tirto.id - Jumlah warga, yang masih gigih menolak menyerahkan lahannya untuk lokasi Bandara Kulon Progo, memang tak banyak lagi. Jauh merosot dibanding lima tahun lalu saat rencana proyek ini muncul. Kini tersisa 38 rumah atau 250-an jiwa—dengan sejumlah bidang pekarangan dan ladang—yang belum diserahkan ke PT Angkasa Pura 1.
Meski mereka minoritas, intimidasi mental dan fisik tak mempan bagi sebagian warga Desa Palihan dan Glagah tersebut. Mereka tetap bergeming meski PT Angkasa Pura 1 giat mempercepat pengosongan paksa lahan milik para warga itu—yang disokong aparat gabungan kepolisian, TNI dan Satpol PP—dalam sepekan terakhir.
“Kami akan tetap mempertahankan ruang hidup kami. Kami punya hak,” kata Fajar, 47 tahu, kepada reporter Tirto, Selasa kemarin.
Fajar adalah salah satu warga yang lahan dan rumahnya disatroni derum ekskavator bareng ratusan aparat pada 27 Desember 2017 dan Selasa kemarin. Pepohonan di pekarangannya telah ditumbangkan, meteran listrik rumahnya dicabut, dan jalan tanah akses dari kediamannya ke jalan raya sempat dikeruk. Fajar juga jadi sasaran kekerasan polisi. Tapi, Fajar menolak menyerahkan lahannya.
Menurut Fajar, ia dan semua anggota Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo masih bersikap seperti 5 tahun lalu: menolak bandara dengan semua jenis negosiasinya.
“Kami ingin tetap tinggal di sini. Kami sudah nyaman di sini. Kami tak khawatir terganggu (pembangunan maupun operasional bandara). Bandara ini mau jadi atau tidak, kita, kan, tak tahu. Biarpun ada yang bilang pasti dibangun, belum tentu juga,” kata warga Kragon II, Desa Palihan, Kecamatan Temon ini.
Mantan Sekretaris Wahana Tri Tunggal—organisasi penolak Bandara Kulon Progo yang belakangan berbalik mendukung proyek ini—juga memastikan anggota Paguyuban tetap kompak.
“Kami tetap bertahan. 'Tenang saja, Pakdhe, poko'e jangan dikasih (lahan)', Warga semua bilang begitu ke saya,” ujar Fajar menirukan respons rekan-rekannya usai upaya perusahaan mengosogkan paksa terhadap lahan miliknya pada Selasa pagi.
“Sikap Paguyuban dari hati nurani kami sendiri, kami tak bergantung ke orang lain. Susah senang dirasakan bersama. Dirembug bareng-bareng.”
Fajar juga masih tegas menolak klaim PT Angkasa Pura 1 mengenai status lahannya. BUMN pengelola bandara ini mengklaim lahan milik para anggota Paguyuban sudah milik mereka. Alasannya, duit ganti rugi sudah dititipkan ke pengadilan dan telah diputuskan bisa dibayar dengan mekanisme konsinyasi.
Konsinyasi adalah pemberian ganti rugi untuk pemilik tanah yang dititipkan melalui pengadilan dalam proses pengadaan lahan di proyek pembangunan yang disokong pemerintah. Ketentuannya diatur pasal 42 Undang-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
“Karena sudah diputus konsinyasi, lahannya jadi milik negara. Kalau mereka punya sertifikat atau girik, sudah tidak berlaku lagi,” kata manajer pembangunan Bandara Kulon Progo PT Angkasa Pura 1, Sujiastono, awal pekan ini.
Sebaliknya, Fajar bersikukuh: mekanisme konsinyasi tetap proses jual beli. Artinya, proses ini tetap perlu didahului kesepakatan penjual dan pembeli. Sementara ia belum pernah menyetujui penjualan lahannya, termasuk pengukuran nilai tanah dan bangunan serta tanaman oleh tim aprraisal.
Fajar menuding PT Angkasa Pura I melanggar hak pribadinya. “Kalau masuk pekarangan kami, tanpa meminta ada izin dari kami, itu namanya apa?”
