tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, kembali merestui untuk memberikan kembali insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) pada sektor perumahan sebesar 100 persen. Sebelumnya, kebijakan ini resmi berakhir pada 30 Juni 2024.
Kebijakan ini akan dimulai untuk masa pajak September-Desember 2024. Artinya, melalui kebijakan ini, pemerintah akan menanggung 100 persen PPN atas penyerahan rumah tapak dan satuan susun pada periode September-Desember tahun ini.
“Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan insentif pajak. Pertama, nilai yang ditanggung pemerintah, PPN DTP untuk sektor perumahan. Di mana insentif PPN DTP yang akan diberikan sebesar 100 persen. Ini sampai dengan bulan Desember 2024,” kata Airlangga, dalam konferensi pers usai Dialog Ekonomi “Peran dan Potensi Kelas Menengah Menuju Indonesia Emas 2045, di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Airlangga telah meminta Menteri Keuangan, Sri Mulyani, untuk menyusun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) agar kebijakan segera berjalan. Ia meyakini, kebijakan ini akan meningkatkan jumlah kelas menengah sekaligus mengerek kinerja industri properti itu.
“Di mana PMK-nya akan disiapkan oleh Ibu Menteri Keuangan,” lanjutnya.
Airlangga bilang, salah satu pertimbangan pemberian insentif PPN DTP untuk sektor perumahan sebesar 100 persen adalah karena perumahan menjadi pengeluaran kedua terbesar masyarakat kelas menengah, persis berada di bawah belanja makanan.
Kemudian, selain PPN DTP 100 persen, pemerintah juga menambah kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan dari Pemerintah (FLPP) yang tadinya sebesar 166 ribu unit menjadi 200 ribu unit. Sama halnya dengan insentif pajak, tambahan kuota rumah untuk masyarakat berpendapatan rendah (MBR) ini juga akan berakhir di penghujung tahun 2024.
"Perumahan menjadi prioritas, ini menjadi salah satu pengeluaran kedua terbesar. Dan setelah makanan dan minuman, sehingga bagi kelas menengah sektor perumahan ini menjadi penting," jelas Airlangga.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu berharap, pemberian insentif dan penambahan kuota FLPP dapat memberikan efek berganda (multiplier effect) kepada perekonomian nasional. Ia beralasan, sektor properti pun akan ikut terungkit saat gairah kelas menengah untuk membeli hunian meningkat.
Selanjutnya, investasi dan penciptaan lapangan kerja akan bertambah seiring dengan naiknya permintaan masyarakat baik terhadap rumah tapak maupun rumah susun. “Kemudian kelas menengah juga punya peran strategis untuk mendukung perekonomian, terutama tentu tidak hanya berkontribusi terhadap entrepreneurship ataupun kewirausahaan, tetapi juga terhadap penciptaan lapangan kerja," sambung Airlangga.
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan I, Suahasil Nazara, mengungkapkan, saat ini Kementerian Keuangan tengah menghitung ulang alokasi anggaran untuk pemberian insentif PPN DTP 100 persen untuk perumahan. Meski program tersebut baru dirilis ulang, Kementerian Keuangan memastikan kebutuhan pagu untuk insentif ini tersedia.
“Budget nanti mengikuti semuanya. Kami siapkan pokoknya,” katanya, saat ditemui awak media di Kantor Kementerian Perekonomian, Jakarta, Selasa (27/8/2024).
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Menteri Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, memastikan, pemberian insentif ini juga telah mendapat persetujuan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan demikian, untuk merancang dasar hukum berupa revisi PMK Nomor 7 Tahun 2024 yang mengatur PPN DTP untuk perumahan tidak akan membutuhkan waktu lama.
“PPN DTP sangat dirasakan untuk kelas menengah dan dorongan ke ekonomi cukup bagus. Budget-nya sudah dialokasikan Bu Menkeu,” ucap Susiwijono.
Perpanjangan insentif PPN DTP perumahan sekaligus penambahan kuota FLPP membuat Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI) sumringah. Sebab, PPN DTP 100 persen untuk perumahan adalah penggerak utama properti komersial non-subsidi, apalagi tahun depan pemerintah juga berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, yang berpotensi semakin menekan daya beli masyarakat kelas menengah.
“Maka dengan PPN DTP 100 persen di kuartal IV ini, akan sangat menarik bagi calon pembeli untuk merealisasikan pembeliannya dalam 3 bulan (September-Desember),” ujar Wakil Ketua Umum Bidang Informasi dan Telekomunikasi Digital DPP REI, Bambang Eka Jaya, saat dihubungi Tirto, Rabu (28/8/2024).
Insentif PPN DTP 100 persen untuk perumahan diramal REI bakal meningkatkan permintaan hunian hingga 40 ribu unit. Akan tetapi, Bambang pesimis penambahan kuota FLPP masih tidak akan mencukupi kebutuhan rumah untuk MBR sampai akhir 2024. Meski pesimis, paling tidak penambahan kuota menjadi 200 ribu unit rumah ini bisa meningkatkan peluang MBR untuk mendapat hunian murah.
“Hanya, kalau boleh diberi sedikit kelonggaran, karena program ini khusus unit ready, serah terima unit mungkin bisa sampai dengan maret 2025. Bukan PPN DTP-nya yang diperpanjang, tapi serah terima unitnya. Karena kan tidak semua developer punya unit ready untuk mengakomodir developer menengah,” sambung Bambang.
