tirto.id - Sengketa lahan untuk lokasi Bandara Kulon Progo (NYIA) terus berlanjut. Sebagian warga di Desa Glagah dan Palihan, Kecamatan Temon, bersikeras menolak menyerahkan lahannya untuk proyek ini. Ratusan warga dan aktivis menghadang rencana pengosongan lahan (land clearing) itu pada Senin (4/11).
PT Angkasa Pura 1 (AP I) memang memberi tenggat akhir pengosongan lahan dan rumah warga itu pada Senin, 4 Desember 2017. Ratusan polisi dan Satpol PP bersama sejumlah alat berat dikerahkan ke lokasi pemukiman warga pada hari itu. Sampai hari ini, tercatat masih ada 38 pemilik tanah dan rumah yang menolak menyerahkan kepemilikannya.
Manajer Pembangunan Bandara Kulon Progo (NYIA) PT Angkasa Pura 1, Sujiastono mengklaim para warga Glagah dan Palihan sudah tidak memiliki hak kepemilikan atas lahannya. Sebab, Pengadilan Negeri (PN) Wates sudah memutuskan mereka menerima ganti rugi lewat mekanisme konsinyasi.
Sujiastono mencatat ada 353 pemilik lahan dan rumah penerima ganti rugi konsinyasi. Warga yang menolak pengosongan lahan masuk di daftar itu.
“Karena sudah diputus konsinyasi, lahannya jadi milik negara. Sudah terjadi pemutusan hukum (di PN Wates). Kalau mereka punya sertifikat atau girik, sudah tidak berlaku lagi,” kata Sujiastono saat dihubungi Tirto pada Senin (4/12/2017).
Ia bersikukuh penentuan nilai ganti rugi konsinyasi itu telah melewati proses penilaian appraisal pada lahan dan rumah warga. Sujiastono menolak anggapan sebagian warga Glagah dan Palihan bahwa penentuan nilai konsinyasi tidak sah sebab lahannya tak pernah diukur lembaga appraisal.
“Itu sudah ada aturan UU-nya. Mereka dipanggil tidak datang. Disurati tidak mau menerima. Didatangi petugas pengadilan tidak mau,” kata Sujiastono berdalih.
Konsinyasi adalah pemberian ganti rugi untuk pemilik tanah yang dititipkan melalui pengadilan pada proses pengadaan lahan di proyek pembangunan yang disokong pemerintah. Ketentuannya diatur Pasal 42 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Sujiastono menambahkan, pengosongan lahan milik warga, yang masih menolak menyerahkan tanahnya, dilakukan dengan persuasif. Batas waktu pengosongan lahan, menurut dia, tidak dipatok oleh Angkasa Pura 1 meski faktanya hari ini ada pengerahan pasukan gabungan dan alat berat ke wilayah permukiman warga.
“Kami berharap mereka bisa keluar dengan kesadaran saja. Kami lakukan langkah persuasif. Kalau mereka tinggal di situ, merugikan diri mereka sendiri. Karena nanti banyak alat berat (saat proyek). Nanti mereka tidak nyaman tinggal di situ,” kata Sujiastono.
Menurut dia, lahan milik warga yang menolak digusur itu akan menjadi bagian dari bangunan terminal penumpang bandara, jalan dan sejumlah gedung. “Pasti kiri kanannya dibangun. Kalau mereka enggak keluar, rugi sendiri, banyak suara bising dan debu. Kami tidak memaksa,” ujar dia.
Sementara itu, Kepala Departemen Advokasi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Yogi Zul Fadli mengkritik penerapan ganti rugi sistem konsinyasi. Ia menilai praktik ganti rugi konsinyasi, yang didasari UU Pengadaan Tanah, itu bersifat merampas dan sepihak.
"Rezim UU pengadaan tanah itu tidak memberi ruang partisipatif, semangatnya merampas. Tanah-tanah yang sudah didata, dinilai appraisal kemudian dikonsinyasi, hak atas tanahnya (warga) secara normatif menjadi terhapus meskipun sertifikat atau alas hak lain masih dipegang warga," kata Yogi.
Pakar Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Riawan Tjandra juga berpendapat pelaksanaan proyek Bandara Kulon Progo tidak bisa hanya memperhatikan aspek legal formal. UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah memang memberikan kewenangan negara untuk mengambil lahan warga dengan alasan demi pembangunan yang terkait kepentingan umum.
Tapi, menurut Riawan, penerapan UU ini hanya menghasilkan proses pembebasan lahan secara cepat. Sementara di banyak kasus, penerapan UU itu seringkali memperpanjang umur konflik pemerintah dengan warga. Ia mencontohkan, selain di kasus Bandara Kulon Progo, implementasi UU itu juga memicu konflik hebat pemerintah vs masyarakat di kasus Semen Rembang.
“UU ini tak berhasil menjadi solusi jalan keluar yang memuaskan penduduk. Bahkan, UU ini tak bahas solusi mengatasi masalah calo. Perspektif sosiologisnya belum selesai,” ujar dia.
