tirto.id - Perlawanan terhadap rencana pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta (NYIA) semakin keras. Ini ditandai eskalasi konflik di lapangan yang berujung penangkapan 15 aktivis pada Selasa kemarin, 5 Desember. Mereka baru dikeluarkan pada pukul 10 malam.
Meski ada tindakan represif dari aparat negara, termasuk oleh kepolisian, Kapolres Kulon Progo AKBP Irfan Rifai menyatakan ke-15 aktivis ini "tidak ditangkap," melainkan "diamankan."
Dalihnya: para aktivis yang tergabung di bawah payung Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo "memprovokasi" warga serta menghalang-halangi proses Angkasa Pura I "membebaskan" lahan demi proyek bandara baru di Yogyakarta tersebut. Angkasa Pura I adalah BUMN yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai pelaksana proyek dan operator bandara.
Pola penangkapan terhadap individu-individu berani yang kritis terhadap model pembangunan sepihak, yang memancing konflik lahan, tak cuma terjadi di Kulon Progo, persisnya di Kecamatan Temon, 43 kilometer ke arah barat dari Kota Yogyakarta. Melainkan marak pula di negara-negara Asia Tenggara.
Pada Agustus 2016, Tep Vanny, aktivis lingkungan asal Kamboja, ditangkap aparat. Vanny dikenal sosok lantang atas konflik agraria di Kamboja. Selain membela hak kepemilikan tanah bagi warga Kamboja, Vanny adalah aktivis hak asasi manusia yang mendesak penyelidikan independen atas kematian aktivis Kem Ley pada 10 Juli 2016.
Kasus penangkapan Vanny bermula saat ia melakukan aksi demonstrasi damai di depan rumah Perdana Menteri Hun Sen pada 2013. Bersama aktivis lain, ia menyerukan pembebasan warga yang ditahan, selain memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap korup, pro-pemodal, dan sewenang-wenang mengusir 4.000 keluarga di daerah dekat Danau Boeung Kak.
Bukan mendengar tuntutan warga, pemerintahan Hun Sen justru bersikap sebaliknya. Vanny, yang berada di garda depan protes itu, dituduh telah menyerang penjaga keamanan Perdana Menteri Hun Sen. Meski tidak ada bukti kredibel, ia tetap ditahan.
Vanny juga menghadapi tuduhan “penghinaan publik” serta “ancaman pembunuhan” terhadap Perdana Menteri Hun Sen saat ia berdiri membela warga Boeung Kak pada demonstrasi 'Black Monday' pada 2012.
Saat persidangan, hakim menolak mendengarkan pernyataan dari saksi yang menegaskan Vanny tak sedikit pun melakukan kekerasan. Tap Venny tetap dijatuhi hukuman 30 bulan penjara.
Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch untuk Asia, mengatakan pengadilan telah jadi alat pemerintah Kamboja untuk menargetkan anggota oposisi politik sampai aktivis masyarakat sipil yang kerap mempertanyakan kebijakan-kebijakan negara.
“Kasus Tep Vanny adalah penyalahgunaan wewenang kejaksaan lantaran protes damai yang ia lakukan,” kata Robertson. “Penuntutan dan penangkapan Tep Vanny ditujukan guna membungkam suara kebebasan serta mengintimidasi aktivis Kamboja lain.”
Chak Sopheap dari Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja menyatakan sengketa agraria telah berdampak buruk, salah satunya terhadap para perempuan seperti meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga hingga terganggunya kesehatan jiwa.
Sopheap mengatakan pihak berwenang, termasuk pemerintah, tak jarang secara aktif berkolusi dengan perusahaan dalam pengusiran paksa masyarakat. Pada saat bersamaan, pengadilan kerap kali gagal memberi kemenangan bagi masyarakat yang jadi korban penggusuran lahan di Kamboja.
Sejak 2008, sekitar 2 juta hektare lahan Kamboja dialihkan ke perusahaan industri pertanian. Proses pengalihan fungsi lahan ini tak melibatkan partisipasi masyarakat, dan masyarakat pun tak menerima kompensasi.
