tirto.id - Patok dari cor blok berlumur cat kuning tertanam di bawah Tugu Seloaji sejak awal tahun 2017. Tingginya tak sampai lutut orang dewasa. Berbentuk serupa pipa ledeng dan ditulisi BM-01 dengan tinta hitam.
Tugu Seloaji punya ciri khas berhias batu besar buatan berkelir hitam pada bagian ujungnya. Bangunan setinggi dua meter itu berada di tengah-tengah salah satu pertigaan jalan Pakem-Kalasan. Lokasinya masuk wilayah Desa Selomartani, Kabupaten Sleman.
Sekitar 500 meter dari patok pertama, berada di tengah sawah, ada patok serupa yang ditanam pada waktu bersamaan. Bedanya, patok kedua ini ditandai tulisan tinta hitam CP-10 dan lambang mirip kaki tiga milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Wahyudi, warga yang bermukim tak jauh dari Tugu Seloaji, meyakini patok itu ditanam sebagai penanda calon lokasi jalur jalan tol.
“Patok dipasang bareng survei lahan. Banyak warga tahu dari petugas survei, pemetaan itu untuk lokasi tol. Kami tak tahu siapa yang survei,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto, awal Agustus lalu.
Menurut Wahyudi, beberapa hari usai survei itu, tersebar data mengenai jalur tol melalui pesan berantai ke ponsel sebagian warga di Selomartani. Data itu berbentuk file pdf dan memuat informasi peta calon lokasi jalan tol di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Data itu memastikan kawasan Desa Selomartani ikut diterabas jalan tol. Tapi, isinya juga menerangkan ada banyak alternatif lokasi lain untuk jalur tol. Wahyudi tak lagi menyimpan data itu dalam ponsel miliknya. Ia berkata lupa sejumlah pilihan jalur jalan tol pada data itu.
“Belum ada sosialisasi ke warga. Hanya ada orang survei lahan dan pasang patok lokasi tol,” ujarnya.
Kabar ini segera jadi bahan perbincangan hangat warga Selomartani selama enam bulan terakhir. Ia menilai kebanyakan warga tidak menolak proyek itu asalkan harga tanah cocok.
“Harga tanah di sini umumnya Rp500 ribu sampai Rp1,5 juta per meter,” kata Wahyudi.
Belakangan, banyak warga Selomartani tak yakin proyek jalan tol itu akan terealisasi. Sebabnya, pertengahan Juli lalu muncul berita bahwa Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X menolak jalan tol masuk daerahnya.
Saat saya membahas hal ini dengan Wahyudi, pedagang bakmi tempat kami bertemu, ia sempat berkelakar, “Kalau enggak jadi, ya alhamdulilah.”
Dalam ingatan Wahyudi, survei dan pemasangan patok untuk calon lokasi jalan tol di kampungnya juga pernah terjadi pada 20-an tahun lalu. Saat itu, sejumlah patok kayu dipasang di pinggiran jalan Pakem-Kalasan dan persawahan. Patok-patok kayu itu sejak lama sudah lenyap.
“Survei itu waktu saya kecil, masih SD, saya lupa lokasi patoknya di mana,” katanya.
Saat dihubungi redaksi Tirto, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna menyatakan proyek jalan tol yang akan melintasi wilayah DIY masih dalam tahap studi kelayakan. Misalnya, kajian untuk tol Yogyakarta-Bawen sedang digarap Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas.
Sementara dua ruas lain sedang dikaji oleh pihak badan usaha pemrakarsa atau pengusul proyek itu. Ruas tol Yogyakarta-Cilacap dan Yogyakarta-Solo diusulkan oleh BUMN Malaysia, UEM Group Berhad dan konsorsium bentukannya.
“Semua masih tahap studi, masih rencana. Nanti ada pembicaraan dengan Pemda. Pemda menentukan lokasinya,” katanya pada awal Agustus lalu.
Direktur Program Komite Infrastruktur Prioritas, Rainier Haryanto, membenarkan pernyataan Herry. Studi kelayakan tol Yogyakarta-Bawen ditargetkan rampung pada akhir 2017.
“Tapi, sekarang masih dalam tahap kajian, kami belum bisa jelaskan lebih banyak sebelum akhir 2017,” ujarnya.
