Menuju konten utama

Aksi Gebuk Aparat saat Pengosongan Paksa Lahan Bandara Kulon Progo

Seorang aktivis yang mengadang aksi pembersihan paksa lahan warga dijatuhkan aparat, diinjak-injak, rambutnya dijambak, lalu diseret menjauhi lokasi.

Polisi mengawasi proses pengosongan paksa lahan dan permukiman warga yang tetap bertahan di tengah proyek Bandara Kulon Progo, Senin, 4 Desember 2017). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/Spt/17

tirto.id - “Pak, jangan dirusak, sanggar seni ini bangunan milik saya, hak miliknya masih di saya.”

“Lha, ini sudah dibeli.”

“Dibeli apanya? Sertifikat masih di saya. Tidak pernah saya serahkan hak milik saya.”

Cekcok antara Hermanto dan seorang petugas PT Angkasa Pura 1 itu selesai tanpa kesimpulan. Si petugas enggan beradu pendapat dengan warga penolak Bandara Kulon Progo dan melengos pergi.

“Ini cuma pohonnya,” kata petugas lain, meyakinkan Hermanto bahwa ekskavator cuma membersihkan sisa pohon roboh pekan lalu. Hermanto terdiam dan menunggu.

Ternyata ekskavator bergerak ke sanggar seni milik Hermanto. Ia bergegas mengadang. Lalu, “Bukkk,” lemparan benda menyambar keningnya. Darah mengucur, tapi pria 50 tahun ini hanya diam.

“Saya tidak tahu benda apa itu, datangnya dari arah barisan polisi,” katanya kepada reporter Tirto pada Selasa sore kemarin, beberapa jam usai peristiwa.

Para warga Desa Palihan, yang menemani Hermanto, segera menariknya mundur dan menuju rumahnya. Selang sejam, bangunan sanggar seni seluas 9-an meter persegi itu runtuh. Isinya, sejumlah ukiran relief dan patung berbahan semen turut ludes diterjang ekskavator.

“Banyak patung di sana, tidak ternilai harganya,” kata Hermanto. “Padahal mereka (Angkasa Pura) dulu bilang, 'Yang dirobohkan yang sudah dikonsinyasi.' Sementara saya tidak (setuju) dikonsinyasi.”

Bagi Hermanto, pemberian ganti rugi secara konsinyasi baru sah jika warga sudah setuju dengan pernyataan bermaterai disertai pelimpahan sertifikat bukti hak miliknya atas lahan.

“Semua belum saya lakukan. Saya niatnya memang tidak menjual (tanah untuk bandara),” ujarnya. “Ini (perobohan sanggar) tindakan sewenang-wenang, bahkan layak disebut biadab.”

Bangunan sanggar itu berjarak beberapa langkah di depan Masjid Al-Hidayah. Masjid ini belakangan menjadi posko tempat berkumpul para aktivis—sebagian adalah mahasiswa—yang bersolidaritas mendukung anggota Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo mempertahankan lahan.

Beberapa meter dari dua bangunan itu, di samping masjid, berdiri rumah milik keluarga besar Hermanto. Dua bendera Merah Putih terpancang di atas genting. Keluarga ini kompak menolak pengosongan lahan untuk bandara.

Mereka memiliki lahan bangunan sekaligus pekarangan seluas 1.500-an meter persegi di Kampung Kragon II, RT 19, RW 8, Kecamatan Temon. Pekan lalu, 27 November, rumah ini disatroni ekskavator dan petugas gabungan pimpinan PT Angkasa Pura 1. Sejumlah pohon dirobohkan. Meteran listrik dicabut. Belasan jendela dan tiga pintu dicopot.

Pada Selasa sore kemarin, 5 Desember, suasana di sekitar rumah keluarga besar Hermanto kembali berantakan. Timbunan puing bangunan sanggar seni berserak. Sisa kayu pohon menumpuk di depan rumah. Jalanan tanah belasan meter—akses rumah itu menuju jalan aspal—juga dikeruk.

“Setelah merobohkan bangunan dan pohon, mereka pergi. Ditinggal begitu saja, tidak dibersihkan,” kata Fajar, adik Hermanto, yang keluarganya tinggal di rumah tersebut.

“Sepertinya mereka puas, lalu pergi.”