Kondisi serupa terjadi di Vietnam. Pada 10 Juni 2016, aktivis Can Thi Theu ditangkap polisi karena dituduh "memprovokasi" warga saat aksi damai di depan Kementerian Lingkungan Hidup Vietnam. Saat itu Thi Theu bersama rekan aktivis lain mengajukan petisi guna mencari solusi atas konflik agraria di Desa Duong Noi. Sedianya pemerintah akan menggusur rumah warga untuk memuluskan pembangunan real estate komersial.
Pengadilan menjatuhkan Thi Theu dengan dua tahun penjara karena dituduh "berperan dalam aksi damai" di depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup. Pada 2014 juga Thi Theu divonis 15 bulan penjara karena memprotes penggusuran.
Rekan pengacaranya mengatakan "polisi-polisi Vietnam berpakaian preman menangkap warga dan petani ... yang seharusnya melindungi hak masyarakat."
Problem di Vietnam adalah kepemilikan lahan dipegang oleh pemerintah, memuluskan jalan bagi kepentingan-kepentingan politik dan bisnis macam pembangunan real estate. Pemerintah juga melarang aksi protes masyarakat. Bila kekeh menentang, ancaman bui siap menunggu.
Global Witness: 2017 adalah Tahun Mengerikan untuk Aktivis
Perjuangan para pembela agraria kerap dibalas penangkapan, pidana, dan kekerasan, bahkan kematian.
Menurut laporan bersamaThe Guardian dan Global Witness pada Oktober 2017, jumlah korban tewas akibat konflik agraria di tengah gempuran industrialisasi dan ekspansi perusahaan mencapai 153 orang di tiga benua. Itu termasuk Ruben Arzaga dari Filipina dan Elías Gamonal Mozombite dari Peru. Keduanya ditembak mati saat mempertahankan hak kedaulatan atas tanah.
Billy Kyte dari Global Witness mengatakan kematian Ruben Arzaga dan Gamonal Mozombite adalah bukti "skala krisis mencapai taraf memprihatinkan" ketika upaya-upaya perlindungan maupun penegakan hak milik lahan menghadapi serbuan pemerintah maupun perusahaan global.
“Statistik menunjukkan tahun 2017 adalah tahun mematikan bagi individu-individu di garis terdepan perlindungan hak atas tanah,” katanya, sebagaimana dilansirThe Guardian.
Global Witness mencatat setiap tahun grafik korban tewas akibat konflik lahan semakin naik. Pada 2016 ada 200-an aktivis hingga pimpinan adat terbunuh. Angka ini sangat mungkin dilewati pada tahun ini menyusul perusahaan-perusahan global maupun pemerintah belum mau berupaya secara riil menyelesaikan kasus-kasus lahan.
“Para investor punya darah di tangan mereka. Seharusnya mereka tidak berinvestasi dalam proyek yang terkait pelanggaran HAM,” ujar Kyte, yang menyebut proyek-proyek seperti pertambangan, agrobisnis, hingga pembangunan-pembangunan dengan dalih "untuk kepentingan umum."
Laporan Global Witness menyebut bahwa Brasil, Kolombia, dan Filipina sebagai "tempat paling berbahaya untuk kasus konflik agraria."
Di Indonesia, menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi payung nonpemerintah tingkat nasional yang berdiri sejak 1994, sengketa agraria mencapai 450-an sepanjang 2016. Mayoritas muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117), infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), dan pertanian (7).
Di sektor infrastruktur, proyek pemerintah kerap jadi pemicu, termasuk dalam proyek Bandara Kulon Progo.
Dewi Kartika, sekretaris jenderal KPA, mengatakan pada awal tahun ini kepada redaksi Tirto bahwa bila melihat megaproyek infrastruktur di bawah Jokowi, konflik agraria berujung kriminalisasi bakal makin marak pada 2017.
“Tahun ini saja sudah buruk. Saya melihat memang Presiden Jokowi tidak punya komitmen," ujarnya.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Fahri Salam