tirto.id - Enam tahun lalu, usai erupsi Merapi melepas jutaan meter kubik material pasir, tak banyak orang menyangka Kota Yogyakarta dan kawasan penyangga di sekitarnya akan tumbuh begitu cepat. Tak butuh satu dasawarsa bahwa kawasan Yogyakarta, termasuk sebagian selatan Sleman dan sisi utara Bantul, berkembang jadi metropolitan baru sekaligus kandidat pusat industri pariwisata paling perkasa di Jawa.
Laporan Tirto pernah mengulas fenomena ini dan mencatat ada lima puluhan bangunan berlantai 6 hingga 18 bermunculan di kawasan Kota Yogyakarta dan penyangganya. Mayoritas adalah hotel, apartemen, atau perpaduan keduanya. Sebagian lain adalah mal dan kampus. Jumlah ini masih terus merangkak naik, karena sebagian pemegang Izin Mendirikan Bangunan (IMB) hotel maupun apartemen tahun lalu belum merealisasikan proyek.
Baca:
- Risiko dan Nasib Buruk Pembangunan Hotel di Yogyakarta
- Marak Hotel dan Apartemen di DIY Bikin Harga Tanah Gila-gilaan
Fakta ini seakan menutup rapat luka lama 11 tahun lalu. Sabtu pagi sekitar pukul 5:55, 27 Mei, gempa bumi berkekuatan 6,3 Mw (Magnitude Moment) atau 5,9 skala Richter mengguncang kawasan DIY dan meruntuhkan sebagian gedung, merusak 370-an ribu rumah (untuk kawasan DIY saja) hingga menewaskan 5.700-an jiwa di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Memang, Bantul dan Klaten adalah pusat kerusakan akibat bencana ini. Kawasan Kota Yogyakarta dan penyangganya hanya terdampak dalam “kategori sedang” dengan ratusan korban jiwa, jauh lebih sedikit dari data kematian 4.000-an jiwa di Bantul. Namun, dampak gempa di pusat perkotaan DIY tak bisa dianggap remeh sebab ia menjadi jantung aktivitas sosial dan ekonomi provinsi.
Teori dalam kamus gempa: Bukan bencana benar yang membunuh, melainkan model bangunan yang tak kuasa menahan getaran tektonik. Maka, bagi Eko Teguh Paripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, memastikan keamanan di hotel, apartemen, mal, rumah sakit, kantor pemerintahan dan sebagainya, yang berlantai tinggi dan karena itu rawan dirusak gempa, adalah perkara terang, bukanlah mengada-ada.
“Apalagi, banyak muncul hotel berbujet rendah. Sementara budaya koruptif di Indonesia masih marak,” kata Paripurno, medio Juni lalu.
Ia mengingatkan, “Mitigasi gempa tak cuma pada kekuatan gedung, tetapi keamanan jaringan gas dan listrik, perilaku penghuni gedung saat gempa, hingga dampak gempa di permukiman sekitar.”
Hingga kini belum ada peta detail mengenai sebaran patahan dan variasi amplifikasi lapisan tanah ke getaran gempa—dua faktor pemicu meluasnya kerusakan akibat gempa 2006.
Kerusakan yang menyebar itu diduga kuat disebabkan oleh patahan-patahan, yang lebih kecil dari Sesar Opak, yang menjalar di bawah tanah pada sebagian kawasan Bantul hingga Kota Yogya. Selain itu, meski lokasinya jauh dari pusat gempa atau patahan, bila lapisan tanahnya lunak—didominasi endapan lempung—bisa memperbesar amplifikasi getaran hingga memicu kerusakan berat.
Paripurno mengumpamakan lapisan tanah di Yogyakarta terajam dalam jenis potongan dengan komposisi variatif. Ada yang tingkat amplifikasi terhadap getaran gempa rendah, tapi ada juga yang tinggi. Keberadaan peta ini bermanfaat guna memastikan kapasitas gedung yang relatif aman terhadap gempa. Istilah umumnya adalah mikrozonasi soal variasi kerawanan gempa di suatu wilayah.
“Peta geologi, hidrologi, lingkungan, dan tanah memang ada. Tapi peta amplifikasi, dengan skala yang memadai, belum ada,” kata Paripurno.
