tirto.id - Apartemen Uttara dinilai sebagai pembuka jalan bagi pola pembangunan gedung tinggi dengan menyiasati perizinan. Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli mengatakan, nihilnya Perda Rencana Detail Tata Ruang di Kabupaten Sleman menjadi celah bagi pengembang untuk mulai membangun sebanyak-banyaknya apartemen dan hotel, mumpung belum ada aturannya.
Secara hukum, aturan yang masih dalam bentuk kajian belum bisa dipakai sebagai dasar untuk menerbitkan IMB. Sementara RDTR Sleman masih berbentuk kajian. Padahal, setiap izin harus berlandaskan hukum. Jika tidak, akan sangat mudah untuk dimanipulasi.
“Kami punya asumsi, jangan-jangan semua pembangunan hotel dan apartemen di Yogya punya praktik yang sama seperti Apartemen Uttara. Sleman, kan, enggak punya RDTR tapi pembangunnya sudah masif,” kata Yogi saat ditemui di kantornya, akhir Juni lalu.
Selain itu, pola lain yang terlihat pada beberapa pembangunan di Provinsi Yogyakarta adalah mengakali prosedur mendapatkan izin. Manipulasi misalnya soal tanda tangan persetujuan warga. Sebelum melakukan pembangunan, pihak pengembang wajib melakukan sosialisasi terhadap warga di lingkungan setempat alias wilayah terdampak di ring satu.
Biasanya, saat sosialisasi diedarkan tanda tangan untuk daftar hadir. Kertas daftar hadir ini yang kerap dimanfaatkan pengembang untuk dijadikan tanda bukti persetujuan sebagai syarat izin awal, yaitu Izin Pemanfaatan Tanah (IPT) dan izin lingkungan. Ini terjadi pada Apartemen Uttara.
Warga Karangwuni menyampaikan bantahan persetujuan itu dalam surat 22 Juli 2014 kepada Bupati Sleman Sri Purnomo.
“Di kasus hotel yang akan dibangun di belakang Plaza Ambarrukmo, polanya seperti itu. Pengembang masuk ke kampung minta mengajukan sosialisasi, warga hadir, absen, tiba-tiba sudah terbit yang namanya IPT yang harus didasari persetujuan warga. Curiganya, tanda tangan itu didapat saat sosialisasi dengan mengganti daftar hadir jadi persetujuan” kata Yogi.
Pola seperti itu, menurut Yogi, banyak terjadi di Kabupaten Sleman, terutama setelah kasus Apartemen Uttara. Selain memanipulasi persetujuan dengan kedok sosialisasi, izin lingkungan juga kerap disepelekan.
“Di dekat Transmart itu ada apartemen juga, yang izin lingkungannya lagi-lagi bukan kepala daerah yang menerbitkan, tapi kepala BLH Sleman. Itu, kan, seperti di Uttara. Sangat disayangkan, kejadian Uttara terjadi lagi di kawasan Sleman,” ujar Yogi.
Trik baru yang menurut Yogi bisa jadi tren di sektor pembangunan hotel dan apartemen terjadi di Kelurahan Ngampilan. Izinnya renovasi, tapi yang dilakukan malah membangun gedung baru.
Menurut warga Ngampilan, pihak hotel saat sosialisasi mengajukan izin renovasi, sehingga tak perlu mengurus IMB baru. Namun, faktanya, bangunan itu dirobohkan dan kabarnya akan dibuat gedung baru.
“Curiganya ini jadi tren baru. Masih butuh kajian lagi. Padahal, secara hukum, enggak dimungkinkan untuk alih fungsi bangunan, harusnya ada mekanisme yang ditempuh dari awal,” kata Yogi.
Cara lain yang dilakukan pengembang untuk dapat izin adalah memecah belah sikap warga sehingga memicu konflik horizontal antarwarga. Konflik ini bisa ditemukan di dua kasus: warga Karangwuni di kawasan Apartemen Uttara dan warga Balirejo.
Redaksi Tirto mengonfirmasi soal izin lingkungan yang diterbitkan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman. Kepala Bidang Tata Lingkungan DLH Sleman Purwoko Sasmoyo mengatakan, penerbitan izin lingkungan, baik itu UKL-UPL maupun AMDAL, dilakukan setelah ada rekomendasi dari DLH Provinsi DIY. Namun, izin tetap diterbitkan oleh DLH Kabupaten Sleman.
Polemik izin lingkungan ini juga menerpa Apartemen Uttara. Izin lingkungan Apartemen Uttara disinyalir diterbitkan atas dasar kajian RDTR yang belum dijadikan perda, sehingga cacat hukum.
“Dahulu Apartemen Uttara pernah mengajukan izin AMDAL ke kami, tapi kami tolak karena mereka sudah proses pembangunan dan juga ada kasus hukum, jadi soal izin itu kami serahkan kembali pada Kabupaten Sleman. Entah itu UKL-UPL atau apa setelahnya sudah tidak pernah lapor lagi ke kami,” kata Atmaji, Kepala Bidang Penataan dan Kajian Lingkungan DLH DIY.
Namun, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sleman mengklaim bahwa izin untuk Apartemen Uttara adakah izin resmi.
“Mestinya apartemen yang sudah dibangun itu sudah ada izinnya, enggak mungkin berani beroperasi tanpa IMB. Uttara itu sudah ada izinnya,” klaim Triana Wahyuningsih, Kepala Perizinan dan Pemanfaatan Ruang Kabupaten Sleman.
Meski menimbulkan kecurigaan soal cacat izin, dan ada penolakan dari warga setempat, pembangunan Apartemen Uttara tetap berjalan dan bahkan sudah mulai memasarkan harga per unit kepada calon konsumen.
Baca: Warga Yogya Menolak Pembangunan Hotel dan Apartemen
Alih Fungsi dari Hotel menjadi Apartemen
Sebaliknya, untuk kasus apartemen di Balirejo, Kepala Bidang Pelayanan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Setiono, mengatakan bahwa ia memang belum ada izin. Sehingga pihak pengembang dilarang untuk melakukan aktivitas pembangunan, sekalipun cuma pagar.
Tirto menemukan pengembang apartemen di Balirejo telah berganti tiga manajemen sejak 2014. Nama apartemennya juga berganti tiga kali. Ada tiga perusahaan berbeda mengajukan izin lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta.
Para pembeli apartemen korban grup Majestic Land tertipu saat apartemen di Balirejo ditawarkan dengan nama Grand Bale. Rencana pembangunannya selalu ditolak warga. Belakangan, apartemen ini kembali ditawarkan dengan berganti nama menjadi Puri Notoprojo. Puluhan warga menolak pembangunannya lagi dan menggelar aksi mendesak Satuan Polisi Pamong Praja menyegel pembangunan apartemen itu. Puri Notoprojo belum memiliki IMB apartemen.
Setiono mengatakan saat kasus penipuan pembelian apartemen di Kota Yogyakarta, belum ada regulasi yang mendasari legalitas pembangunan segmen properti. Pemkot Yogyakarta baru merilis Perda Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Rumah Susun pada Februari 2016. Perda ini mengatur legalitas pembangunan rusun komersial alias apartemen.
“Saat kasus-kasus itu terjadi, perda rusun belum ada. Ada moratorium (pembatasan) pembangunan hotel. Mereka buru-buru jual apartemen,” katanya.
Setiono menjelaskan bahwa proses penerbitan IMB cukup panjang. Pertama, harus ada konsultasi perencanaan. Jika di Sleman, tahap pertama yang harus dilakukan adalah menyusun Izin Pemanfaatan Tanah (IPT). Kemudian, izin lingkungan, baik itu UKL-UPL atau AMDAL. Disusul AMDAL lalu lintas, baru bisa diterbitkan IMB. Setiono mengingatkan pentingnya sosialisasi ke warga.
“Syarat-syarat itu harus terpenuhi, terutama sosialisasi pada masyarakat waktu mengajukan analisis dampak lingkungannya untuk syarat izin AMDAL. Contohnya di Balirejo, sudah investasi, beli tanah di situ, sosialisasi, ditolak warga, sehingga belum punya izin,” katanya.
Terkait penolakan warga, Setiono menilai dampaknya cukup besar untuk menerbitkan izin lingkungan. Bagaimanapun, warga harus dilibatkan saat penyusunan izin lingkungan.
“Harusnya kalau warga menolak, enggak keluar izinnya,” kata Setiono.
Faktanya, dinas-dinas perizinan seakan kecolongan. Izin mudah diterbitkan tanpa memedulikan penolakan warga.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik DIY, jumlah hotel berbintang di Sleman bertambah dari 15 hotel pada 2010 menjadi 32 hotel pada 2016. Sementara untuk hotel melati, dari 405 pada 2010 berkurang jadi 360 pada 2016.
