Menuju konten utama

Dua Jalan Daendels yang Membelah Pulau Jawa

Daendels yang dijadikan nama jalan di pesisir selatan Jawa bukan Herman Willem Daendels yang menggagas jalur panjang di Pantura.

Dua Jalan Daendels yang Membelah Pulau Jawa
Jalur lintas selatan, Yogyakarta. tirto.id/Riva

tirto.id - Kebanyakan orang mengira bahwa jalur lurus di sepanjang pesisir selatan Jawa dari Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan) hingga Cilacap (Jawa Tengah bagian barat daya) adalah jalan yang juga digagas oleh Herman Willem Daendels, pemrakarsa pembangunan jalan di pesisir utara dari Anyer sampai Panarukan. Ternyata bukan. Ada dua Daendels berbeda.

Daendels yang mempelopori pembukaan jalur sepanjang 1.000 kilometer di pesisir utara Jawa dari Anyer sampai Panarukan adalah Gubernur Hindia Belanda era 1808-1811. Jalur yang disebut Jalan Raya Pos (De Grote Postweg)itu dibangun Daendels pada awal masa kepemimpinannya di Hindia Belanda (Ewout Frankema, eds.,Colonial Exploitation and Economic Development, 2013:43).

Sementara yang dijadikan sebagai nama jalan di pesisir selatan Jawa yang menghubungkan Bantul (Yogyakarta), Purworejo, Kebumen, hingga Cilacap, berbeda dengan Daendels yang gubernur jenderal itu, alias bukan orang yang sama. Kedua Daendels ini hidup dalam masa yang berbeda pula.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda telah memberikan nama untuk masing-masing jalur pesisir yang mengapit Jawa tersebut. Untuk jalur Pantai Utara, namanya adalah Postwegen atau Jalan Raya Pos, sedangkan jalur Pantai Selatan—yang kini memiliki panjang sekitar 130 kilometer—dinamakan Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama.

Dua Daendels yang Berbeda

H.W. Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808. Atas rekomendasi Napoleon Bonaparte, ia ditetapkan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memperkuat pertahanan Belanda di Jawa guna menghadapi Inggris yang berpusat di India (M. Junaedi Al Anshori, Sejarah Nasional Indonesia, 2011:69). Kala itu, Belanda berada di bawah pengaruh Perancis.

Memerintah hingga 1811, Daendels membuat sejumlah kebijakan krusial. Salah satunya pembangunan Jalan Raya Pos, menghubungkan bagian barat sampai timur Pulau Jawa dengan menyusuri pesisir utara, meski masih diperdebatkan apakah jalur tersebut benar-benar dibangun dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo) pada era Daendels.

Pekerjaan berat ini menelan belasan ribu korban jiwa dari orang-orang bumiputra yang dijadikan sebagai pekerja paksa tanpa dibayar (Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, 2014:113). Jalur panjang ini kemudian dikenal dengan nama Jalur Pantura (Pantai Utara) yang kini menjadi salah satu jalur transportasi terpenting di Indonesia.

Sementara Daendels yang dijadikan sebagai nama jalan di pesisir Pantai Selatan Jawa ternyata bukan orang yang sama dengan Daendels si pencetus Jalur Pantura.

Jika H.W. Daendels berkedudukan setara dengan presiden selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda, maka Daendels yang kedua ini punya jabatan pemerintahan yang lebih rendah.

Ia adalah A.D. Daendels. Diketahui, Daendels yang satu ini menjabat sebagai asisten residen di wilayah Ambal (kini nama kecamatan di Kabupaten Kebumen) pada 1838, atau tiga dekade setelah H.W. Daendels mulai menempati posisi tertinggi sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Overzigt der Reis in Nederlandsch Indie, 1838:63).

Dengan demikian, A.D. Daendels merupakan pembantu residen. Residen adalah jabatan untuk menyebut pemimpin karesidenan, wilayah administratif pada masa kolonial yang menaungi beberapa kabupaten dan bertanggungjawab kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Setelah 1950, wilayah administratif karesidenan ditiadakan, dari provinsi langsung ke kabupaten/kotamadya.

Semasa A.D. Daendels menjabat sebagai asisten residen, Ambal masuk dalam wilayah administratif Karesidenan Bagelen yang membawahi sejumlah daerah di Purworejo dan Kebumen (Jawa Tengah). Karesidenan ini dihapus pemerintah kolonial sejak 1 Agustus 1901 dan digabungkan dengan Karesidenan Kedu (Susanto Zuhdi, Perkembangan Pelabuhan dan Kota Cilacap, Jawa Tengah, 1830-1940, 1991:6).

Jalur Lama Kerajaan Jawa

A.D. Daendels adalah pembantu (asisten) Residen Bagelen yang ditugaskan membawahi wilayah Ambal. Maka, Jacobus Anne van der Chijs (1903:357) dalam Geschiedenis van de Gouvernements Thee-cultuur op Java menyebut A.D. Daendels sebagai Adsistent-resident van Ambal.

Selain Ambal, Karesidenan Bagelen menaungi tiga wilayah lain, yang dipimpin oleh asisten residen, yakni Kebumen, Ledok, dan Kutoarjo. Lantas, apakah peran A.D. Daendels dalam pembangunan jalan di pesisir selatan Jawa sama dengan H.W. Daendels sebagai pemrakarsa Jalur Pantura?

Kemungkinan besar tidak. Nama jalan pantai selatan Jawa kerap disebut dengan nama Jalan Daendels hanya karena jalur tersebut melewati wilayah Ambal yang kala itu dipimpin oleh A.D. Daendels. Dengan kata lain, jalan pesisir selatan tersebut sudah ada sejak sebelum orang Belanda itu tiba di wilayah ini.

Sebelumnya, jalan ini sempat menyandang nama Jalur Diponegoro. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya pernah bergerilya di ruas jalan ini, tepatnya di wilayah Karesidenan Bagelen, dalam Perang Jawa melawan Belanda yang berlangsung sejak 1825 hingga 1830 (Saleh Asʾad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro, 2004: 173).

Bagelen, yang kini termasuk Kabupaten Purworejo, saat itu menjadi areal penting dalam Perang Diponegoro (Nanik Sri Prihartini, Dolalak Purworejo, 2007:13). Wilayah ini sangat strategis sebagai jalur perdagangan serta arus lalu lintas. Terlebih lagi, Bagelen dialiri empar sungai besar: Sungai Bedono, Sungai Jali, Sungai Lebang, dan Sungai Bogowonto. Peran Bagelen ibarat pintu gerbang barat sebelum memasuki wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Jalan pesisir Pantai Selatan sudah ada sejak abad ke-14, yang dijadikan sebagai penghubung kerajaan-kerajaan di Jawa. Sejarawan asal Kebumen, Ravie Ananda, seperti dikutip dari Republika (24 Januari 2014), menyebut jalan tersebut merupakan “jalur upeti kerajaan di Jawa, yang menghubungkan Kediri, Majapahit, Pajang, Mataram, Cirebon, hingga ke Demak di utara.”

Dari Bagelen ke arah barat hingga Cilacap, tepatnya antara Sungai Bogowonto dan Sungai Donan, pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam pada era Sultan Agung (1613-1645). Area ini disebut dengan nama Sewu, satu dari delapan bagian wilayah “Negaraagung” milik Mataram Islam (S. Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, 2010). “Negaragung” adalah daerah-daerah di luar pusat pemerintahan yang harus membayar pajak kepada keraton.

Infografik HL Indepth Tol DIY

Antara Daendels dan Diponegoro

Keputusan Pangeran Diponegoro memilih jalur pantai selatan sebagai salah satu rute perjuangannya dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda bukan hal yang mengherankan. Sebagai anggota keluarga Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro setidaknya memahami medan jalur yang pernah dirintis oleh leluhurnya itu.

Setelah Perang Jawa usai, yang berakhir dengan kemenangan Belanda yang bersiasat menangkap Pangeran Diponegoro, jalur lama Mataram Islam itu mulai dikenal sebagai Jalur Daendels seiring kehadiran A.D. Daendels.

Jalur ini memang kemudian lebih lekat dengan nama Daendels ketimbang Diponegoro meski orang masih sering salah kaprah mengenai sosok Daendels yang dimaksud. Nama Daendels barangkali dipilih untuk membedakan dengan penggunaan nama Diponegoro yang sudah jamak dipakai sebagai nama jalan, termasuk di Purworejo sendiri, yang sisi selatannya juga bagian dari Jalur Daendels.

Di Purworejo, penggunaan Diponegoro untuk menamai jalan bahkan lebih dari satu. Salah satunya adalah Jalan Diponegoro yang menjadi ruas jalan dalam rangkaian Jalur Daendels itu sendiri, tepatnya terletak di daerah Ngombol. Ada juga Jalan Diponegoro di pusat kota Kutoarjo, salah satu kecamatan penting di Kabupaten Purworejo.

Jalan Daendels selatan sendiri sempat menyandang citra suram, tidak sering dilewati kendaraan, berbeda dengan Jalan Daendels utara yang bahkan menjadi jalur transportasi utama antar-kota di Jawa. Kondisi jalan yang buruk dan kurangnya penerangan dan marka jalan memicu sering terjadi aksi begal, yang membuat jalur pesisir selatan ini seolah terabaikan.

Namun, kesan buram itu kini perlahan sirna. Jalur yang semula dari wilayah Brosot (Kulon Progo) hingga Cilacap itu kini dimulai lebih ke timur, dari pesisir Pantai Samas di Bantul. Alas jalannya pun sudah diaspal mulus dan menjadi jalur alternatif menuju Jakarta atau sebaliknya, dari barat ke Yogyakarta, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Jawa Tengah atau timur melalui jalur tengah.

Terlepas dari sisi baik-buruknya, rencana pembangunan bandar udara baru di kawasan Glagah, Kulon Progo, sebagai pengganti Bandar Udara Adisucipto Yogyakarta boleh jadi akan semakin mengaburkan kesuraman yang sebelumnya melekat pada jalur Daendels selatan. Jalur ini mulai berbenah untuk setidaknya mengimbangi fungsi Jalan Daendels di Pantura dalam hal akses transportasi.

Baca juga:

Patok Menancap di Lahan Diponegoro hingga Rakyat Kulon Progo

Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka

Lebaran Terakhir Diponegoro di Tanah Jawa

Penerus Takhta Berdarah Kasultanan Yogyakarta

HB V: Sultan Jawa yang Dibunuh Istrinya Sendiri

Baca juga artikel terkait JALUR PANTURA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Fahri Salam