Soal konsinyasi, Hermanto, saudara Fajar yang tinggal satu rumah dengannya, memberi komentar singkat: “Konsinyasi, itu akal-akalan Angkasa Pura I. Alibi.”
Pengusiran dengan Kekerasan Sejak Dulu
Peristiwa pengosongan paksa lahan terhadap sebagian anggota Paguyuban juga semakin meneguhkan sikap Sofyan, salah satu aktivis kelompok itu, untuk menolak klaim PT Angkasa Pura I. Ia kecewa atas tindakan kekerasan aparat ke warga dan para aktivis pendukung Paguyuban .
“Rumahnya Pak Hermanto (bangunan sanggar seni) yang jelas menolak sejak awal, dirobohkan tanpa persetujuan atau omong dulu,” katanya.
“Indonesia negara hukum. Kalau hukum ditegakkan, ya sama-sama ditegakkan. Jangan cuma untuk urusan penggusuran.”
Apalagi, menurut Sofyan, metode pengosongan paksa hampir seragam: menebangi pohon dan dibiarkan sisanya berserak dekat rumah warga; mengeruk jalan akses dari rumah warga ke jalan; mencabut meteran listrik; hingga merusak bangunan dengan alasan aset sudah dibeli untuk bandara.
Ia menegaskan, “Sertifikat di kami. Tak bisa ada pembelian paksa dari Angkasa Pura I. Yang namanya jual beli tetap harus ada asas suka sama suka.”
Sofyan mencatat PT Angkasa Pura I pernah berjanji mempersilakan warga sepakat lahannya menjadi lokasi bandara atau tidak. “Katanya juga mau persuasif (terkait pengosongan lahan), tapi malah kayak begini (pengosongan lahan paksa disertai kekerasan).”
Menurut Sofyan, insiden pengosongan paksa pada Selasa kemarin hanyalah kelanjutan peristiwa serupa yang kerap dialaminya dan warga penolak bandara lain. “Benturan fisik sejak dulu. Tapi, kami konsisten, menolak lahan kami diukur (untuk dibeli), dipatok juga tak boleh.”
Saat ini Sofyan berkata hanya kesulitan pada akses setrum usai semua meteran listrik di 38 rumah anggota Paguyuban dicabut oleh petugas PLN bersama tim pengosongan lahan PT Angkasa Pura I pada pekan kemarin. Posisi rumahnya berada jauh dari lokasi penempatan genset.
“Saya harus pasang kabel panjang. Kalau siang, saat ada ekskavator lewat, biasa digasak kabelnya. Setiap malam harus pasang kabel lagi,” ujarnya. “Aktivitas lain tetap seperti biasa, saya tetap menanam cabai di ladang (juga di lokasi bandara).”
Pakar Hukum Administrasi Negara dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta Riawan Tjandra menilai langkah PT Angkasa Pura I hanya akan memperpanjang umur konflik.
Undang-Undang 2/2012 tentang pengadaan tanah memang memberikan kewenangan negara untuk mengambil lahan warga dengan alasan demi kepentingan umum. Meski begitu, menurut Riawan, penerapan UU ini hanya menghasilkan proses pembebasan lahan secara cepat tapi menyimpan bara pertikaian.
Riawan menilai, konflik Bandara Kulon Progo berkaitan erat dengan kontestasi akses lahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ini terutama dipicu oleh semakin sempitnya lahan untuk pertanian karena proses alih fungsi yang masif. Selain perencanaan proyek bandara berlangsung tanpa proses dialog dan partisipasi yang memuaskan semua warga.
“Proses pembangunan Bandara Kulon Progo dan pengadaan tanahnya tak lepas dari konflik sejak awal. Ini memang tak cukup berkaca pada undang-undang,” ujarnya.
“Kata kuncinya harus diselesaikan dengan dialog. Tak bisa dari kaca mata hukum saja. Kalau tak ada dialog, perlawanan warga akan terus terjadi.”
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Fahri Salam