Komite sedang menjaring usulan dari Pemda DIY dan Jawa Tengah mengenai ruas tol ini. Menurut Rainier, Komite telah bertemu Sultan HB X pada medio Agustus 2017 dan akan segera menemui Pemkab Magelang, yang mayoritas daerahnya menjadi lahan tol Yogyakarta-Bawen.
“Sultan minta tol dibangun melayang, sebagian mengikuti aliran selokan Mataram dan memakai lahan yang tidak padat penduduk. Ini sedang kami kaji,” kata Rainier.
Kepala Bappeda DIY, Tavip Agus Rayanto, akhir Juli lalu juga mengatakan bahwa Sultan mengusulkan agar jalur tol Yogyakarta-Solo dan Yogyakarta-Bawen, yang melintasi kawasan Sleman, dibangun melayang (elevated).
Tujuannya, agar jalan tol tidak menurunkan nilai ekonomi kawasan di sekitarnya dan meminimalisir risiko biaya sosial.
“Agar tak mengganggu perekonomian masyarakat. Tapi, kajian akhirnya di kementerian (PUPR), saya belum tahu persisnya hasil bagaimana,” kata Tavip.
Proyek Tutut Jelang Ayahnya Mundur
Survei lahan dan pemasangan patok di kawasan Desa Selomartani pada awal tahun 2017 dan 20-an tahun sebelumnya, kemungkinan besar untuk proyek jalan tol Yogyakarta-Solo. Pada era 1990-an, pemerintahan Soeharto berencana membangun jalan tol Trans Jawa di sisi utara pulau. Jalur ini dilengkapi dua ruas jalan tol penghubung Yogyakarta-Solo-Semarang.
Pada 1995, persiapan proyek jalan tol Yogyakarta-Solo berbarengan dengan niat Soeharto memacu pembangunan 762 kilometer jalan tol melalui 19 tender. Setahun kemudian, PT Citra Lamtoro Gung Persada, perusahaan milik Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), putri sulung bos besar Orde Baru itu, memenangkan tender proyek tol Yogyakarta-Solo sepanjang 38,6 kilometer dan bernilai Rp720 miliar.
Pengerjaan konstruksi jalan tol ini seharusnya dilakukan sejak 1997. Tapi, krisis moneter menggulung rencana ini. Pada tahun itu, Soeharto menerbitkan Keppres No. 39/ 1997 untuk menangguhkan pengerjaan 241 proyek pemerintah yang digarap negara, BUMN, maupun swasta. Di antara 62 proyek jalan tol yang ditangguhkan, salah satunya ruas Yogyakarta-Solo.
Pada akhir pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie yang singkat, sebagaimana berita Tabloid Siar pada 23 Juli 1999, perusahaan milik Tutut itu dipastikan batal menggarap proyek jalan tol Solo-Yogyakarta.
Menteri Pekerjaan Umum Rachmadi Bambang Sumadhijo membubarkan 24 paket pembangunan jalan tol yang sudah melewati proses tender. Sebabnya, tender dinilai tertutup dan proyek itu tidak menguntungkan. Ruas jalan tol Yogyakarta-Solo termasuk dalam daftar proyek yang dibatalkan.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri menghidupkan lagi rencana proyek-proyek infrastruktur pada masa Soeharto, termasuk sejumlah ruas jalan tol. Namun, Keppres 15/2002, yang membatalkan Keppres 39/1997, hanya memerintahkan sejumlah kementerian mengkaji lagi kelayakan untuk melanjutkan ratusan proyek infrastruktur produk rencana Orde Baru.
Meski begitu, ide pembangunan jalan tol Yogyakarta-Bawen dan Yogyakarta-Solo tetap awet dalam rencana tata ruang.
Contoh, Perda 21/2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Jawa Tengah masih mengikuti perencanaan Orde Baru dan mencantumkan rencana pembangunan jalan tol Semarang-Yogyakarta dan Surakarta-Yogyakarta.
Masuk RTRW di Era SBY, Tapi Tak Dibangun
RTRW Nasional baru, yang terbit setahun usai pembentukan Undang-Undang 26/2007 tentang Penataan Ruang pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mematangkan rencana pengembangan jalan tol produk Orde Baru. Peraturan Pemerintah 26/2008 tentang RTRW Nasional merencanakan ada tiga ruas jalan tol yang melintasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
Lampiran III peraturan ini mencatat jalan tol Yogyakarta-Solo, Yogyakarta-Bawen, dan Cilacap-Yogyakarta masuk dalam daftar rencana pembangunan jalan bebas hambatan antarkota di Pulau Jawa.
