Menuju konten utama

Risiko dan Nasib Buruk Pembangunan Hotel di Yogyakarta

Gedung-gedung tinggi semakin marak di Yogyakarta. Sudah ada 55 bangunan bertingkat hingga 18 lantai di Yogyakarta. Padahal, kota tersebut sangat rentan bencana gempa.

Risiko dan Nasib Buruk Pembangunan Hotel di Yogyakarta
Pemandangan gedung bertingkat pada malam hari di kota Yogyakarta. tirto/danna cynthia

tirto.id - Marzuki Mohammad terbangun ketika gempa mengguncang Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Matanya yang masih berat akibat lembur semalaman langsung terbelalak karena kaget. Keluarganya berhamburan ke luar rumah, sementara ia memilih di dalam rumah. Pentolan Jogja Hip Hop Foundation itu semakin terkaget ketika mendapati banyak rumah rata tanah di daerah selatan Yogyakarta.

Bencana gempa itu mungkin tak hanya melekat pada ingatan Marzuki a.k.a Kill The DJ. Ada ribuan warga Yogya yang mungkin juga mengingatnya.

Gempa 5,9 SR itu telah meluluhlantakkan Yogyakarta bagian selatan dan menyebabkan 4.674 orang meninggal dunia serta 19.897 orang luka-luka. Tidak hanya itu, sebanyak 96.730 rumah rata tanah dan 117.075 rumah rusak berat. Pemerintah Indonesia memperkirakan kerugian yang diakibatkan oleh gempa selama 52 detik itu mencapai Rp29,1 triliun.

Namun, gempa besar itu agaknya tidak dijadikan pelajaran berharga untuk pembangunan di Yogyakarta. Itu terlihat dari maraknya bangunan bertingkat yang justru menjamur di Yogyakarta pasca gempa besar tersebut.

Di Yogyakarta, aturan pembatasan bangunan tinggi diatur lewat Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) karena keberadaan Bandara Adi Sucipto di sisi timur Yogyakarta. Berdasarkan aturan itu, pada zona horizontal dalam, maksimal ketinggian bangunan adalah 45 meter.

Berdasarkan data Skyscrapercity Forum Indonesia sudah ada 55 bangunan bertingkat di atas enam hingga 18 lantai di Yogyakarta. Dari 55 bangunan tertinggi di Yogyakarta, 33 di antaranya adalah hotel dan apartemen. Lima besar bangunan tertinggi tersebut yakni Alana Hotel (18 lantai), Alana Condotel (18 lantai), Indoluxe Hotel Jogja (15 lantai), Jogja City Mall & Hotel (14 lantai), dan Grand Aston Hotel (10 lantai).

Data 25 gedung bertingkat dalam proses pembangunan
Jumlah bangunan bertingkat tersebut diperkirakan semakin bertambah. Saat ini, ada 25 bangunan bertingkat di atas 8 lantai dalam proses pembangunan. Sementara itu, bangunan tinggi dalam tahap proposal ada 16 dengan ketinggian antara 10 sampai 16 lantai. Diperkirakan totalnya akan ada 96 bangunan di atas 6 lantai yang berdiri di Yogyakarta.

Data 16 bangunan tinggi dalam tahap proposal

Risiko Bencana

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta melihat munculnya bangunan tinggi tersebut membuat tingi risiko bencana. Berkaca dari gempa tahun 2006, bukan tidak mungkin gempa serupa terjadi dan kembali meluluhlantakkan Yogyakarta, termasuk merobohkan bangunan bertingkat.

Bangunan tinggi ini pun jadi perhatian khusus bagi BPBD, yang sudah memetakan potensi bencana. Gempa bumi merupakan satu-satu bencana yang berpotensi di semua daerah di Yogyakarta.

Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Yogyakarta, Danang Samsu, menjelaskan ada dilema dalam pembangunan gedung tinggi. Di satu sisi, Yogyakarta sebagai kota pariwisata diklaim membutuhkan banyak hotel. Namun, di sisi lain, pola pembangunan macam ini mendorong risiko bencana semakin tinggi.

Belajar dari gempa sepuluh tahun lalu, BPBD Yogyakarta terus memantau pergerakan sesar Kali Opak yang sampai sekarang masih aktif. Jika ada pergerakan lagi, dimungkinkan akan terjadi gempa. Inilah yang membuat BPBD khawatir jika terlalu banyak bangunan tinggi.

Meski sudah mengantongi izin—dan logikanya setiap izin keluar sudah memenuhi standar bangunan di daerah rawan gempa—tetapi risiko itu tetap ada. Diakui Danang, salah satu yang membuat BPBD Yogyakarta repot adalah banyak bangunan tinggi ini kurang terbuka sejak perencanaan hingga pelaksanaan. Ini bikin repot BPBD mengevakuasi saat terjadi bencana. Di sisi lain, BPBD ditargetkan untuk mengurangi risiko dari bencana, khususnya gempa yang pernah menelan ribuan jiwa. BPBD enggan risiko kematian dan celaka yang seharusnya bisa diantisipasi akan terulang lagi.

“Kalau kami dari bagian kedaruratan, yang repot ketika mereka tidak terbuka dalam perencanaan, saat ada bencana gempa, misalnya, mau evakuasi sulit kalau tidak tahu blue print bangunan seperti apa?" kata Danang.

Dibandingkan Jepang, Indonesia belum sepenuhnya menerapkan standar bangunan di daerah rawan gempa. Jika melihat Jepang, sejak 1924, negara ini merintis aturan bangunan standar gempa. Aturan ini berlaku setelah gempa besar Kanto yang menghancurkan 450.000 bangunan dan menewaskan sekitar 143.000 jiwa. Pada 1950, aturan itu pun dijadikan undang-undang Building Standard Law (BSL).

Pada 1995, Jepang kembali dilanda gempa di Kobe. Meski sudah memiliki BSL, tetapi belum semua bangunan menerapkannya. Akibatnya, 6.433 orang meninggal dunia. Usai kejadian itu, pemerintah Jepang meminta semua gedung yang dibangun sebelum tahun 1981 disesuaikan BSL.

Hal itu tak terjadi di Indonesia. Usai gempa Yogyakarta tahun 2006, masih banyak bangunan tak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia untuk bangunan tahan gempa. Hanya bangunan baru saja yang disesuaikan.

“Kita khawatirnya itu bangunan yang tanggung, biasanya kalau yang tinggi itu tertib, tapi yang di bawah lima lantai biasanya abai,” ujar Danang.

Pembawa Bencana

Dalam pandangan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), bangunan tinggi membuat risiko bencana semakin tinggi. Forum PRB menyebutkan ada tiga bencana yang muncul akibat pembangunan, yakni bencana banjir, krisis air, dan konflik sosial.

Di Yogyakarta, beberapa ancaman bencana itu sudah terbukti. Bangunan tinggi, yang didominasi hotel dan apartemen, membuat sumur warga kering akibat perebutan sumber air. Kasus ini terjadi pada Fave Hotel di Miliran dan hotel 1O1 di Gowongan—keduanya di Kota Yogyakarta. Dalam kasus Fave Hotel, puluhan sumur warga mengering akibat perebutan air tanah antara warga dan hotel. Sedangkan di hotel 1O1 ada lebih dari 35 kepala keluarga kesulitan air akibat sumur mengering.

Eko Teguh Paripurno, peneliti Penanggulangan Bencana dari Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, melakukan riset terkait dampak pembangunan hotel di Yogyakarta terhadap krisis air. Hasilnya, sejak 2006, permukaan air tanah terus menurun 15-50 sentimeter per tahun. Akibatnya, warga Yogyakarta semakin susah menjangkau air tanah.

Selain krisis air, banjir jadi ancaman serius saat musim hujan. Ini diakibatkan berkurangnya daerah resapan air untuk pembangunan hotel. Kondisi itu diperparah tingkah nakal sejumlah hotel yang abai aturan. Dari survei Lembaga Ombudsman Swasta Yogyakarta pada 2014, dari 23 hotel yang mereka survei secara acak, ada 10 hotel yang melanggar Perda 2/2012 karena tidak memiliki ruang hijau dan daerah resapan air yang memadai.

Menurut Perda tersebut, semua bangunan di Yogyakarta harus memiliki ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Pasal 40 menyebutkan, setiap bangunan seluas 60 meter persegi harus dilengkapi minimal 1 sumur resapan dengan diameter 1 meter sedalam 4 meter. Selain itu, halaman gedung tidak boleh diplester atau dikonblok.