Baca wawancara: "BPN itu Stafnya Sultan atau Kementerian?"

Serbuan Pengawal Ekskavator dan Penangkapan Aktivis

Selasa pagi, ratusan pasukan gabungan polisi, TNI, dan Satpol PP bersama 6 ekskavator bergerak dari gedung kantor PT Pembangunan Perumahan, BUMN rekanan PT Angkasa Pura 1, dalam menggarap proyek Bandara Kulon Progo.

Satu ekskavator menuju ke rumah Yanto, seorang warga penolak bandara, yang berjarak sepelemparan batu dari kantor PT Pembangunan Perumahan. Alat berat sejenis juga bergerak merobohkan sebuah bangunan warga yang sudah menyerahkan lahannya untuk bandara. Lokasinya berdekatan dari rumah Yanto.

Di rumah Yanto, sejumlah warga dan aktivis menghalangi proses pengosongan paksa yang merobohkan beberapa batang pohon. Belasan warga dan aktivis mencegahnya, tapi gagal.

Hampir bersamaan, tiga ekskavator bersama ratusan aparat gabungan bergerak menuju rumah Hermanto, sekitar 200-an meter dari kantor PT Pembangunan Perumahan. Saat itu sekitar pukul 10.00.

Si empu rumah, Hermanto, sontak bergegas mengadang dua ekskavator di depan sanggar seni.

“Hari ini, saya kira pengosongan lahan di Desa Glagah, karena di sana banyak warga yang sudah menyerahkan lahannya (untuk bandara),” kata Hermanto. “Ternyata malah ke sini, saya kaget.”

Fajar, adik Hermanto, saat itu masih di rumah Yanto ikut mengadang ekskavator. Tahu ada alat berat lain bergerak menuju rumahnya, ia segera berlari. Tanpa komando, ia berbagi tugas dengan kakaknya. Hermanto mengadang ekskavator di depan, Fajar berlari ke pekarangan belakang rumah mencegah perobohan belasan batang pisang, kelapa, jati emas, dan mahoni.

“Waktu saya sibuk mencegah ekskavator itu, ada satu ekskavator lain masuk ke belakang rumah. Ada mahoni besar mau dirobohkan,” kata Fajar. “Kami dikecoh, mereka bersamaan ke banyak tempat.”

Bersama segelintir warga dan aktivis, Fajar mencegah belasan batang tanaman miliknya itu diremuk ekskavator. Saat itu, menurutnya, barisan aparat gabungan—mayoritas polisi berseragam dan membawa pentungan—membentuk pagar betis mengelilingi kompleks rumah.

“Sepertinya kami dikepung,” ujarnya. “Saat itu saya bilang ke mereka, 'Ini tanah saya, pohon juga milik saya. Mana surat tugas?' Tapi tidak ada aparat yang menjawab.”

Saat berusaha meyakinkan aparat bahwa belasan pohon di pekarangan adalah aset miliknya yang tak boleh diganggu, kericuhan terjadi. Ada insiden saling dorong.

“Mungkin ada polisi kesenggol saya. Lalu saya diteriaki polisi, 'Tangkap itu, tangkap itu'. Padahal saya tidak memukul sama sekali,” kata Fajar.

Ia berkata sempat lari menghindari sergapan polisi. “Lalu, saya kena, dibawa sambil dipiting, sampai kecekik saya, begini," ujar Fajar meniru gerakan polisi melingkarkan lengan ke leher. "Saya sempat tak bisa bernapas, terus dilepas, tapi lalu dicekik lagi.”

Menurut Fajar, aparat menendang kakinya saat ia diseret dari lahan pekarangan ke jalan raya. Saat itu ia mendengar banyak polisi meneriakinya: “Bawa itu, bawa itu.”

Seorang polisi dari warga Desa Glagah, tetangga Desa Palihan, mencegah aksi kekerasan polisi tersebut.

“Dia bilang ke polisi lain, kalau saya warga sini. Lalu dia minta saya duduk saja di jalan raya dekat dia, disuruh menunggu (perobohan pohon dan bangunan). Dia tawari saya rokok, saya tolak,” ujarnya.