Baru-baru ini ia menerima tugas untuk mencari lokasi baru gedung kampus UPN yang bisa aman dari jalur patahan dengan tingkat amplifikasi tanahnya rendah. “Ternyata cari yang betul-betul aman susah,” ujarnta.
Bukti anggapan Paripurno bisa diverifikasi dengan menilik lagi dampak kerusakan gempa 2006. Sayangnya, usai bencana itu, tidak ada pemetaan mendetail mengenai sebaran kondisi kerusakan. Foto-foto atau video soal lokasi kerusakan yang bisa kita cari via internet hanyalah parsial dan sporadis.
Dampak berat tak selalu di lokasi terdekat pusat gempa, yakni di perbatasan Bantul (Imogiri) dan Gunungkidul. Namun ada contoh bangunan di kawasan itu yang tetap utuh meski sekitarnya luluh lantak oleh getaran gempa.
Wahyu Wilopo, peneliti dari Pusat Unggulan dan Inovasi Teknologi Mitigasi Bencana serta Geolog UGM, masih menyimpan foto rumah tua di kawasan Parangtritis yang utuh itu. Hasil uji bor memastikan bahwa batuan padas di bawah rumah itu, 7 km dari pusat gempa, meredam getaran hingga tak merusak dinding yang sebenarnya telah melapuk.
“Bandingkan dengan gedung BPKP di Sewon, 20-an km dari pusat gempa, yang rusak parah,” kata Wahyu.
Di YouTube, kita masih gampang menemukan rekaman kerusakan parah di sekitar Jalan Parangtritis KM 6 hingga ke utara ke wilayah Kota bagian selatan. Di bilangan Parangtritis itu, salah satu gedung tiga lantai milik Kampus ISI Yogyakarta ambruk.
Kerusakan serupa dialami gedung empat lantai milik Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DIY, sekitar 1 km sebelah utara kampus ISI. Tiga kilometer ke utara dari kampus ISI, dekat perbatasan Bantul dan Kota Yogya, gedung lima lantai milik STIE Kerja Sama juga remuk redam dengan kondisi sangat parah.
Eko Teguh Paripurno menduga ada patahan, yang jalurnya belum dipetakan secara solid, di sekitar lokasi gedung-gedung itu. Sementara Wahyu Wilopo meyakini kualitas gedung yang rendah berpadu tingkat amplifikasi tanah yang tinggi memicu kerusakan parah itu.
Sebagian ruko dan rumah penduduk di sekitar gedung-gedung yang rusak berat itu memang tak mengalami dampak signifikan. Sebagian masih terlihat berdiri dan beberapa lain rusak berat pascagempa. Kondisi ini terekam di sekitar lokasi kampus STIE Kerja Sama, juga kawasan di sebelah utaranya di Kota Yogya di sekitar Jogokaryan, Prawirotaman, dan sebagian Mangkuyudan.
Kini ketiga kawasan di Kota Yogya itu ialah pusat lokasi sejumlah hotel berbintang di atas tujuh lantai. Namun, sangat sulit mencari dokumentasi detail mengenai kondisi bangunan pascagempa 2006 di lokasi hotel-hotel itu berdiri.
Kerusakan berat lain juga muncul di kawasan sekitar Tungkak, Jalan Lowanu, Umbulharjo. Sebagian rumah penduduk di sana ambruk. Bangunan Panti Asuhan Putra Muhammadiyah adalah salah satu yang parah.
Danny Hilman Natawidjaja, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, mencatat di kawasan pusat kota itu ada rekahan tektonik yang mengindikasikan keberadaan patahan.
Paripurno menduga, kawasan di sekitar sungai dengan jalur lurus utara-selatan sangat mungkin adalah perlintasan patahan. Lokasi kawasan Tungkak, misalnya, relatif dekat dari aliran Sungai Code dengan ciri bidang jalur lurus utara-selatan. Hilman membenarkan soal dugaan Paripurno tetapi sampai kini belum ada penelitian yang membuktikannya.
“Lokasi jalur sesarnya (Opak dan patahan lain di Yogya dan sekitarnya) masih harus diteliti lebih detil, demikian juga sejarah gempa dan frekuensi perulangannya,” kata Hilman saat dihubungi reporter Tirto, Juni lalu.