Dari data yang sama, Kota Yogyakarta yang punya 21 hotel berbintang pada 2010 bertambah menjadi 62 hotel pada 2016. Sementara untuk hotel melati bertambah dari 332 pada 2010 menjadi 358 pada 2016.
Setiono mengatakan, setahun setelah Pemkot Yogya menerbitkan Perda Nomor 2 Tahun 2016 tentang Rumah Susun, baru tercatat satu apartemen yang telah mengantongi IMB, yaitu apartemen 9 lantai Sindunegaran Palace di Bumijo, Jetis.
Selain itu, kata Setiono, ada beberapa pengembang yang sudah mengajukan izin, tapi masih dalam proses. Salah satunya apartemen baru milik Adhi Karya di dekat Rumah Sakit Sardjito. Namun, keterangan Setiono ini berbeda dari pantauan Tirto. Di sekitar UGM, misalnya, ada apartemen Hadiningrat Terrace yang dipasarkan di OLX pada Mei lalu. Menurut Setiono, apartemen ini justru hanya punya IMB hotel.
Pertanyaannya: Apakah mungkin pemilik hotel bisa mengalihkan peruntukan gedung menjadi apartemen?
Setiono menyatakan hal ini memungkinkan. Akan tetapi, persyaratan pengajuan IMB apartemen lebih kompleks ketimbang hotel. Terutama terkait kelengkapan sarana prasarana dan AMDAL.
“Hotel ramainya hanya saat weekend, apartemen tiap hari dihuni, tiap hari butuh air banyak, tiap hari penghuninya lewat jalan di situ, belum lagi mobilnya satu-satu,” ujarnya.
“Paling cepat enam bulan untuk AMDAL. Kalau perizinan, asal syarat lengkap, dicek di lapangan benar, cuma 17 hari,” katanya.
Selain itu, sebelum penyerahan sertifikat kepemilikan apartemen ke penghuni, pengembang harus membangun rusun murah bagi warga berpenghasilan rendah seluas 20 persen dari luas bangunan. Rusun itu harus berlokasi di kawasan Kota Yogyakarta. Syarat itu harus dipenuhi sebelum Badan Pertanahan Nasional daerah menerbitkan sertifikat kepemilikan.
“Tapi, cari lahan di kota sulit, harganya mahal,” kata Setiono.
Meski demikian, menurutnya, “Permukiman vertikal dan rusun ke depan akan marak di Yogya. Di Kota, harus ada efisiensi lahan, jadi harus vertikal.”
Satu kasus lain adalah pembangunan apartemen Taman Melati di Sinduadi, Sleman. Ia sempat ditolak warga Pogung Kidul. Melalui surat tertanggal 11 Agustus 2015, warga Pogung menyampaikan keberatan kepada Kepala DLH Sleman.
Dalam surat itu, warga menyampaikan, jika apartemen dibangun, timbul kekhawatiran soal terancamnya sumber air, kehilangan hak untuk menikmati sinar matahari, dampak sosial dan ekonomi, juga ketakutan akan reruntuhan material bangunan.
Namun Taman Melati tetap berdiri. Proses pembangunan sudah dilakukan. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Sleman mengklaim, izin untuk Taman Melati sudah keluar sehingga mereka berhak untuk melakukan pembangunan.
“Yang menyatakan boleh dan tidak (dibangun) itu pemerintah, bukan warga. Yang punya tugas mengatur itu, kan, pemerintah. Kita lihat penolakan warga itu seperti apa,” kata Triana Wahyuningsih.
Menurutnya, jika penolakan bisa diatasi dengan teknik rekayasa, maka izin tetap bisa dikeluarkan.
Misalnya, dalam kasus di Apartemen Uttara, warga menolak karena takut banjir. Pihak pengembang kemudian melakukan teknik rekayasa supaya tidak banjir. Soal kebutuhan air, tambah Triana, Apartemen Uttara memenuhinya dengan PDAM. Pengeboran juga diatur sehingga tidak mengganggu air warga, menurut Triana.
“Pemerintah tidak lantas mengikuti apa kemauan warga, tergantung keberatan warga itu apa. Kalau keberatan warga hanya 'Pokoke tidak mau,' ya kita tidak bisa. Kalau itu, kan, bentuknya hanya kekhawatiran. Kita juga sudah beberapa kali audiensi kok dengan warga,” klaim Triana.
=========
Keterangan foto: Apartemen Uttara di Jakal KM 5, Slemen, DIY. Sumber: apartemenuttarayogyakarta.tumblr.com
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Fahri Salam