tirto.id - Unggahan dokumen peta jalur tol di Daerah Istimewa Yogyakarta turut meramaikan salah satu topik forum diskusi di skyscrapercity pada awal Maret lalu. Kiriman salah satu anggota forum online bagi pemerhati gedung tinggi dan konstruksi itu memuat informasi perlintasan tiga ruas jalan tol yang akan mengiris wilayah DIY.
Berkasnya cuma tangkapan layar data di telepon pintar, tapi dilengkapi halaman muka bertuliskan “Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Bina Marga”. Jalur-jalur tol yang terlihat dari data itu sebenarnya percabangan tol Trans Jawa, Yogyakarta-Bawen, dan Yogyakarta-Solo. Satu jalur lain adalah lanjutan rencana jalan tol dari arah Bandung (Cileunyi), yakni Yogyakarta-Cilacap.
Datanya terkesan lengkap sebab mencantumkan pula nama 37 desa calon lokasi jalur tol, mayoritas di Kabupaten Kulon Progo dan Sleman, serta hanya dua desa di sebelah barat Bantul. Keterangan lain, 60-82 persen wilayah calon lokasi tol itu berupa sawah dan tegalan.
Selain itu, ada peta jalan tol yang merambat dari Bandara Internasional Yogyakarta (NYIA) terbaru di Kulon Progo menuju arah utara Sleman. Lokasi jalurnya membelah wilayah tengah dan timur Kulon Progo serta kawasan barat Sleman. Koridor tol itu mengikuti alur jalan nasional Wates-Yogyakarta.
Jalur itu lantas terpecah menjadi dua percabangan saat sampai di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman. Satu jalur menuju arah Magelang; jalur lain berbelok ke arah timur menuju Solo, menjalari kawasan tengah dan timur Sleman.
Data ini, sekalipun belum tentu dianggap 100 persen benar, lebih cocok disebut prediksi. Penyebaran informasi seperti itu hanya membuktikan bahwa kabar proyek jalan tol yang akan masuk DIY telah memicu banyak spekulasi di ranah publik.
Semua otoritas terkait jalan tol, baik pusat maupun daerah, belum mengumumkan detail desain final proyek itu. Proyek Jalan Tol Yogyakarta-Bawen dan Yogyakarta-Solo memang sudah ditetapkan sebagai program strategis nasional dalam Perpres No. 58/2017 pada 15 Juni 2017. Namun, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat cuma pernah merilis gambaran umum peta jalur.
Kedua jalan tol itu akan tersambung membentuk garis setengah lingkar dan dua ujungnya menempel perlintasan utama Tol Trans Jawa. Jalur bebas hambatan penghubung Yogyakarta - Semarang - Solo itu adalah bagian dari rencana Kementerian PUPR, yang akan meretas 1.187 kilometer jalan tol di Jawa pada 2015-2019.
Apa Kata Otoritas Jalan Tol
Menurut Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna, persiapan proyek tiga ruas tol yang akan melintasi kawasan DIY masih dalam tahap studi kelayakan.
Misalnya, proyek tol Yogyakarta-Bawen, yang kini tahap studi kelayakannya masih dikerjakan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas. Rencananya, ruas tol itu akan dilelang tahun ini dan dibangun pada 2018. Namun, rute jalurnya menunggu penetapan dari kepala daerah di Jawa Tengah dan DIY.
“Semua masih dalam tahap studi, masih rencana. Nanti pasti ada pembicaraan dengan pemerintah daerah,” kata Herry saat dihubungi redaksi Tirto, awal Agustus lalu.
Sementara untuk jalan tol Yogyakarta-Cilacap dan Yogyakarta-Solo, Herry mengatakan keduanya akan menjadi proyek prakarsa badan usaha. BUMN asal Malaysia, UEM Group Berhad dan konsorsium bentukannya, mengusulkan proyek ruas tol ini. Tapi, menurut Herry, penyusunan studi kelayakan oleh badan usaha itu sulit tuntas dalam waktu dekat.
“Proses pengusulan dan pelengkapan syaratnya butuh waktu kelonggaran. Lalu lintas kendaraan di sana belum begitu ramai,” kata Herry.
Redaksi Tirto sudah berkirim surel ke humas UEM Group Berhad untuk meminta konfirmasi. Tapi, humas perusahaan ini menyatakan tidak bisa memberikan jawaban.
Jalan tol prakarsa merupakan proyek infrastruktur yang masuk ke dalam perencanaan melalui usulan badan usaha. Menurut Perpres 38/2015, proyek infrastruktur prakarsa badan usaha harus terintegrasi dengan perencanaan pemerintah, layak secara ekonomi, dan pihak pengusul punya kapasitas finansial. Badan usaha ini wajib melakukan studi kelayakan untuk proyek usulannya.
Bila usulan diterima oleh BPJT, proyek itu akan dilelang. Badan usaha pengusulnya berhak mendapat tambahan nilai 10 persen dalam proses seleksi lelang. Kalau kalah dalam lelang, badan usaha itu akan menerima kompensasi pengalihan hak atas studi kelayakan dan dokumen pendukung proyek usulannya.
Direktur Program Komite Infrastruktur Prioritas, Rainier Haryanto, juga memastikan proyek jalan tol Yogyakarta-Bawen masih dalam tahap studi kelayakan. Komite menargetkan studi kelayakan rampung pada akhir 2017. Proyek ini akan dibangun pada 2018.
“Masih dalam studi kelayakan dan konsultasi dengan pemerintah daerah DIY maupun Jawa Tengah,” ujarnya.
Pada pertengahan Agustus 2017, Komite sudah bertemu Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY. Pemda DIY, menurut Rainier, meminta tol Yogyakarta-Bawen dibangun melayang dan sebagian lahannya memakai kawasan di sepanjang aliran Selokan Mataram. Alasannnya, jalur itu melintasi kawasan yang sedikit penduduknya.
Sebenarnya, alasan ini memunculkan pertanyaan, sebab dari pengamatan reporter Tirto di lapangan, sebagian aliran Selokan Mataram di Sleman faktanya melintas di dekat kawasan padat penduduk.
Menurut Rainier, jalur tol Yogyakarta-Bawen yang memasuki wilayah DIY diperkirakan sepanjang 8-10 kilometer.
“Kami juga akan segera bertemu Pemkab Magelang, karena mayoritas lahan tol Yogya-Bawen melintas di daerah itu,” kata Rainier saat dihubungi redaksi Tirto pada akhir Agustus lalu.
Di lapangan, isu soal tol telah banyak diketahui sejumlah warga.
Sejumlah warga di kawasan Godean, Kabupaten Sleman, sudah mengetahui isu ini sejak awal tahun 2017. Perangkat Desa Sidokarto, misalnya, membenarkan pernah ada survei calon lokasi tol Yogyakarta-Cilacap di wilayahnya.
Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo, juga membenarkan hal sama. Tapi, ia menegaskan bahwa Pemkab Kulon Progo menolak rencana ini.
Di kawasan Kalasan, wilayah timur Slemana, penelusuran reporter Tirto juga menemukan ada sejumlah survei calon lokasi tol. Sejumlah patok lahan terpasang di sekitar Desa Selomartani. Warga di sana meyakini patok itu untuk lahan tol sesuai pengakuan petugas survei.
Apa Kata Sultan & Para Pejabat DIY
Pertengahan Juli lalu, Gubernur DIY Sultan HB X memberikan pernyataan yang menolak sebagian proyek jalan tol memasuki Yogyakarta. Ia hanya setuju ada tol dibangun melayang untuk ruas Yogyakarta-Bawen dan Yogyakarta-Solo, yang melintasi kawasan Kabupaten Sleman.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY, Tavip Agus Rayanto, mengatakan Sultan memang tidak sepakat ada jalan tol dari bandara baru di Kulon Progo menuju Borobudur (Magelang). Sebab, katanya, jalur itu akan melintasi kawasan padat dan bisa mematikan perekonomian warga.