Kini, di sekitar Jalan Lowanu ada rencana pembangunan apartemen 12 lantai. Lokasinya dekat dari kampus STIE Wiwaha. Ia sudah dipagari dan dipasangi spanduk pembangunan apartemen. Berdasarkan data dari Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta, belum ada IMB yang dikeluarkan untuk apartemen di sana, meski penawarannya di internet bertebaran.
Kerusakan gedung besar di kawasan kota saat gempa 2006 juga melebar ke sebelah utara seperti lokasi GOR Amongrogo, Gedung Kementerian Keuangan, dan Kemenag DIY. Gedung-gedung di pusat kota ini mengalami kerusakan yang umumnya runtuh di bagian atap.
Jalur kerusakan juga menjalar lebih ke utara lagi hingga melintasi kawasan Baciro (Kota Yogyakarta) dan wilayah Sapen di sebelah selatan kampus UIN Sunan Kalijaga (perbatasan Yogyakarta dan Sleman).
Pada 2006, sebagian rumah di Sapen rusak berat. Bangunan gedung lama milik UIN Sunan Kalijaga—berusia tua dan memang saat itu dipugar—juga runtuh pascagempa. Saphir Square, yang kini berubah menjadi mal 9 lantai Lippo Plaza Jogja, dalam rekaman video memang rusak di bagian depan pintu masuk. Saat itu, gedung mal masih baru.
Standar Kekuatan Gedung Tahan Guncangan Gempa
Lapisan tanah lunak, didominasi endapan lempung yang kaya air, menurut Eko Teguh Paripurno, patut diduga memiliki amplifikasi tinggi. Tapi besaran amplifikasi getaran gempa di tanah seperti itu tetap perlu riset geologi.
Tingginya amplifikasi tak hanya memperbesar getaran gempa tapi juga menambah proses likuifaksi, alias tanah ambles. Empat tahun ini, banyak berita soal amblesnya beberapa bagian jalan di Kota Yogyakarta yang membuktikan ada likuifaksi meski tanpa gempa.
“Di Aceh, ada hotel yang ambles satu lantai saat gempa besar terjadi,” kata Paripurno.
Peneliti gempa dari LIPI, Danny Hilman Natawidjaja berkata baru saja menuntaskan kajian peta baru kerawanan gempa di Indonesia. Untuk kasus Yogyakarta, peta yang akan segera dipublikasikan itu mencatat perubahan geometri dan karakter gempa dari Sesar Opak yang bisa mengubah peta bahaya gempa di DIY. Ia berharap peta kerawanan itu benar-benar diketahui pemerintah dan publik.
Hilman mengingatkan, gempa tahun 1867 mencatat kekuatan gempa darat di Yogyakarta—bersumber dari Sesar Opak—pernah mencapai 6,9 Mw, jauh lebih besar dari 2006. Populasi yang masih minim dan kualitas pendataan yang rendah menyebabkan gempa besar di subuh hari itu “hanya” menelan 500-an korban jiwa. Gempa lebih kecil tapi dengan korban ratusan jiwa juga pernah terjadi di Yogya pada 1943.
“Korban dan kerusakan yang banyak ketika gempa 2006 menunjukkan kita tidak belajar dari gempa 1867,” kata Danny.
Ia merekomendasikan, demi mitigasi, pembangunan gedung dan perumahan harus menghindari jalur patahan, utamanya Sesar Opak. Untuk kekuatan bangunan bisa berbasis Peta Gempa 2010 dan SNI 1726-2012 atau Revisi Peta yang terbaru digarap tahun 2017.
Hilman berpendapat, kualitas ideal bangunan terbaik di Yogyakarta mampu menahan guncangan gempa di batuan dasar sebesar 0,4 g (gal). Satuan gal ialah ukuran percepatan gravitasi bumi yang bisa dipakai menggambarkan dampak guncangan gempa terhadap gedung. Ilustrasinya, saat gempa, ada gaya dorong pada gedung. Ini mirip seperti saat orang di dalam mobil, akan terdorong ke belakang saat kendaraan melaju ke depan dan sebaliknya.
