkaitan dengan tsunami. Kemungkinan terjadinya tsunami sudah dipikirkan,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Meski sebagai daerah yang dinyatakan sangat rawan tsunami, Temon tetap jadi pilihan. Apalagi Presiden Jokowi saat groundbreaking Januari 2017 lalu membuat “legitimasi” lewat sabda leluhur, sebagai upaya meyakinkan bahwa lokasi calon bandara sudah diramalkan para leluhur sejak dahulu bakal jadi bandara.
Kecamatan Temon, berhasil mengalahkan lima calon lokasi baru lainnya yaitu Selomartani (Sleman), Gading Airport (Gunung Kidul), Gadingharjo (Bantul), Bugel, Temon, dan Bulak Kayangan masing-masing di Kulon Progo.
Dari sembilan kriteria yang harus dipenuhi, mulai dari persoalan hukum, topografi, jauh dari area vulkanik, minim relokasi dan sebagainya, hanya dua lokasi yang memenuhi kriteria sempurna, yaitu Temon dan Gadingharjo. Setelah ditelaah berdasarkan feasibility study (FS), wilayah Temon jadi pilihan karena punya skor paling tinggi, salah satu pertimbangannya lebih mudah mendapatkan hak pemanfaatan lahan. Gading Airport sudah sejak awal tak masuk kriteria karena terkait dengan masalah aturan hukum di provinsi.
Ancaman Tsunami dan Uang Investasi
Ancaman tsunami memang sudah jadi antisipasi saat AP I memutuskan memilih kawasan Kecamatan Temon, sebagai lokasi bandara baru pengganti Bandara Adisutjipto. Meski demikian, ada atau tak adanya bandara, toh wilayah Temon dan pesisir pantai selatan Jawa pada umumnya adalah rawan tsunami. Persoalannya ada uang besar dan risiko keselamatan tingkat tinggi saat di kawasan itu berdiri sebuah bandara yang akan dilewati oleh jutaan orang setiap tahunnya.
Direktur Hubungan Internasional dan Pengembangan Usaha AP I Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengatakan butuh Rp6,7 triliun untuk membangun bandara baru. AP I belum akan berencana menggandeng investor untuk pendanaan proyek ini. Bila menilik kondisi keuangan AP I hingga akhir tahun lalu, perseroan memang punya kas nyaris Rp5 triliun.
“Pembangunan New Yogyakarta International Airport inisiatif dari AP I untuk mencari solusi dari kondisi Bandara Adisutjipto yang sudah sangat padat. Ini proyeknya AP I, bukan pemerintah pusat atau pemda. Kita pakai uang sendiri, tak pakai APBN atau APBD,” kata Jhony kepada Tirto.
Kapasitas Bandara Adi Sutjipto yang hanya 1,5 juta orang per tahun yang harus dijejali dengan 7,2 juta orang (2016), dengan hanya 8 tempat parkir pesawat—bandara baru akan mampu menampung 23 pesawat— dampaknya saat jam-jam sibuk, memaksa pesawat sebelum mendarat harus berputar-putar. Meski dari sisi kepadatan, rute penerbangan dari dan menuju Adisutjipto tak masuk daftar 20 rute terpadat dunia.
Dengan proyeksi kapasitas hingga 14 juta orang per tahun di fase pertama, Bandara Kulon Progo memang belum setara dengan kemegahan terminal I dan II Bandara Soekarno-Hatta yang kapasitasnya 22 juta orang per tahun. Kapasitas sebesar itu saja, sudah menarik minat investor untuk membenamkan investasi. Nama seperti GVK dari India masuk daftar investor yang berminat. Pada laman resminya, mereka memasukkan calon Bandara Kulon Progo sebagai portofolio investasi mereka di luar negeri.
GVK sudah mulai aktif melakukan pendekatan sejak enam tahun lalu. Pada 23 Februari 2011, saat AP I masih dipimpin Tommy Soetomo, berlangsung pertemuan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Chairman dari GVK di Jakarta. Pertemuan membicarakan tentang rencana pembangunan bandara.
Pada September 2014, Sri Sultan dan Bupati Kulon Progo berkunjung ke Mumbai, India untuk bertemu dengan pihak GVK. Kunjungan ini untuk memenuhi undangan pihak GVK yang beberapa bulan sebelumnya datang ke Yogyakarta. Sayangnya, pihak GVK tak terbuka soal perkembangan keterlibatan mereka di proyek Bandara Kulon Progo, termasuk nilai investasi, pembagian saham dengan AP I, hingga kerja sama mereka dengan Sri Sultan sebagai Gubernur Yogyakarta.
“Oleh karena hal kerahasiaan kesepakatan kami dengan Angkasa Pura I, kami tidak dalam posisi untuk menjawabnya,” kata Ram Mankekar, Group Head and VP – Corporate Communications GVK saat menjawab surel Tirto.
Ram menyarankan agar semua itu ditanyakan ke AP I. Pihak AP I melalui Jhony menegaskan sejauh ini belum ada kerja sama AP I dengan GVK. “Kita masih sebatas MoU bahwa mereka berminat dengan proyek kita, tapi kita belum sampai tahap memerlukan keterlibatan GVK,” kata Jhony.
Proyek Bandara Kulon Progo memang sangat kompleks, tak hanya soal pembangunan bandara karena urgensi kebutuhan. Namun, di luar itu ada potensi gempa dan tsunami, persoalan agraria dan sosial yang sensitif, hingga keterlibatan pemodal di proyek ini. Deretan masalah itu semacam "tsunami" bagi kelanjutan proyek yang dibalut dengan iming-iming berdampak positif bagi ekonomi masyarakat.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti