tirto.id - “Dulu ke mana-mana di Yogya ketemu kampus. Sekarang sudah dikepung oleh hotel,” ujar Ardito Bhinadi dari pusat studi ekonomi, keuangan, dan industri UPN Veteran Yogyakarta, Mei lalu.
Seperti kata Ardito, Yogyakarta memang sedang mengalami perubahan tata ekonomi, sosial, budaya, dan politik dari tradisional-agraris ke arah metropolitan baru. Salah satu penandanya adalah maraknya hotel dan apartemen di provinsi ini.
Ada peningkatan signifikan pertumbuhan hotel yang sudah beroperasi di Provinsi DIY terutama di wilayah Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. BPS Provinsi DIY mencatat, jumlah hotel mencapai 1.106 pada 2011, terdiri dari 41 hotel bintang dan 1.035 hotel melati. Sedangkan pada 2014 jumlah hotel di DIY menembus angka 1.138 hotel, terdiri dari 71 hotel bintang dan 1.067 hotel melati.
Jumlah itu sangat mungkin bertambah hingga ratusan hotel baru setelah 2014. Sebab, dari data yang dikurasi Warga Berdaya, sebuah kelompok penggiat yang kritis atas pola-pola pembangunan di Yogyakarta, menyebutkan sedikitnya ada 104 pengajuan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel ke Dinas Perizinan Kota Yogyakarta pada 2013 atau pra-moratorium. Artinya, akan ada tambahan ratusan hotel baru di Yogyakarta dalam proses izin dan kemungkinan beroperasi setelah tahun 2014.
Maraknya hotel-hotel ini, baik yang telah beroperasi maupun kemungkinan hotel baru, telah membuat cemas para pebisnis hotel.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta Istijab M. Danunagoro mengakui pertumbuhan hotel-hotel baru yang pesat ini tak sebanding jumlah tamu, yang menyebabkan tingkat okupansi kamar menurun.
Menurut Istijab, agar operasional hotel bisa berjalan, setidaknya tingkat okupansi kamar hotel mencapai lebih dari 30 persen dari keseluruhan kamar yang tersedia.
“Jadinya banyak hotel yang hidup segan mati tak mau,” kata Istijab, awal Juli lalu.
Lantaran itulah, kata Istijab, para pengusaha hotel mendesak Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti untuk mengeluarkan regulasi pengendalian hotel di Kota Yogya. Pada 20 November 2013, Haryadi akhirnya meneken Peraturan Wali Kota Nomor 77 Tahun 2013 yang mengatur penghentian sementara IMB hotel, berlaku dari 1 Januari 2014 sampai 31 Desember 2016.
Menurut Istijab, jeda pendek sebelum moratorium berlaku itu dimanfaatkan para pengusaha untuk beramai-ramai mengajukan izin pendirian hotel baru.
“Begitu diumumkan pada Desember 2013, masuklah sekitar 110 permohonan IMB baru yang harus diselesaikan saat itu juga persyaratannya,” kata Istijab.
Setelah moratorium pertama itu, persoalan hotel belum tuntas benar sampai 2015. Sejumlah pemilik hotel di ring dua dan tiga—kawasan di luar Malioboro—masih mengeluhkan okupansi yang minim akibat hotel-hotel baru yang tumbuh di wilayah Sleman.
Di sisi lain, Pemkab Sleman di bawah Sri Purnomo justru diuntungkan dengan kebijakan moratorium Kota Yogya, karena sejumlah pengusaha menyasar Sleman sebagai lokasi hotel dan apartemen mereka.
Hal ini diakui oleh Kepala Bidang Perizinan dan Penataan Ruang Kabupaten Sleman, Triana Wahyuningsih, yang menyatakan ada banyak permohonan izin pendirian hotel dan apartemen masuk ke Sleman sejak moratorium berlaku di Kota Yogya.
“Berkembangnya apartemen (di Sleman) itu tahun 2012-2014 karena di Kota Yogya ada moratorium, sehingga banyak yang lari ke Sleman,” kata Triana, awal Juli lalu.
Selama kepemimpinan Bupati Sri Purnomo pada 2010-2015, Pemkab Sleman memang sama sekali tak merilis regulasi yang mengendalikan jumlah hotel dan apartemen. Kebijakan moratorium itu baru keluar sejak Gatot Saptadi menggantikan Sri Purnomo sebagai pejabat sementara Bupati Sleman. Mantan Kepala BPDB DIY akhirnya meneken moratorium pendirian hotel, apartemen, dan kondotel melalui Perbup 63/2015 pada 23 November. Moratorium berlaku sampai 31 Desember 2021.
Kendati Pemkab Sleman telah merilis moratorium, menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia DIY, peta persaingan usaha hotel di ring dua dan tiga tetap kompetitif.
PHRI mengklaim alasan inilah yang menjadi dasar lahirnya moratorium hotel kedua di Kota Yogya dari 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2017, selain Haryadi Suyuti berjanji dalam kampanyenya untuk memenangkan Pilkada Kota Yogya.
Meski begitu, menurut Riawan Tjandra, dosen hukum administrasi negara dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, regulasi soal moratorium hanya akal-akalan. Ia menilai moratorium tak akan efektif karena hanya bersifat sementara, bukan pembatasan tegas.
Regulasi moratorium, sebagaimana yang dirilis oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, tak hanya mempertimbangkan daya dukung lingkungan dari aspek suplai air, infrastruktur jalan dan saluran limbah serta drainase, melainkan disebutkan untuk "memulihkan stabilitas pasar usaha jasa akomodasi" di wilayah tersebut. Artinya, ada hitungan bisnis, tak melulu mengutamakan kepentingan publik.
Untuk menata dan menertibkan aturan yang tumpang-tindih tersebut, provinsi DI Yogyakarta perlu menerbitkan Perda yang memperkuat kebutuhan integral wilayah, menurut Riawan. Sayangnya, regulasi ini masih dalam bentuk draf dan proses politiknya masih panjang.
Ia berharap, Raperda yang sedang digodok di DPRD Provinsi DIY ini harus menjadi payung bagi semua perda di kabupaten/kota. Logikanya, Perda provinsi ini bisa menjadi acuan terpadu bagi empat kabupaten dan satu kota di DIY agar tidak sembarangan lagi menerbitkan perda atau izin yang mempermudah pendirian hotel dan bangunan-bangunan komersial lain.
Baca wawancara yang mengkritisi pola pembangunan di Yogyakarta: Sekarang Yogya Bukan Kota Pelajar, tapi Kota Mal dan Hotel
Okupansi Minim, Pengusaha Tetap Agresif Bangun Hotel
Kendati ada moratorium di Kota Yogya dan Kabupaten Sleman, hal ini tidak menyurutkan para pengusaha membangun hotel di kedua daerah tersebut. Alasan utamanya bukan semata kunjungan wisatawan dan okupansi di Yogya.
Menilik data BPS dari 2012-2015, tren grafik jumlah wisatawan yang menggunakan fasilitas hotel alias menginap justru cenderung menurun.
Data BPS pada 2012 menunjukkan jumlah wisatawan yang menginap di hotel sebanyak 3.546.331 orang, naik sebesar 10,60 persen dibanding tahun 2011 yang tercatat 3.206.334 orang. Pada 2013 naik sebesar 6,94 persen. Pada 2014 hanya naik 1,76 persen. Pada 2015 naik sebesar 4,62 persen.
Selain itu, dari BPS, lama menginap wisatawan asing di Yogya sepanjang 2012-2015 tidak pernah lebih dari 3 hari.
Istijab dari PHRI menjelaskan, lama menginap wisatawan asing ke Yogya masih kalah dibanding Bali yang bisa mencapai 4-5 hari. Selain itu, uang yang dibelanjakan wisman ketika menyambangi Yogya sekitar 500 dolar AS per kunjungan.
Namun, mengapa para pengusaha tetap agresif membangun hotel?
“Karena yang membangun itu bukan orang hotel, melainkan developer. Yang membangun hotel karena mencari untung dari harga tanah,” klaim Istijab.
Istijab menjelaskan, saat ini terjadi perubahan pola bisnis hotel dari penginapan menjadi bisnis tanah yang menyuburkan praktik bangunan baru. Lantaran itu, kini para pengusaha lebih cenderung mencari hotel-hotel lama dan kemudian direnovasi daripada membangun dari nol. Mereka bisa mengurangi biaya bangun gedung sekaligus tanpa perlu menganggarkan harga beli tanah sehingga keuntungannya bisa dobel.
Istijab mencontohkan kenaikan harga tanah di ring satu Malioboro bisa mencapai 100 persen sehingga hotel-hotel lama di sana jadi incaran.
“Contohnya Hotel Neo (Jalan Pasar Kembang), dulunya Hotel Asia Afrika,” jelas Istijab.
Menurut Istijab, bisnis tanah dan hotel itu sangat tergantung lokasi. Ia berkata, kendati bandara akan dibangun di Kulonprogo, belum tentu akan dibangun hotel baru di sana saat ini.
“Butuh waktu sekitar 20 tahun lagi,” kata Istijab, “Sebab dalam bisnis hotel itu syarat pertama lokasi, kedua lokasi, ketiga lokasi, keempat baru yang lain.”
Baca liputan khusus Tirto mengenai rencana bandara baru di Kulonprogo dalam Bertahan di antara Patok-Patok Tanah Angkasa Pura dan problem agraria dalam Susahnya Tionghoa Punya Tanah di Yogya
Penulis: Agung DH
Editor: Fahri Salam