tirto.id - Wajah Yogyakarta telah banyak berubah, mal, hotel, dan apartemen berdiri di titik-titik strategis. Misalnya, Hartono Mall di ring road utara dan Jogja City Mall (JCM) di Jalan Magelang. Pusat-pusat perbelanjaan ini mengakomodasi gaya hidup kelas menengah yang sedang tumbuh di Yogyakarta, dengan menyajikan bioskop, tempat nongkrong, tempat bermain anak, barang-barang mewah, pusat kebugaran, dan pusat kecantikan dalam satu tempat.
Daya tariknya tak hanya di sana. Branding Yogyakarta sebagai kota nyaman, warga yang ramah, akses pendidikan dengan universitas-universitas terbaik, kemudahan akses transportasi, biaya hidup relatif murah, ketersediaan tempat wisata, dan banyak fasilitas penunjang lain sukses besar. Branding yang baik itu membuat warga luar Yogya semakin tertarik tinggal ke kota tersebut. Sementara warga asli Yogya, sepertinya enggan untuk meninggalkan kota kelahirannya.
Inilah yang membuat kota Yogya semakin padat. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta tahun 2014, data statistik penduduk Yogyakarta mencapai 3.457.491 jiwa, dengan komposisi 49,43 persen laki-laki dan 50,57 persen perempuan yang tersebar di lima kabupaten/kota. Hasil Sensus Penduduk tahun 1971 mencatat jumlah penduduk DIY sebanyak 2,49 juta jiwa.
Imbasnya, kebutuhan akan hunian di Kota Yogyakarta juga meningkat. Pengembang memanfaatkan kondisi ini untuk memperluas bisnis propertinya. Namun, dalam hal menyediakan perumahan jumlahnya terbatas mengingat harga tanah yang terus menerus melambung tinggi.
Harga Rumah di Yogyakarta
Kenaikan harga tanah di Yogyakarta memang sudah mulai tidak masuk akal. Di beberapa titik, harganya sudah mencapai puluhan juta per meternya. Aqil Hasib Asad, seorang broker profesional di Lembaga Property Today kepada tirto.id mengatakan saat ini harga tanah di Yogyakarta sudah berada di kisaran Rp200 ribu-Rp40 juta per meter persegi. “Dengan harga seperti itu, pengembang tak mungkin menjual properti mereka dengan harga dimulai dari Rp150 juta,” katanya.
Oleh karena itulah, kata Aqil, pengembang memilih sasaran konsumen kelas menengah ke atas. Alasannya sederhana, perputaran ekonomi bagi pengembang menjadi lebih mudah untuk diperhitungkan. “Kelak jika terjadi perubahan pada nilai kurs rupiah di mata dolar, situasi regional, dan suku bunga bank, tidak akan terlalu banyak merepotkan pengembang dalam memperhitungkan harga jual,” katanya.
Perhitungan bisnis itu membuat pengembang menjual harga propertinya senilai lebih dari Rp350 juta. Dengan harga setinggi itu, pengembang menyasar konsumen kelas menengah dan atas. “Untuk persentasenya sendiri 70 persen kelas menengah dan 30 persen kalangan atas,” terang Rizal Safii, Marketing CV Pandji Utama pada tirto.id di awal Agustus silam.
Sejalan dengan keterangan Aqil dan Rizal, menurut data UrbanIndo, sebuah situs penyedia jasa database perumahan, terungkap bahwa minat kelas menengah-atas akan perumahan memang sangat tinggi.
Pada data itu disebutkan di Sleman, Yogyakarta, untuk rumah dengan kisaran harga Rp398-785 juta peminatnya mencapai 25 ribu orang. Sementara untuk rumah dengan harga Rp785-Rp1,5 miliar peminatnya fluktuatif antara 20-25 ribu orang.
Hampir mirip dengan di Sleman, di Kota Yogyakarta, rumah dengan harga Rp437 juta-Rp934 juta memiliki peminat mencapai 35 ribu. Di bawah kisaran harga tersebut, peminatnya lebih rendah berkisar antara 10-25 ribu konsumen. Sementara untuk perumahan dengan harga lebih dari Rp1 miliar peminatnya 5-15 ribu konsumen.
Dengan harga rumah berkisar Rp400 juta-Rp1 miliar, akan terjangkau hanya oleh orang dengan penghasilan mendekati Rp15 juta seperti keterangan Aqil.
“Rumus perbankan kan begini, mencicil berarti harus mengeluarkan sepertiga dari gaji, kalau punya pendapatan Rp15 juta, maka pengeluaran untuk nyicil bisa antara Rp5-7 juta per kamu bisa ambil KPR rumah seharga Rp400 juta bahkan sampai Rp700 jutaan,” terang Aqil.