Masalah lanjutan yang muncul adalah konflik sosial. Itu terjadi di Yogyakarta. Muncul dua kelompok warga yang pro dan kontra dengan pembangunan hotel, seperti dalam kasus pembangunan apartemen M Icon di Gadingan, Sleman.

Perlawanan Warga

Pada 6 Agustus 2014, muncul aksi pertama kali perlawanan warga terhadap hotel Fave di Jalan Kusumanegara. Saat itu mereka melakukan protes karena sumur warga kering setelah hotel Fave beroperasi. Dodok Putra Bangsa, seorang warga Miliran yang sumurnya kering, melakukan aksi mandi pasir di depan hotel Fave.

Dodok mengusung tema Jogja Asat (Yogya kering) yang kemudian jadi gerakan bersama. Gerakan ini memberikan efek yang besar. Sesudah aksi Dodok, muncul perlawanan serupa di beberapa tempat. Salah satunya di Gowongan, Kota Yogyakarta. Warga melakukan aksi serupa. Tak sekadar protes soal sumur kering, mereka juga dirugikan oleh bangunan tinggi yang menyebabkan rumah-rumah warga tidak mendapat cahaya matahari karena tertutup bangunan tinggi.

Sebelumnya, warga di Karangwuni, Sleman, juga melakukan penolakan terhadap pembangunan Apartemen Uttara. Salah satu aktivis lingkungan, Aji Kusumo, bahkan sempat dikriminalisasi karena dituduh merusak spanduk milik apartemen Uttara. Pengadilan Negeri Sleman memvonis Aji Kusumo, yang masih kerabat Keraton, penjara selama tiga bulan 15 hari dipotong masa tahanan pada Juni 2014.

Sementara itu di Gadingan, Ngaglik, Sleman, warga juga menolak pembangunan Apartemen M-Icon. Warga khawatir, pembangunan itu akan bikin sumur mengering dan banjir. Mereka melihat banyak contoh di Kota Yogyakarta dan Sleman. Pada Februari 2015, mereka menggerudug DPRD Sleman untuk menolak pembangunan M-Icon.

Moratorium

Munculnya perlawanan warga dan risiko pembangunan hotel mendapat respons dari Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta. Pada 23 November 2015, Pejabat Bupati Sleman, Gatot Saptadi, mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No 63/ 2015 tentang penghentian sementara pembangunan hotel, apartemen, dan kondotel di Sleman. Berdasarkan Perbup tersebut, moratorium berlaku hingga 2021 mendatang.

Hal serupa terjadi di Kota Yogyakarta. Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwal) No.77 Tahun 2013 bertanggal 20 November tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Dalam Perwal itu, moratorium berlaku hingga Desember 2016. Namun, pada awal 2016, moratorium tersebut diperpanjang hingga tahun 2019.

Moratorium ini disambut baik oleh Perhimpunan Hotel dana Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta. Mereka menilai, selama ini rata-rata okupansi hotel di Yogyakarta hanya 55-57 persen. Berdasarkan data PHRI, pada 2014, tingkat okupansi hotel bintang di Kota Yogyakarta sebesar 57,48 persen dan nonbintang (melati) 26,77 persen. Pada 2015, tingkat okupansi hotel bintang 57,64 persen dan melati 27,11 persen. Angka ini masih di bawah okupansi ideal, yakni 70 persen. Jika pembangunan hotel terus dilakukan, mereka cemas tingkat okupansi makin menurun dan tentu saja bikin pengusaha hotel merugi.

Akhirnya, pola-pola pembangunan hotel harus dipikirkan ulang. Risiko bencana bukan sekadar berdampak pada nasib warga, tapi juga untuk hotel sendiri. Risiko warga menjadi korban bencana makin besar ketika hotel menjamur. Sementara hotel terancam merugi karena okupansi yang rendah akibat persaingan. Tentu tidak ada yang ingin dua nasib buruk itu terjadi.

========

Catatan: Naskah ini dirilis kali pertama pada 17 Juni 2016. Disisipkan ulang karena isunya relevan dengan laporan mendalam Tirto.

Baca juga artikel terkait YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti