tirto.id - Kasus penipuan besar-besaran berkedok investasi properti mencuat di Yogyakarta pada 2016. Kasus ini bermula ketika PT. Graha Anggoro Jaya, perusahaan pengembang asal Surabaya, melalui merek Majestic Land merilis lima proyek yang tersebar di Bantul, Sleman, dan Kota Yogya.
Proyek itu antara lain Villa Wisata Kampung Jogja di Desa Krebet, Pajangan, Bantul, Apartemen M Icon di Jalan Kaliurang Sleman, Best Western Majestic Condotel di Jalan Laskda Adistujipto, Majestic Banguntapan Residence di Tembi Bantul, dan Apartemen Majestic Grand Bale di Timoho, Kota Yogya.
Dalam menjalankan promosinya, Majestic Land tak tanggung-tanggung menggandeng pemerintah daerah. Contohnya, proyek Villa Wisata Kampung Jogja menggandeng Pemda Bantul. Perumahan itu sedianya diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil Bantul yang belum memiliki rumah. Harga penawarannya terbilang terjangkau untuk gaji PNS dengan kisaran Rp200 juta per unit.
Bupati Bantul saat itu Hj. Sri Suryawidati yang meletakkan batu pertama proyek tersebut pada 14 Januari 2015.
Namun proyek itu akhirnya mandek seiring kasus penipuan Majestic Land mencuat pada 2016. Ketika Tirto menyambangi proyek itu pada awal Juli lalu, kondisi proyek kini terbengkalai dan ditumbuhi rumput liar. Dari informasi yang dihimpun, kasus proyek tersebut sudah masuk Pengadilan Tata Usaha Negara dan proses pelelangan.
Selain proyek perumahan PNS itu, empat proyek Majestic Land mengalami nasib serupa. Best Western di pinggir jalan layang Janti, di Jalan Laksda Adisucipto, pun mangkrak. Demikian pula Apartemen M Icon di Jalan Kaliurang Sleman dan Majestic Banguntapan Residence di Tembi Bantul.
Sementara Apartemen Majestic Grand Bale di Timoho, Balirejo, Kota Yogya kini berubah nama menjadi Puri Notoprojo. Pengembang proyek itu sekarang bernama Savills plc, sebuah perusahaan penyedia lahan yasan (real estate) global yang terdaftar di London Stock Exchange.
Redaksi Tirto menemukan pengembang apartemen di Balirejo telah berganti tiga manajemen sejak 2014 hingga 2017. Nama apartemen juga berganti tiga kali. Ada tiga perusahaan berbeda mengajukan izin lingkungan ke Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta.
Bagaimana Para Konsumen Tertarik berinvestasi?
Untuk mendongkrak penjualannya, Majestic Land melakukan promosi besar-besaran sekitar 2013-2014 di sejumlah mal di Yogyakarta.
Salah satu korban penipuan, Ayu, berkata bahwa ia tertarik ketika melihat promosi Majestic Land di Plaza Ambarrukmo pada Desember 2014 silam. Saat itu ia memang ingin beli rumah di Yogya. Jadi pameran itu membuka jalan untuknya memilih-milih rumah di Yogya.
Gayung bersambut, ada Majestic Land yang sedang memasarkan apartemen M Icon di Jakal KM 11, Sleman. Letaknya strategis, sekitar 1,2 km dari kampus UGM.
“Banyak iming-iming dari marketing akhirnya saya kepincut juga, tapi belum tanda jadi waktu itu, masih mau mikir-mikir dulu,” tutur Ayu kepada Tirto, awal Juli lalu.
“Saya tergiur sama nilai investasinya. Saya tertarik dengan opsi buy back 136%. Karena itu enggak ada di pengembang lain,” tambah Ayu, mengirimkan foto brosur Majestic Land melalui aplikasi pesan instan.
Ayu menghitung dengan harga sebesar itu dan setelah ditunggu selama tiga tahun ia bakalan untung lumayan.
“Kalau mau saya jual lagi dengan opsi buy back 136%, jadinya saya untung 36% dalam waktu 3 tahun,” ujarnya.
Korban lain, Ika, mengakui hal serupa. Dalam hitungannya, berinvestasi apartemen di Yogya menguntungkan karena bisa disewakan jika tak dihuni sendiri.
“Kita invest untuk mendapatkan pasif income,” kata Ika sembari menambahkan bahwa lokasinya strategis karena dekat dengan kampus UGM dan UII. “Harga sewa apartemen bisa mencapai Rp5 juta per bulan.”
Iming-iming Kemudahan dan Hadiah
Selain karena dorongan berinvestasi, Ika menuturkan, Majestic Land saat itu memberi tawaran kemudahan pembayaran kepada konsumen. Ia mencontohkan, apartemen yang dibeli saat itu seharga Rp350 juta bisa dibayar separuh, sisanya bisa dicicil dalam beberapa tahun tanpa harus kredit ke bank. “Bagi saya pribadi ini memudahkan,” ujarnya.
Selain itu, Majestic Land memberikan hadiah dan potongan harga kepada konsumen yang mau membayar secara penuh.
Ayu menuturkan, pada akhir Desember 2014, ia ditelepon oleh orang pemasaran Majestic Land untuk mengunci harga. Untuk bisa mendapatkan harga promo, ujar si orang pemasaran, Ayu harus memberi uang tanda jadi sebesar Rp10 juta.
“Akhirnya saya transfer Rp10 juta, dengan termin hard cash,” ujar Ayu.
Pada Januari 2015, Ayu akhirnya membayar separuh harga apartemen dan Februari berikutnya ia melunasi total harga apartemen Rp590 juta. Semuanya melalui transfer bank. Karena lunas dalam waktu cepat, Majestic Land memberi Ayu hadiah.
“Saat itu saya dapet free Iphone 5” tutur Ayu, terkekeh.
Kontrol Konsumen
Namun kegembiraan Ayu itu berlangsung sesaat. Pada Februari, saat ia menyambangi kantor Majestic Land di Hartono Office, di pojok pertigaan Jalan Simanjutak, Kota Yogya, ia harus mengurut sabar. Pihak pengembang menjanjikan bahwa pembangunan apartemen baru dimulai pada Mei 2015.
Tapi, saat Mei ia kembali mendatangi kantor Majestic, ternyata kantornya disegel karena belum bayar listrik.
“Saya mulai cemas. Marketing dan pegawai enggak ada yang bisa dihubungi,” kata Ayu.
Akhirnya Ayu ke proyek Majestic Land yang lain di Banguntapan, Bantul. Di sana ia cuma ditemui oleh mandor proyek. Si mandor, sambung Ayu, malah mengeluh kalau CEO Majestic Land, Wisnu Tri Anggoro, tidak bisa dihubungi via telepon. Mandor itu berjanji mau membantu proses pengembalian uang. “Tapi sampai saat ini tidak ada kabarnya,” ujar Ayu.
Sementara Ika mulai cemas ketika ia mengetahui sejumlah orang pemasaran Majestic Land mengundurkan diri.
“Saat itu saya sebenarnya sedang menanyakan unit yang masih tersisa kepada marketing, tapi ia bilang sudah tidak bekerja lagi di Majestic Land,” tutur Ika.
Baca: Trik Pengembang Dapatkan IMB di Yogyakarta
Upaya Hukum Tumpul
Belakangan Ayu dan Ika serta korban-korban Majestic Land lain melaporkan kasus ini ke Polda DIY. Kasus dugaan penipuan itu sudah diproses Berita Acara Pemeriksaan.
"Tapi entah kenapa prosesnya enggak berjalan mulus. Wahyu Tri Anggoro hanya dipanggil sebagai saksi padahal korban yang di-BAP sudah puluhan jumlahnya,” ujar Ayu.