Riawan menilai, konflik Bandara Kulon Progo berkaitan erat dengan kontestasi akses lahan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini terutama dipicu oleh semakin sempitnya lahan untuk pertanian karena proses alih fungsi yang masif. Selain itu, perencanaan proyek bandara ini berlangsung tanpa proses dialog dan partisipasi yang memuaskan semua warga.
“Proses pembangunan Bandara Kulon Progo dan pengadaan tanahnya tak lepas dari konflik sejak awal. Ini memang tak cukup berkaca pada UU,” kata dia.
Karena itu, dia mengingatkan konflik soal bandara ini bisa berkepanjangan. Selain itu, muncul risiko peningkatan kemiskinan di pesisir Kulon Progo sebab banyak warga susah mengakses lahan pertanian.
“Kata kuncinya harus diselesaikan dengan dialog. Tak bisa dari kaca mata hukum saja. Ini bisa menyimpan bara api konflik,” ujar dia. “Kalau tak ada dialog, perlawanan warga akan terus terjadi. Warga bisanya cuma bertani. Mereka diberi jalan buntu untuk masa depan mereka.”
Klaim Angkasa Pura 1 Berkebalikan dengan Pengakuan Warga
Pernyataan Sujiastono berkebalikan dengan pernyataan warga yang masih bersikeras mempertahankan lahannya. Pernyataan pers Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP), pada Minggu (3/12/2017), menyatakan langkah Angkasa Pura 1 pada hari ini melanggar hak kepemilikan sejumlah warga atas tanah dan bangunannya.
Mereka menegaskan sejak awal menolak rencana pembangunan Bandara Kulon Progo dengan tanpa syarat. Karena itu, mereka juga menolak negosiasi ganti rugi. Paguyuban warga juga menilai putusan pengadilan soal nilai ganti rugi konsinyasi tidak berdasar.
“Kami tidak pernah menyerahkan tanda bukti kepemilikan tanah dan bangunan seperti SHM dan tanda bukti bayar PBB. Tanah dan bangunan kami tidak pernah di (hitung) appraisal, diukur, dan sebagainya. Kami juga tidak pernah menghadiri acara sosialisasi atau negosiasi penjualan tanah yang diadakan AP (Angkasa Pura) atau pemerintah,” demikian pernyataan PWPP-KP.
Pernyataan PWPP-KP juga menegaskan, “Kami tidak akan meninggalkan tanah kami hanya karena sejumlah uang yang akan habis bahkan sebelum anak-anak kami lulus sekolah. Apalagi banyak cerita tetangga dan keluarga kami yang uang ganti ruginya sudah habis dan belum lunas dibayarkan.”
Klaim Sujiastono soal langkah pengosongan lahan dilakukan secara persuasif juga telah dibantah oleh PWPP-KP. Mereka menuding proses pengosongan lahan itu telah memakai cara intimidasi dan kekerasan saat berlangsung pada 27 November 2017.
“Tidak sedikit warga kami yang disakiti fisik, rusak rumahnya, dan mati tanamannya.” Berdasar pernyataan PWPP-KP, intimidasi itu berupa pencopotan meteran listrik di rumah anggotanya sekaligus penyampaian ancaman ke sejumlah keluarga di setiap rumah.
"Ada sekitar 300 jiwa dan 100 KK [kepala keluarga] terancam kehidupannya di dalamnya di dominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Sejumlah warga yang berusaha mempertahankan tanahnya diperlakukan tidak manusiawi, ibu-ibu diseret sampai ada penangkapan warga dengan memborgol tangan kemudian dibawa ke kantor PT. PP untuk diamankan," demikian pernyataan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) terkait dengan proses pengosongan lahan pada 27 November 2017.
PWPP-KP sudah mengadukan pemutusan saluran listrik dan pembongkaran rumah sejumlah warga itu ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Selasa (28/11/2017) lalu.
Ketua ORI Perwakilan DIY, Budi Masturi sudah menyatakan lembaganya meminta pengosongan lahan calon lokasi Bandara Kulon Progo ditunda. Permintaan Ombudsman itu muncul karena lembaga ini sedang melakukan investigasi mengenai kemungkinan adanya dugaan maladministrasi di kasus ini.
Tim Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakarta telah mengumpulkan informasi awal dari warga. Lembaga ini mencatat ada tindakan perusakan aset warga dan akasi intimidatif kepada mereka saat pengosongan lahan terjadi pada 27 November.
Selanjutnya, lembaga ini akan segera memanggil PT. Angkasa Pura I, Kepolisian, PT. PLN, Pemda Kulonprogo untuk meminta klarifikasi.
Sementara saat ini sedang musim hujan dan beberapa di antara warga memiliki anak sekolah yang sedang menjalani Ujian Akhir Semester. Kondisi ini membuat banyak warga di Desa Glagah dan Palihan sangat memerlukan sarana permukiman dan penerangan.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Abdul Aziz