Pada 2006, guncangan gempa menurut perhitungan Danny tak melebihi 0,3 g. Bila mencontoh Jepang, syarat minimal struktur rumah penduduk adalah tahan guncangan 0,3 g.
Pakar Geologi UGM, Wahyu Wilopo bersama koleganya, Teuku Faishal Fathani, pada awal tahun ini merampungkan riset yang memetakan sebagian patahan di luar Sesar Opak sekaligus variasi standar kekuatan gedung tahan gempa di Kota Yogyakarta. Riset ini hasil kerja sama Dinas PU DIY. Ringkasan laporannya diterbitkan di Jurnal Internasional Geomate edisi April 2017 dengan judul “Seismic Microzonation Studies Considering Local Site Effects for Yogyakarta City, Indonesia”.
Makalah mereka memuat data sebaran patahan yang terindikasi pernah aktif (inferred fault), melintang lurus utara-selatan, dari salah satu titik Sesar Opak di Kecamatan Pundong (Bantul), melintasi kawasan tengah kabupaten Bantul, hingga bagian barat Kota Yogya, sampai Kecamatan Melati, Sleman. Patahan serupa melintasi kawasan Banguntapan (Bantul) ke bagian timur Kota Yogya hingga Kecamatan Depok (Sleman).
Ada juga data sejumlah patahan normal (normal fault)—terindikasi ada patahan tapi tak pernah aktif. Misalnya, di sejumlah kecamatan di Sleman seperti Kalasan, Depok, Berbah, Gamping, dan Moyudan.
Gambar 1. Patahan normal (terindikasi ada patahan tapi tak pernah aktif) di sejumlah kecamatan di Sleman seperti Kalasan, Depok, Berbah, Gamping, dan Moyudan. FOTO/geomatejournal.com
“Bila Sesar Opak gerak, patahan lain bisa terpicu, bisa juga tidak. Idealnya, saat gempa 2006, ada pemetaan kerusakan (untuk meneliti pengaruh Sesar Opak ke patahan lain), sayangnya tak ada,” ujar Wahyu.Riset Wahyu dan Faishal itu juga meneliti data seismik di 150-an titik di Kota Yogyakarta untuk memetakan variasi kerawanan gempa sekaligus rekomendasi standar kekuatan gedung terhadap goncangan gempa.
Gambar 2. Data seismik di 150-an titik di Kota Yogyakarta untuk memetakan variasi kerawanan gempa sekaligus rekomendasi standar kekuatan gedung terhadap goncangan gempa. FOTO/geomatejournal.com
Analisis itu menyimpulkan, ada puluhan titik di Kota Yogyakarta yang mengharuskan gedung di atasnya tahan terhadap guncangan gempa 0,26 g - 0,38 g (Gambar 3). Hasil ini selaras dengan rekomendasi Danny Hilman Natawidjaja.Wahyu mengatakan, kajiannya sudah diserahkan kepada Dinas PU DIY. Ia berharap, rekomendasi dari laprannya segera direalisasikan dalam bentuk regulasi. Data itu, menurutnya, bisa menjadi dasar penerbitan IMB.
Gambar 3. Puluhan titik di Kota Yogyakarta mengharuskan gedung di atasnya tahan terhadap guncangan gempa 0,26 g - 0,38 g (gal). FOTO/geomatejournal.com
Wahyu berpendapat, agar mitigasi gempa di Yogyakarta makin sempurna, semua sumber kerawan gempa mesti segera dipetakan secara detail dan datanya diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).Wahyu mengingatkan, belum ada teknologi di dunia yang bisa memprediksi gempa. Teknologi milik Jepang baru bisa memprediksi gempa 10 detik sebelum kejadian. Di Yogyakarta, menilik sejarah, ada asumsi bahwa gempa besar terjadi sekali pada kurun 50-100 tahun. Tapi, tak ada yang tahu, kejadian itu terjadi di bagian awal, tengah, atau akhir periode.
“Memang tidak aman Yogyakarta, tapi jangan menakuti. Semua tergantung dengan persiapan atau mitigasinya,” kata Wahyu.