Jika tujuan pemerintah untuk meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah sekaligus mengerek kinerja sektor properti, pria yang juga Direktur Utama Grup Cipta Graha itu menilai, pemerintah seharusnya juga memberikan insentif kepada kelas penduduk yang disebut MBT atau masyarakat berpenghasilan tanggung. Secara penghasilan, kelas ini sedikit berada di atas MBR, tetapi masih jauh dari kelas menengah atas.
Insentif perlu juga diberikan kepada MBT, selain karena tidak mendapat dukungan fiskal apapun untuk mengakses pembiayaan perumahan, kelompok masyarakat ini justru dikenakan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan bunga tinggi saat akan membeli hunian. Kondisi ini lantas membuat MBT, yang kini didominasi oleh generasi muda khususnya Gen Z, malas membeli rumah.
“Sehingga membuat Gen Z malas memberi properti. Kena PPN dan bunga komersial yang mahal. Ini harus diperjuangkan. Gen Z adalah tulang punggung ekonomi negara, saya sering usulkan ada insentif untuk MBT, misal 50 persen dari subsidi MBR. Sehingga Gen Z tetap bisa membeli rumah dengan harga relatif terjangkau,” sambung Bambang.
Sementara itu, turunnya minat MBT dalam membeli rumah tercermin dari pertumbuhan kredit sektor KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen) yang justru menunjukkan sedikit pelambatan, di era suku bunga tinggi. Dari catatan Bank Indonesia (BI), pertumbuhan KPR dan KPA tercatat sebesar 14,2 persen secara tahunan (year on year/yoy), sedikit menurun dari bulan sebelumnya yang mencapai 14,3 persen (yoy).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, menilai, insentif PPN DTP 100 persen untuk perumahan maupun penambahan kuota FLPP tidak akan banyak mendongkrak kinerja sektor properti. Ia beralasan, insentif ini diberikan pada saat daya beli masyarakat sedang dalam tren pelemahan, yang tercermin dari deflasi beruntung sejak Mei-Juli 2024.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), deflasi pada Mei sebesar -0,03 persen, pada Juni -0,08 persen dan meningkat pada Juli 2024 sebesar -0,18 persen. Selain itu, kebijakan insentif ini juga diberikan secara mendadak, yang dalam hal ini membuat insentif sulit untuk direspons pasar dengan baik.
“Pemerintah berharap ini dapat meningkatkan penjualan rumah, tapi nyatanya daya beli juga melemah dan kebijakan yang berasa dadakan ini membuat pasar tidak merespons dengan baik. Pemerintah sepertinya tidak sepenuhnya memahami karakter pasar perumahan, apalagi PMK-nya belum ada, yang membuat kepastian hukumnya belum jelas,” kata Ali, kepada Tirto, Selasa (27/8/2024).
Agar insentif dapat dimanfaatkan pasar dengan baik, pelaksanaan PPN DTP 100 persen seharusnya dilakukan sejak awal tahun 2024 hingga akhir 2025. Namun, sesuai dengan PMK Nomor 7 Tahun 2024, pemerintah justru menghentikan PPN DTP 100 persen pada pertengahan tahun dan melanjutkannya dengan PPN DTP 50 persen untuk masa pajak Juli-Desember 2024.
Kini, ketika melihat minat masyarakat utamanya kelas menengah untuk membeli hunian dan merosotnya kinerja sektor properti, pemerintah lantas berencana kembali menanggung seluruh PPN perumahan yang terutang dari bagian dasar pengenaan pajak (DPP) hingga Rp2 miliar, dengan harga jual paling tinggi Rp5 miliar.
“PPN DTP harusnya langsung 100 persen sampai akhir 2025 jangan ditengah jalan diubah, malah membingungkan pasar,” kata dia.
Ali bilang, perubahan kebijakan ini membuat banyak konsumen yang melakukan pembelian hunian pada periode Juli-Agustus dengan insentif PPN DTP 50 persen menuntut perubahan dan meminta untuk mendapat penggratisan PPN. Kondisi ini jelas akan menyulitkan pengembang karena harus mengurus tetek bengek administrasi tambahan.
“Relatif tidak ada (dampak) dan jauh bila dibandingkan dampaknya saat pandemi dengan kebijakan serupa. Pembelian ready stock tidak banyak dan ini diperkirakan bukan karena pengembang sengaja membuat ready stock untuk program PPN DTP, melainkan sudah ready stock yang batal terjual,” tambah Ali.
Sementara itu, berdasar data Indonesia Property Watch, jumlah unit tersedia (ready stock) mengalami kenaikan jumlah penjualan sejak program PPN DTP diberlakukan pada November 2023. Mereka mencatat sebanyak 212 unit laku di kuartal II 2024. Jumlah tersebut mengalami kenaikan tipis dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebanyak 179 unit. Meski begitu, jumlah rumah ready stock yang terjual pada tiga bulan pertama 2024 tidak lebih banyak dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang sebesar 270 unit.
Ali pun mengingatkan pemerintah untuk tak membuat kebijakan dadakan hanya untuk menghindari keraguan para pelaku bisnis atas kondisi perekonomian Indonesia saat ini. Sebaliknya, sebaiknya kebijakan betul-betul diramu untuk kepentingan masyarakat. “Aturan dan kebijakan sebaiknya tidak terkesan dadakan, dan kepastian PMK harus segera dibuat untuk menghindari keraguan para pelaku bisnis,” tegasnya.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Andrian Pratama Taher