Sementara untuk orang yang gajinya UMR, misalnya Rp1,3 juta paling banter mampu membeli rumah dengan harga berkisar Rp300 juta dengan KPR, dengan catatan ia mengalokasikan seluruh gajinya untuk mencicil. Pengembang penyedia rumah dengan harga tersebut masih ada di Yogyakarta, contohnya CV Pandji Utama.
UrbanIndo menunjukkan data persediaan properti dengan kisaran harga dari Rp205 juta-398 juta masih ada di wilayah Sleman, jumlahnya sekitar 10 ribu buah properti. Sementara di kota Yogyakarta, masih tersedia properti dengan harga mulai dari Rp243 juta-473 juta dengan jumlah 5 ribu buah properti.
Kenyamanan dan Investasi
Berdasarkan data yang disajikan oleh UrbanIndo, para peminat properti kelas menengah atas ini memilih perumahan di kecamatan Depok, Mlati, Ngaglik, Godean, Gamping, Kalasan, dan Ngemplak di wilayah Kabupaten Sleman. Sementara di Kota Yogyakarta, daerah yang dipilih para peminat ini meliputi Umbulharjo, Gondokusuman, Kota gede, Tegalrejo, Mantijeron, Jetis, dan Mergangsan.
Kawasan–kawasan itu merupakan titik-titik strategis di Yogyakarta, relatif dekat dengan akses pendidikan, hiburan, perbelanjaan tetapi tetap memberikan kenyamanan untuk hunian lingkungan asri.
Sebagai contoh, jarak hunian dari Condong Catur di Depok Sleman, akses ke universitas ternama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Pembangunan Nasional (UPN), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dapat ditempuh tak kurang dari 15 menit dengan kendaraan bermotor. Untuk bersantai atau berbelanja, cuma butuh 10 menit ke Hartono Mall. Sedangkan untuk berobat telah tersedia rumah sakit bertaraf internasional seperti Jogja International Hospital. Akses ke Bandara Adisucipto cukup ditempuh 20 menit saja.
Namun, tidak semua konsumen perumahan premium di Yogyakarta menjadikan rumah itu sebagai hunian pertama atau kedua. Ada di antara mereka yang memilih menyewakan kembali atau hanya untuk berinvestasi.
Aqil menjelaskan, kontribusi kelas menengah dalam bisnis properti di Yogyakarta bisa mendekati 55 persen dan kalangan atas mendekati 45 persen.
Sementara untuk kontribusi kelas menengah bawah sebagai konsumen dalam bisnis properti di Yogyakarta smakin menyusut. Aqil hanya mengatakan lama kelamaan akan terjadi konflik sosial jika kelas menengah ke bawah tak digarap.
Senada dengan itu Sekretaris Dewan Perwakilan Daerah (DPD) REI Yogyakarta, Rama Pradipta, menjelaskan seratus persen konsumen properti di kelas premium berasal dari kalangan atas yang berprofesi sebagai wiraswasta, pejabat eselon III ke atas, karyawan BUMN, dan multinasional. Motif kepemilikan rumah pun kebanyakan adalah untuk investasi jangka panjang. “Properti kelas premium 100 persen dibeli kelas atas,” katanya melalui email pada Senin lalu.
Prof. Dr. Sri Edi Swasono dalam acara peluncuran buku “Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta: Jalan Politik Kemakmuran Indonesia,” di Universitas Gadjah Mada, pada pertengahan bulan Agustus lalu menyampaikan bahwa ada ketimpangan dalam pembangunan di Indonesia saat ini.
“Pembangunan Indonesia saat ini adalah pembangunan yang menggusur orang miskin bukan menggusur kemiskinan,” katanya.
Menurut menantu mantan Wakil Presiden Moh. Hatta, kesimpulan itu ia dapatkan dari pengamatan sehari-harinya. Ia melihat pembangunan yang terjadi di Indonesia, lebih khusus pembangunan yang terjadi di kota Yogyakarta, yang surah hiruk pikuk dengan mal, hotel, dan apartemen megah di beberapa titik.
Baginya pembangunan itu seharusnya dapat menggusur kemiskinan. Kenyataannya, warga miskin di Indonesia justru hanya dapat menikmati emperan toko atau pelosok-pelosok kumuh sebagai tempat tinggal.
Rumah-rumah yang berdempetan di antara hotel, mal, dan pusat perkantoran itu memperlihatkan ada suatu ketimpangan besar dalam pembangunan. “Setelah pembangunan selesai , jadi, yang tinggal di sana orang lain! Orang miskin dapat yang pinggir jalan,” kata Edi.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Agung DH