tirto.id - Rencana pembangunan tiga jalur tol Yogyakarta dari arah Bawen, Cilacap, dan Solo—yang sempat mati suri sejak 2010—mencuat lagi pada 13 Juli 2017.
Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X, kepada media menyatakan menolak pembangunan tol di Yogyakarta.
“Di DIY tidak ada jalan tol,” kata Sultan. “Bukannya tidak boleh, pemerintah pusat juga sepakat (tidak ada tol).” (Baca: Sultan Beberkan Alasan Tolak Bangun Tol)
Empat hari berselang, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono merespons pernyataan Sultan. Di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, pada Juli lalu, Basuki menyatakan rencana tol Yogyakarta tetap berlanjut, kecuali jalur tol yang menghubungkan Bandara Kulon Progo dan Borobudur.
Basuki memastikan jalan tol dari bandara baru di Kulon Progo—yang sampai sekarang diprotes dan memicu konflik agraria—menuju pusat kota Yogyakarta tetap diperlukan. Tujuannya, agar masyarakat atau wisatawan yang tiba di bandara itu bisa menikmati objek wisata di Yogyakarta.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan ikut bicara. Menurut Luhut, kekhawatiran Sultan karena takut penduduk setempat tak dapat menikmati hasil pembangunan bisa dipahami. Ia memastikan bahwa Jakarta tetap memperhatikan kepentingan masyarakat soal rencana tol di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
“Terkait rencana jalan tol masih akan dilakukan kajian oleh Bank Dunia dan Universitas Gadjah Mada. Harapannya, hasil studi itu dapat menjelaskan apa yang terbaik, khususnya untuk Yogyakarta dan Jawa Tengah,” kata Luhut.
Baca laporan khusus Tirto mengenai bandara baru di Kulon Progo yang memicu konflik agraria dan mengubah ruang hidup Yogyakarta: Mereka yang Bertahan di Antara Patok-Patok Angkasa Pura
Keinginan Yogyakarta
Pro-kontra rencana tol di Yogyakarta masih belum menemukan titik temu antara pemerintah pusat dan daerah, terutama bagi DIY. Namun, Yogyakarta tak sepenuhnya menolak semua jalur tol yang direncanakan Jakarta.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DIY Tavip Agus Rayanto menyatakan bahwa pernyataan Sultan hanya mengisyaratkan mengenai desain alternatif jalur tol dari pemerintah pusat.
Sultan, kata Tavip, tidak sepakat jika jalur tol melintasi kawasan padat penduduk di DIY. Alasannya, desain tol seperti itu bisa mematikan perekonomian masyarakat.
Tavip menjelaskan, keinginan Sultan adalah jalur tol Yogyakarta-Cilacap tak perlu berlanjut membelah wilayah Kulon Progo dan bagian barat Sleman. Jalur tol kelanjutan dari ruas Cileunyi-Tasikmalaya-Cilacap itu cukup berhenti di sebelah barat bandara baru. Tepatnya, tak jauh dari perbatasan Kulon Progo dan Purworejo, Jawa Tengah.
“Kalau Cilacap-Yogya nyambungnya ke airport tidak apa-apa, karena letaknya di perbatasan [Tak membelah wilayah permukiman padat dalam cakupan luas],” kata Tavip saat dihubungi Tirto pada akhir Juli 2017.
“Intinya, yang di dalam kota (di tengah kawasan padat penduduk di DIY), lebih ke optimalisasi jalan atau pelebaran (bukan tol),” imbuh Tavip.
Karena itu, Tavip mengatakan Sultan memang tidak menolak rencana pembangunan dua jalur tol yang saling menyambung dan melintasi kawasan DIY, yakni Bawen-Yogyakarta dan Solo-Yogyakarta. Sebab, menurutnya, desain jalur tol tersebut bisa disiasati melintasi kawasan utara Sleman yang terhitung pinggiran dan sepi permukiman penduduk.
Itu pun dengan syarat: bangunan tol didesain melayang atau elevated.
“Sehingga tidak mengganggu perekonomian masyarakat, di samping itu bisa menekan biaya sosial,” imbuh Tavip.
Sampai sekarang, usulan agar jalur tol Bawen-Yogyakarta dan Solo-Yogyakarta dibangun melayang masih dalam kajian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tavip belum mengetahui hasil akhir kajian itu.
“Suka berubah-ubah (perkembangan kajian), takut salah dibaca masyarakat, (nanti) malah (publik) jadi bingung dan resah,” katanya.
Tavip mengaku belum mengetahui respons pemerintah pusat terhadap usulan Pemprov DIY terkait tol. Ia juga tidak mau memastikan sikap final Pemprov DIY soal rencana tol ini.
“Tanya langsung dengan Pak Gubernur final tidaknya. Saya hanya pembantu beliau (Sultan),” ujar Tavip.
Terkait rencana pembangunan tol, Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah DIY, Sulistyo, mengatakan hingga sekarang, belum ada respons resmi dari pemerintah pusat dan perkara infrastruktur transportasi penopang bandara baru pun masih dalam pembahasan.
Menurut Sulistyo, keberadaan tol penghubung antar-kota, yang memiliki desain track lurus untuk kegunaan semata-mata mempercepat jarak tempuh, tidak cocok di DIY.
Desain seperti ini tidak berdampak besar pada perekonomian kawasan yang dilintasi jalur tol tersebut. Tol seperti itu, menurutnya, menyebabkan para penggunanya kecil kemungkinan mampir ke kawasan di sekitar titik tengah jalur.
Sulistyo mengatakan, maksud Sultan lebih ke meminta pemerintah pusat memikirkan, “Bagaimana (desain) tol bisa menumbuhkan perekonomian daerah sekitarnya (DIY).”
“Jangan sampai Yogyakarta (DIY) cuma dilewati saja,” kata Sulistyo.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Komisi C (Bidang Pembangunan) DPRD DIY, Agus Subagyo, mengatakan wacana pembangunan jalan tol di wilayah DIY belum pernah dibahas di kalangan anggota dewan.
Tapi, politikus Partai Golkar ini berpandangan serupa dengan Sultan HB X yang menolak rencana pemerintah pusat membangun jalan tol. Ia berpendapat, DIY belum membutuhkan jalan tol meski pengoperasian bandara baru di Kulon Progo akan meningkatkan arus lalu lintas dari Kecamatan Temon menuju Kota Yogyakarta. Sementara kepadatan lalu lintas di jalur Solo-Yogyakarta selama ini juga belum kelewat tinggi.
“Wilayah DIY terlalu sempit kalau harus dibelah tol,” kata Agus, akhir Juli lalu, merujuk rencana pembangunan tiga jalur tol Bawen-Yogyakarta, Solo-Yogyakarta, dan Cilacap-Yogyakarta.
“Jalan tol belum bersifat urgent. Pembangunan jangan orientasinya proyek,” tambah Agus.
Keputusan di Tangan Sultan
Berdasar Peraturan Presiden No. 58/2017 tentang Perubahan atas Perpres No. 3/2016 mengenai Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang resmi berlaku pada 16 Juni 2017 lalu, keputusan gubernur sebenarnya vital.
Pasal 21 ayat 4 dalam Perpres tersebut menyatakan, “Tanah lokasi Proyek Strategis Nasional ditetapkan oleh gubernur.”
Sementara pada Pasal 21 ayat 6 menjelaskan lagi, “Dalam hal jangka waktu penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah berakhir dan penyediaan tanah untuk pelaksanaan Proyek Strategis Nasional belum selesai, gubernur memperbarui penetapan lokasi Proyek Strategis Nasional untuk jangka waktu 2 (dua) tahun.”