Lebih rinci lagi, PP 28/2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali menetapkan tiga ruas tol itu termasuk dalam daftar 35 jalan tol antarkota di Pulau Jawa.
Perencanaan ini diikuti dua provinsi calon lokasi tiga ruas tol itu. Perda 6/2010 tentang RTRW Jawa Tengah 2009-2029 mencantumkan rencana jalan tol Yogyakarta-Bawen, Yogyakarta-Solo, dan Ciamis-Cilacap-Yogyakarta.
Sementara Perda 2/2010 tentang RTRW DIY 2009-2029 menyebut rencana pembangunan tiga ruas jalan bebas hambatan itu tercantum dalam pasal 14 ayat 1 Huruf (a). Lampiran penjelasan menyatakan definisi jalan bebas hambatan dalam perda tersebut ialah jalur tol yang berbayar.
Perda 12/2012 tentang RTRW Kabupaten Sleman 2011-2031 melengkapi perencanaan itu dengan menetapkan daftar kecamatan calon lokasi dua jalur tol di wilayahnya, yakni Yogyakarta-Bawen dan Yogyakarta-Surakarta (Solo).
RTRW Sleman merencanakan jalan bebas hambatan Yogyakarta-Surakarta melintasi Kecamatan Ngemplak dan Kalasan. Sedangkan jalan tol Yogyakarta-Bawen melewati Kecamatan Tempel, Turi, Pakem, Ngaglik, dan Ngemplak. Tak heran, lima bulan lalu ada survei lahan calon jalur tol di Kalasan.
Anehnya, Kulon Progo tidak memasukkan rencana proyek pembangunan jalan tol Yogyakarta-Cilacap sebagaimana perencanaan pusat dan provinsi. Perda 1/2012 tentang RTRW Kabupaten Kulon Progo 2012-2032 hanya berencana mengembangkan jalan nasional dan arteri primer Yogyakarta-Cilacap.
Eksekusi Rencana Tol di Era Jokowi
Sejak 2009, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) setiap tahun menerbitkan buku Public Private Partnership atau PPP Book. Ia memuat informasi penawaran investasi proyek infrastruktur ke pihak badan usaha, baik BUMN maupun swasta.
Tapi, sebelum 2017, tidak tercatat ada PPP Book Bappenas menawarkan investasi pembangunan jalan tol di kawasan DIY. Penawaran pertama kali justru datang dari BPJT.
Pada bulan terakhir pemerintahan SBY, Oktober 2014, BPJT menerbitkan buku "Peluang Investasi Jalan Tol di Indonesia 2014". Lewat terbitan itu, BPJT menawarkan puluhan investasi proyek jalan tol ke pihak badan usaha. Ruas Yogyakarta-Bawen dan Yogyakarta-Solo tercantum dalam daftar 11 jalan tol potensial. BPJT tidak mencantumkan penawaran proyek jalan tol Yogyakarta-Cilacap.
BPJT merencanakan ruas jalan tol Yogyakarta-Bawen sepanjang 104 kilometer dan bernilai Rp6,085 triliun. Sedangkan nilai investasi Yogyakarta-Solo, yang sepanjang 40 kilometer, sebesar Rp2,33 triliun.
PPP Book Bappenas baru menawarkan proyek jalan tol Yogyakarta-Bawen dan Yogyakarta-Solo pada edisi 2017, yang terbit pada akhir 2016. Publikasi bertajuk "Public Private Partnership, Infrastructure Projects Plan in Indonesia 2017" ini menyatakan bahwa proyek dua ruas jalan tol tersebut masuk tahap persiapan. Ia juga tak menawarkan jalan tol Yogyakarta-Cilacap.
PPP Book 2017, yang menawarkan 22 proyek infrastruktur, menyebut pembangunan tol Yogyakarta-Bawen bernilai 270 juta dolar AS dengan masa konsesi 30 tahun dan akan dibangun pada 2018-2019.
Jalurnya dibagi tiga seksi: Bawen-Secang, Secang-Borobudur, dan Yogyakarta-Borobudur. Jalan tol ini butuh lahan seluas 6,7 juta meter persegi.