Berbarengan pengosongan paksa di lahan milik Hermanto dan Fajar, 12 aktivis yang mencegah pengosongan paksa diciduk polisi. Setelah ditangkap, mereka dibawa ke Kantor PT Pembangunan Perumahan, lantas ditahan di Kantor Polres Kulon Progo.

Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai mengatakan mereka ditahan untuk "dimintai keterangan." Polisi menuding para aktivis itu "memprovokasi warga" untuk menolak pengosongan lahan bandara.

"Untuk 12 aktivis yang diamankan, masih kami data dulu identitasnya," kata Irfan via pesan singkat.

Pada Selasa sore, pasukan gabungan bersama ekskavator kembali bergerak dari kantor PT Pembangunan Perumahan. Kali ini menuju Desa Glagah dan bergerak ke lahan milik Sukasno. Di sana, empat aktivis, yang mencegah pengosongan paksa, juga ditangkap.

Salah satu dari mereka dilepas oleh polisi setelah sejumlah warga meyakinkan aparat bahwa pemuda bernama Aulia itu warga Desa Glagah. Tapi, tiga aktivis lain, yakni Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat—ketiganya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga—ditahan untuk diperiksa di Kantor Polres Kulon Progo.

Mereka akhirnya dilepas oleh polisi pada pukul 22.00 karena "tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum."

“Tak ada perbuatan pidana yang terbukti dilakukan oleh mereka,” kata Yogi Zul Fadli, pengacara LBH Yogyakarta yang mendampingi pemeriksaan itu.

Meski begitu, belasan aktivis terkena bogem dan kekerasan lain saat ditangkap polisi. Telepon genggam mereka sempat disita. Belakangan, mereka tahu data hasil dokumentasinya saat pengosongan lahan terhapus. Sebagian dari mereka adalah aktivis pers mahasiswa yang bersolidaritas sekaligus mengerjakan peliputan di Kulon Progo.

Siaran pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mencatat salah seorang wartawan televisi bahkan nyaris dihajar polisi lantaran mendokumentasikan insiden di rumah Sukasno.

Ahmad Haedar, aktivis jaringan solidaritas untuk warga penolak Bandara Kulon Progo, mencurigai bahwa pengosongan paksa pada Selasa kemarin memanfaatkan waktu sepi para aktivis. Sehari sebelumnya, saat ratusan aktivis menemani warga menolak pengosongan paksa itu, tak ada insiden kekerasan.

“Pada Selasa pagi, cuma sedikit relawan. Di Masjid Al-Hidayah, ada 30-an orang saja,” kata Ahmad.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/12/06/aksi-pengosongan-paksa-terhadap-warga-penolak-bandara-kulon-progo--indepth--mojo.jpg" width="860" alt="Infografik HL Indepth Kulon Progo" /

Pengosongan Lahan “Persuasif”: Seret Dulu, Pukul Kemudian

Syarif Hidayat tak menyangka ajakan "dialog" seorang aparat polisi berbuah sial untuknya. Ceritanya, ia meyakinkan pasukan gabungan untuk tidak merobohkan pohon di sekitar rumah milik Sukasno. Peristiwa ini terjadi selepas Asar, sekitar pukul 15.30.

“Ada polisi bilang ke saya, 'Kamu mau tahu batas lahan milik Sukasno? Kemari, saya tunjukkan'. Tapi dia malah dorong saya ke kerumunan polisi. Saya kemudian dibawa menjauh dari lokasi,” kata mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini.

Syarif juga menerima pukulan dari sejumlah polisi sampai-sampai kepala dan hidungnya berdarah.

“Saya enggak menghitung berapa kali dipukuli, banyak, kebanyakan terkena kepala,” ujarnya.

Tiga orang lain bernasib sama seperti Syarif: dibawa menjauh dari lokasi lahan milik Sukasno oleh polisi sembari dipukuli.

“Saya dan dua rekan mahasiswa lain dibawa ke polres, satu lain dilepas karena dia warga Desa Glagah.”

Sejumlah warga Desa Glagah menjadi saksi mata peristiwa itu, yang enggan menyebutkan nama, mendengar Syarif dan tiga orang lain diteriaki sejumlah polisi bahwa mereka "menyerang" aparat. Padahal, menurut para warga, mereka sama sekali tak melakukan kekerasan kepada aparat.