Bangunan Hotel dan Apartemen Diklaim Kuat
Wacana mitigasi gempa, menurut Aktivis Warga Berdaya, Elanto Wijoyono, belum begitu mendapatkan perhatian dari banyak kalangan. Ia mencatat, dalam setahun belakangan, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY baru rajin mendiskusikan mitigasi bencana kebakaran di gedung-gedung pencakar langit yang kini bertebaran di Kota Yogya.
“Bahaya gempa sebenarnya penting sekali untuk diperhatikan, bisa jadi isu untuk mengendalikan pembangunan yang serampangan,” ujar Elanto, medio Juni lalu.
Namun, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia DIY, Istijab Danunegoro meyakini para pengembang sudah membangun gedung hotel dan apartemen dengan kekuatan memadai menghadapi ancaman gempa.
“Pada 2006, Hotel Grand Quality (berdiri 1992 dengan 8 lantai) saja tak apa-apa,” ujarnya.
Setiono, Kepala Bidang Pelayanan, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta, juga mengklaim keamanan kualitas gedung-gedung, termasuk hotel, di daerahnya telah dijamin tahan gempa. Menurutnya, instrumen Sertifikat Laik Fungsi (SLF) efektif mengawasi keamanan gedung. Berdasarkan Perda Yogyakarta No 2/ 2012 tentang Bangunan Gedung, bangunan di atas dua lantai akan diperiksa kondisinya sekali dalam 5 tahun. “Pemeriksaan melibatkan pihak ketiga,” ujarnya.
Pemkab Sleman pun memberikan jawaban mirip. “Sejak dari tahap IMB hingga pengawasan, semua sudah diawasi oleh pihak-pihak terkait. Soal gempa, sudah diatur Perda Bangunan Gedung,” kata Kabid Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Sleman, Purwoko Sasmoyo.
Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah DIY juga tidak risau. Kepala Seksi Kedaruratan Danang Syamsu Rizal meyakini ketahanan gedung-gedung besar di Yogyakarta terhadap gempa.
“Peta rawan gempa sudah ada di Dinas PU (Pekerjaan Umum), kalau gedung-gedung besar malah aman, justru rumah warga yang perlu dipantau kekuatannya,” ujarnya.
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia DIY, Ahmad Syaifuddin Muttaqi, menilai “tidak ada masalah” terhadap kekuatan gedung hotel, apartemen dan lain di Yogyakarta dalam menghadapi gempa. Ia justru risau dengan konsep penataan ruang yang belum mengintegrasikan kawasan DIY menjadi metropolitan yang nyaman dihuni penduduk.
“Mungkin yang kurang hanya belum ada Komisi Pengandali Arsitektur dan Komisi Pengendali Tata Ruang saja. Fungsinya bisa memberikan pertimbangan ke penerbitan IMB,” ujarnya.
Namun, merujuk kajian mikrozonasi rawan gempa yang baru rampung dikerjakan peneliti UGM dan Dinas PU DIY pada 2017, agaknya regulasi di Kota Yogya yang mengulas rawan gempa seperti Perda 2/2012 dan Perda 1/2015 (tentang Rencana Detail Tata Ruang) agaknya perlu segera diperbaiki.
Begitupun di Kabupaten Sleman. Salah satu dasar Perda 12/2012 tentang RTRW Sleman menyebut ada 13.782 hektare lahan rawan gempa di semua kecamatan di kabupaten ini—terbanyak ada di kawasan Berbah dan Kalasan. Tapi, hingga kini Sleman belum memiliki Perda RDTR. Kajian mikrozonasi kerawanan gempa juga belum pernah tercatat dilakukan di daerah ini.
Dari sana mari kita berandai: jika saja peta detail rawan gempa lengkap dengan kajian mikrozonasi sudah dibuat di DIY—dan dipublikasikan plus bisa diakses oleh publik—masihkan harga tanah di kawasan ini terus melambung dan para pengembang rajin menanam investasi perumahan, gedung hotel, mal, dan apartemen?
===========
Keterangan foto: Warga menggelar prosesi ruwatan bertajuk "Reresik Kali Nandur Paseduluran" di Kali Code untuk secara simbolis menyerukan kelestarian sumber daya air di Yogyakarta yang semakin terkikis akibat menjamurnya pembangunan hotel dan kondomium. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Fahri Salam