Sedangkan proyek tol Yogyakarta-Solo bernilai investasi 113 juta dolar AS dan masa konsesi 36 tahun. Jalan tol ini sepanjang 45 km dan melintasi Sleman, Klaten, Sukoharjo, serta Surakarta. Bappenas mengklaim pembebasan lahan sedang berlangsung. Target pembangunannya pada 2018-2019.
Pada Juni lalu, jalan tol Yogyakarta-Solo dan Yogyakarta-Bawen akhirnya jadi Proyek Strategis Nasional. Keduanya disebut dalam lampiran Peraturan Presiden 58/2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Perpres ini diteken Presiden Joko Widodo pada 15 Juni 2017.
Lampiran Perpres 58/2017 menyebutkan jalan tol Yogyakarta-Solo dan Yogyakarta-Bawen masuk dalam daftar 248 Proyek Strategis Nasional. Jalan Tol Yogyakarta-Solo direncanakan 40,5 kilometer dan Yogyakarta-Bawen sepanjang 71 kilometer. Biaya ke-248 Proyek Strategis Nasional bisa dari anggaran pemerintah maupun non-pemerintah.
Dua tahun sebelumnya, dua ruas jalan tol ini sudah masuk dalam rencana Kementerian PUPR yang menargetkan ada jalan tol sepanjang 1.187 kilometer di Jawa pada 2015-2019.
Meski pembangunan jalan tol Yogyakarta-Cilacap cuma tertulis dalam perencanaan RTRW, ruas ini ternyata menarik minat badan usaha. Pada awal 2017, ruas ini menjadi salah satu proyek jalan tol yang diusulkan sejumlah badan usaha ke BPJT. Istilahnya, proyek jalan tol prakarsa.
BUMN asal Malaysia, UEM Group Berhad, mengusulkan proyek jalan tol itu ke BPJT. Hingga kini belum jelas nasib usulan tersebut. Sayangnya, pihak humas UEM Group Berhad menolak menjawab permintaan konfirmasi dari redaksi Tirto.
Menurut Kepala BPJT Herry Trisaputra Zuna, UEM Group Berhad mengusulkan dua proyek. Bersama PT Jasa Marga, perusahaan itu mengusulkan proyek jalan tol ruas Bandung (Cileunyi)-Cilacap. UEM dan konsorsium lain bentukannya juga mengusulkan jalan tol Yogyakarta-Cilacap-Solo.
Herry memastikan dua usulan ini belum diterima BPJT. Pihak badan usaha masih menggarap studi kelayakannya. Ia memperkirakan prosesnya masih lama.
“Pelengkapan syaratnya masih butuh kelonggaran waktu. Karena lalu lintas kendaraan (di Jawa selatan) belum begitu ramai,” kata Herry.
Jalan tol prakarsa diusulkan badan usaha dengan konsekuensi pemerintah tak menanggung kewajiban penyusunan studi kelayakan. Bila diterima oleh BPJT, proyek akan dilelang. Menurut Perpres 38/2015, badan usaha pengusul berhak atas tambahan nilai 10 persen dalam seleksi lelang. Bila kalah, badan usaha menerima kompensasi pengalihan hak milik atas studi kelayakan dan dokumen pendukung proyek.
Belakangan, menurut Direktur Program Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, Rainier Haryanto, pemerintah memasukkan jalan tol Yogyakarta-Bawen sebagai proyek prioritas. Ia menjelaskan bahwa 200-an program strategis nasional disaring kembali dengan menetapkan sebagiannya ditangani langsung oleh Komite.
Tapi, menurut Rainier, Kemenko Bidang Perekonomian masih menyiapkan revisi atas Permenko Bidang Perekonomian Nomor 12/2015 tentang Percepatan Penyiapan Infrastruktur Prioritas. Revisi itu akan menetapkan sejumlah proyek prioritas terbaru, termasuk tol Yogyakarta-Bawen. Aturan lama hanya memasukkan 11 ruas tol di luar Jawa sebagai proyek infrastruktur prioritas.
“Tol Yogyakarta-Bawen masuk karena memenuhi 21 kriteria yang ditetapkan untuk proyek prioritas,” ujar Rainier, akhir Agustus lalu.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Fahri Salam