Nasib nahas juga dialami Rimba, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, saat terjadi pengosongan lahan Hermanto dan Fajar. Aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi ini menunggangi motor dari Yogyakarta ke Desa Palihan, berjarak sekitar 43 kilometer, pada hari itu. Ia tiba saat ratusan aparat mengepung rumah Hermanto.

"Di dekat masjid Al-Hidayah, semua pohon sudah dirobohin, terus saya lihat ada aparat di belakang rumah (milik Hermanto), dan saya melihat kawan-kawan sedang dipojokkan di sana," ujarnya.

Saat Rimba berlari untuk membantu aktivis dan warga, ia merasa kakinya dijegal. Ia tak ingat siapa yang melakukannya. Tahu-tahu ia sudah terbaring di tanah dan diinjak-injak oleh sekitar 15-an polisi.

"Saya enggak bisa melawan," kata Rimba.

Sesudahnya, rambut Rimba dijambak, kaki, dan tangannya dipegang lalu diseret sekitar 10-an meter dari belakang masjid menuju jalan raya. Akibatnya, ia terluka di bagian punggung akibat diseret ke reruntuhan bangunan.

"Saya baru dilepaskan ketika masuk jalan raya, pas sampai di jalan, saya baru tahu ternyata ada banyak yang sudah ditangkap, ada 12 orang," katanya.

Saat ke-12 aktivis itu tiba di PT Pembangunan Perumahan, mereka diminta identitasnya dan keterangan, tetapi mereka menolak menjawab sebelum didampingi kuasa hukum.

Polisi lantas membawa mereka ke Polres Kulon Progo menggunakan truk. Sebelum masuk polres, Rimba dan 11 aktivis lain diminta untuk melucuti semua barang bawaan, kecuali pakaian. Rimba menyerahkan ponsel, barang satu-satunya yang saat itu ia bawa selain kartu pers LPM Ekspresi. Ia melihat Imam, seorang rekannya, menyerahkan kamera liputan.

"Ketika sudah dikembalikan, sekitar jam 2, datanya hilang, padahal kamera itu dipakai buat merekam kejadian sebelum kami ditangkap. Kami tahunya, sebelum diambil polisi, datanya masih," ujar Rimba.

Polisi meminta keterangan Rimba dan ke-14 aktivis lain selama sekitar satu jam. Menurut Rimba dan Syarif, polisi bertanya kepada mereka mengenai tujuannya ke Kulon Progo, identitasnya hingga sumber dana perjalanannya ke lokasi Bandara Kulon Progo.

Namun, kata Rimba, saat ia balik bertanya ke polisi, tak ada penjelasan perihal mengapa ia dan sejumlah rekannya diseret, diinjak-injak, dan dipukuli.

Aksi kekerasan aparat di Desa Palihan dan Glagah pada Selasa pagi dan sore kemarin berkebalikan dari pernyataan manajer pembangunan Bandara Kulon Progo PT Angkasa Pura 1, Sujiastono, saat dihubungi reporter Tirto pada Senin lalu, 4 Desember.

Sujiastono mengklaim pengosongan lahan milik warga, yang masih bertahan, akan dilakukan dengan "persuasif." Batas waktunya, menurut dia, tidak dipatok oleh PT Angkasa Pura 1 meski sebelumnya BUMN ini sudah menargetkan tenggat pada 4 dan 5 Desember.

“Kami berharap mereka bisa keluar dengan kesadaran saja. Kami lakukan langkah persuasif. Kalau mereka tinggal di situ, merugikan diri mereka sendiri. Karena nanti banyak alat berat (saat proyek). Nanti mereka tidak nyaman tinggal di situ,” kata Sujiastono.

Saat dikonfirmasi soal aksi kekerasan terhadap warga dan aktivis, Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai membantah telah terjadi pemukulan yang dilakukan oleh anggotanya.

"Soal pemukulan, tidak benar ada pemukulan terhadap aktivis. Yang dikabarkan soal korban luka-luka itu, Hermanto, karena terkena benturan kamera aktivis lainnya," kata Irfan.

==========

Baca sejumlah laporan utama kami mengenai pola pembangunan di Yogyakarta:

Baca juga artikel terkait BANDARA KULON PROGO atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: Addi M Idhom & Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Fahri Salam