Jalan tol yang disebut Tavip itu adalah kelanjutan ruas Yogyakarta-Cilacap, yang tersambung dengan jalur Yogyakarta-Bawen.
Dengan alasan serupa, kata Tavip, Sultan setuju jalan tol Yogyakarta-Solo masuk ke wilayah DIY, tapi konstruksinya harus melayang. Kepastian nasib usulan ini bergantung hasil studi Kementerian PUPR.
Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo mendukung sikap Sultan. Ia beralasan, jalan tol berisiko membuat daerahnya tidak menerima dampak ekonomi berlipat dari keberadaan bandara baru. Hasto berpendapat, episentrum ekonomi DIY adalah industri jasa, dan hal ini bergantung tingginya kunjungan orang luar daerah.
Jalan tol, kata Hasto, akan membuat orang cuma lewat di Yogyakarta.
“Begitu keluar airport, langsung ke Magelang, seolah-olah tak makan siang di Kulon Progo,” ujarnya.
Perhitungan berbeda disampaikan Kepala Bappeda Sleman, Kunto Riyadi, yang menilai pembangunan jalan tol di daerahnya bisa menelan biaya teramat besar. Ia berdalih, harga tanah di kawasan utara Sleman―pusat pendidikan dan properti―terus naik berlipat tiap tahun dan kini bisa sampai Rp3-4 juta per meter.
“Kemungkinan tidak feasible, mahal banget,” katanya.
Penjelasan Kunto beralasan. Sebab, selama ini, kawasan Sleman telah lama menjadi sasaran utama pelaku bisnis properti sehingga harga tanahnya terus meroket. Jika hendak menuruti permintaan Sultan, bahwa jalan tol dibangun melayang, maka biaya konstruksi akan bertambah mahal sebab butuh pembangunan banyak tiang pancang.
Kunto memang membenarkan ada efisiensi berlipat dengan keberadaan tiga ruas jalan tol di kawasan DIY. Jalan tol akan memangkas jarak tempuh Yogyakarta-Semarang dari 3-4 jam menjadi satu jam saja.
Akan tetapi, ia juga risau karena jalan tol akan melenyapkan sebagian lahan pertanian di Sleman. Secara jangka panjang, pendapatan daerahnya terancam tergerus karena nilai bisnis properti di sekitar jalan tol otomatis merosot.
Baca laporan khusus Tirto mengenai pola pembangunan kota di Yogyakarta: Marak Hotel & Apartemen di DIY Bikin Harga Tanah Gila-Gilaan
Apa Kata Kajian Bappeda DIY
Perhitungan para pejabat provinsi dan kabupaten di DIY di atas terfokus pada dampak jalan tol dalam konteks mikro ekonomi. Sebaliknya, kajian Bappeda DIY melalui pihak ketiga pada 2016 justru menyimpulkan proyek jalan tol berdampak positif bagi makro ekonomi daerah.
Kajian itu terdapat dalam laporan studi unggahan laman Bappeda DIY berjudul "Penyusunan Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Terhadap Pembangunan Ekonomi DIY”. Riset garapan PT. Sinergi Visi Utama itu mencantumkan analisis dampak proyek jalan tol Yogyakarta-Bawen, Yogyakarta-Solo, dan Yogyakarta-Cilacap sebagai salah satu penopang akses ke Bandara Baru Yogyakarta di Kulon Progo.
Data dalam kajian itu mencatat, pembangunan tiga ruas tol itu, khusus di wilayah DIY, akan menelan duit Rp4,5 triliun.
Rencana desainnya, ruas Yogyakarta-Bawen sepanjang 15 kilometer akan melintasi kawasan Sleman; ruas Yogyakarta-Solo sepanjang 15 kilometer juga melintasi Sleman; dan ruas Yogyakarta-Cilacap sepanjang 30 kilometer membelah Kulon Progo dan kawasan barat Sleman.
Laporan itu memperkirakan, proyek tol di DIY menyumbang 4,14 persen pertumbuhan ekonomi daerah. Proyek itu ditaksir akan menyerap 53.780 tenaga kerja dan melahirkan output perekonomian senilai Rp6,04 triliun.
Masih mengutip kajian yang sama, jalan tol di DIY dinilai bisa memicu penyerapan pajak tidak langsung sebesar Rp94,8 miliar. Perkiraan ini dihitung dari kemungkinan dampak berlipat dari jalan tol ke sektor ekonomi lain, terutama konstruksi dan bangunan sipil, perdagangan, serta industri semen.
Saat dihubungi redaksi Tirto, Direktur Utama PT Sinergi Visi Utama, Achmad Nurmandi, membenarkan perusahaannya membuat kajian tersebut untuk Bappeda DIY. Tapi, akademikus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu enggan menjelaskan hasil laporan riset perusahaannya lebih detail lagi.
Kritik atas Rencana Jalan Tol yang Barpatok pada Laba Semata
Meski demikian, dari perspektif pembangunan berkelanjutan, pertimbangan pembangunan jalan tol dari segi keuntungan ekonomi saja sebenarnya tidak tepat.
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Dwi Ardianta Kurniawan, mengkritik perencanaan infrastruktur yang abai dan jarang memakai sudut pandang soal subyek penerima manfaatnya.
“Untuk siapa jalan tol dibangun? Untuk pertumbuhan ekonomi bisa positif dampaknya, tapi belum tentu (positif) untuk warga sekitar, pemerataan pendapatan, lingkungan, dan sosial. Semua perlu dihitung,” katanya. “Bangun infrastruktur itu mudah, asal ada duit. Tapi (pertimbangan) apa perlu dibangun atau tidak, itu lebih penting.”
Ardianta mencontohkan, Tol Trans Jawa dibangun dengan pertimbangan yang beralasan, yakni untuk mobilitas kawasan industri. Jalan tol ini hadir saat Jalan Pantura tak lagi mampu menanggung beban mobilitas industri dan distribusi logistik, yang sejak lama memakai sisi utara Jawa sebagai jalur vital.
Sedangkan di sisi selatan Pulau Jawa, kawasan industri belum sebesar di bagian utara. Tingkat kemacetan juga tidak tinggi. Apalagi, karakteristik perekonomian dominan di kawasan ini ditopang oleh pertanian, perdagangan, dan industri non-polutan seperti jasa dan wisata.
Menurut Ardianta, kawasan selatan Jawa lebih baik menjadi areal konservasi lingkungan sehingga menjadi penyeimbang sisi utara, yang sudah telanjur menjadi sentra industri.
“Jawa bagian selatan tidak harus dikembangkan seperti Jawa bagian utara,” ujarnya.
Ardianta mengingatkan dampak buruk jalan tol bagi kawasan sekitar koridor seperti polusi, hilangnya lahan pertanian, dan terbatasnya akses mobilitas warga. Hal ini perlu benar-benar dihitung, menurutnya.
Ardianta setuju tol Yogyakarta-Bawen-Solo penting untuk mengatasi kepadatan lalu lintas penghubung sisi utara dan selatan Jawa. Tapi, mayoritas perlintasannya menempati kawasan pinggiran dan bukan sentra industri, “Penentuan trase-nya (jalur) harus dilihat betul.”
Banjir kendaraan ketika ada jalan tol, yang dekat dengan pusat kota Yogyakarta, memicu dampak lanjutan. Menurut Ardianta, Yogyakarta adalah destinasi wisata dan tak mungkin bernasib seperti Kota Brebes yang sepi sesudah lebaran ketika jalan tol Pejagan-Semarang beroperasi.
Kerisauan ini beralasan jika menilik data Dinas Pariwisata DIY. Pada 2015, jumlah pengunjung di 132 objek wisata di seluruh DIY mencapai 13.943.391 orang. Ini termasuk turis asing sebanyak 548.121 orang. Selebihnya adalah wisatawan lokal, dari dalam maupun luar Yogyakarta, yang gemar menumpang mobil, bus, dan motor.
“Daya tampung Kota Yogyakarta terbatas. Sekarang saja sudah sering macet,” tegas Ardianta.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Fahri Salam