Korban Majestic juga sudah melaporkan kasus ini ke Ombusdman dan DPRD DIY untuk meminta mediasi, tetapi tetap tidak ada progres. Para korban juga minta bantuan hukum ke LBH Yogya tetapi, kata Ayu, tidak bisa membantu dengan alasan korban dianggap mampu bayar pengacara.
Akhirnya, mereka patungan membayar pengacara. Proses saat ini Majestic dipailitkan oleh Pengadilan Tata Niaga Surabaya, tetapi penjualan aset belum laku sehingga belum ada dana yang cair.
Kata Ayu, setelah upaya hukum selama lebih dari setahun tak menuai hasil, para korban Majestic Land merasa lelah. Alasannya, banyak para korban yang tinggal di luar kota sehingga perlu biaya dan waktu ekstra mengurus perkara ini di Yogya.
“Lawyer kami di Solo, setelah mendaftarkan kami ke pengadilan niaga, sekarang cuma menunggu hasil saja, untuk pidananya mandeg,” kata Ayu.
Dihubungi secara terpisah, Kabid Humas Polda DIY, AKBP Yulianto—yang mengisi jabatan ini sejak Maret 2017—berkata "belum tahu" perkembangan terbaru kasus Majestic Land.
“Saya cek dulu yang menangani,” ujarnya singkat ketika dikonfirmasi redaksi Tirto.
Minim Kontrol Dinas Pemerintah
Setiono, Kepala Bidang Pelayanan Perizinan, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Kota Yogyakarta, mengklaim sudah pernah dimintai keterangan sebagai saksi oleh Polda DIY dalam kasus dugaan penipuan pembelian apartemen Green Bale Timoho, Balirejo.
“Saya jawab ke penyidik polisi, saya tak tahu karena belum ada izinnya. Setelah pengusaha apartemen Balirejo dapat duit banyak, ganti manajemen,” kata Setiono kepada Tirto, 22 Juni lalu.
Menurutnya, Majestic Land menawarkan apartemen ke konsumen hanya berbekal kepemilikan tanah. Mereka sama sekali tak memiliki izin AMDAL maupun IMB pendirian apartemen. Warga di sekitar lokasi rencana pembangunan apartemen juga menolak proyek itu.
“Kasus Balirejo itu, mengajukan perizinan saja belum. Belum punya izin, sudah dijual. Itu tidak boleh. Yang beli sudah lunas, ke lokasi, kok belum ada apa-apa,” kata Setiono.
Ia mengklaim bahwa kasus penipuan investor apartemen seperti ini tidak menjadi kewenangan Pemerintah Kota Yogyakarta karena sifatnya sudah pidana. Laporan mengenai kasus-kasus seperti ini hanya ditangani kepolisian.
“Untuk yang izinnya hotel, atau belum punya izin, sudah dijual, itu penipuan sanksinya. Itu langsung pidana. Penipuan itu,” kata Setiono.
Untuk pencegahan kasus serupa, ia hanya menyarankan para konsumen apartemen untuk "hati-hati" dengan memeriksa kelengkapan perizinan, yakni dari AMDAL/UKL-UPL hingga IMB, kepada Pemerintah Kota Yogyakarta.
“Makanya, konsumen, kalau beli, tanyakan izin dan legalitasnya. IMB-nya apa? Jangan sampai IMB hotel, dibeli apartemen. Lha di Balirejo, belum ada sudah lunas beli apartemen,” ujarnya.
Namun, dari penelusuran reporter Tirto, selama ini sulit untuk mengakses informasi secara online mengenai daftar hotel dan apartemen yang memiliki izin IMB. Faktanya, publik harus datang langsung ke dinas perizinan untuk mengakses data tersebut.
=========
Keterangan foto: Apartemen Taman Melati dalam tahap pembangunan di Jalan Jembatan Baru UGM, Sinduadi, Sleman. Tirto.id/Andry Damaledo
Penulis: Agung DH
Editor: Fahri Salam