tirto.id - 10 Oktober 2016 malam, ponsel saya berdering. Nomor yang tidak saya kenali. Saya mengangkatnya.
“Halo, Kres. Ini Bapak.” Suara di ujung telepon menyapa.
“Gimana, Pak?”
“Bapak di Jakarta ini.”
“Lho, acara apa?”
“Ada perlu. Besok ketemu di ICW, ya. Siang, jam sebelas.”
Belum sempat saya iyakan, sambungan telepon sudah diputus.
Sesuai permintaan dari Bapak, esok harinya saya menemuinya di kantor Indonesia Corruption Watch. Tepat pukul sebelas saya tiba di sana, di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan. Bapak sudah menunggu bersama empat temannya, para petani dari Tulang Bawang, Lampung.
Mereka datang ke ICW untuk menanyakan perkembangan dugaan kasus korupsi di kabupaten tempat Bapak saya bertugas, sekira 4 jam perjalanan darat dari Bandar Lampung. Kasus ini melibatkan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL), anak perusahaan Bumi Waras, salah satu perusahaan tua di Lampung yang bergerak dalam industri sawit, CPO dan turunananya, biodiesel, beras, tepung tapioka, angkutan laut, tambang marmer, batubara, air mineral, hingga industri gula. Dua minggu sebelumnya mereka sudah mendatangi ICW untuk menyerahkan berkas-berkas terkait dugaan korupsi.
Usai berbincang sebentar, Bapak minta diantar ke Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Menumpang mobil, sepanjang jalan Bapak bercerita soal kasus sengketa tanah warga di tujuh desa di kabupaten itu.
Mulanya, cerita Bapak, ketika warga dari pelbagai tempat di Lampung mengikuti program transmigrasi swakarsa mandiri pada 1986, bagian dari agenda pemijahan desa. Mereka ditempatkan di lahan seluas 10.000 hektare. Dalam perjalanannya lahan itu diambil alih oleh PT BNIL secara paksa lewat sokongan aparat keamanan.
Alasan perusahaan, areal yang ditempati warga transmigran termasuk dalam kawasan izin pengusahaan hutan PT Bangun Gaya Modern. Pada 1988, lahan itu diserahkan oleh gubernur Lampung untuk digarap dalam bisnis komoditas hutan produksi ke tiga perusahaan termasuk PT BNIL. Sepanjang 1990 hingga 1993, perusahaan, preman, tentara, dan kaum pejabat daerah berupaya paksa menggusur lahan hunian dan sumber ekonomi warga. Muslihat dipakai, salah satunya sejumlah warga dipaksa meneken blangko kosong lalu diberi imbalan Rp100 ribu. Belakangan blangko itu diklaim sebagai perjanjian jual beli tanah.
“Sejak itu warga sudah melawan. Dari 1986 sampai sekarang, sudah ada tujuh orang meninggal karena sengketa tanah ini,” ujar Bapak.
Perlawanan masyarakat terdampak sengketa lahan kembali dilakukan pada 2015 ketika izin alih fungsi lahan PT BNIL dibekukan oleh Bupati Tulang Bawang, Hanan A. Rozak. Lahan yang direbut dari warga semula ditanami sawit akan diganti perkebunan tebu. Namun, lantaran masalah prosedur lingkungan, bupati mencabut izin tersebut.
“Nah, akhir September kemarin sampai 1 Oktober kemarin, warga menduduki lahan. Ada 2.000-an warga yang menduduki lahan, menuntut lahan dikembalikan ke warga karena melihat ada kesempatan,” ujar Bapak.
Pada 1 Oktober sore, warga didatangi paramiliter yang menyebut diri Pengamanan Swakarsa. Menurut Bapak, warga terpancing emosi. Bentrok pun pecah. Puluhan kendaraan bermotor dibakar massa dan sebuah mobil dirusak.
“Setelah itu warga ditangkap sama polisi. Bapak enggak di sana pas kerusuhan. Kalau di sana pasti sudah saya cegah. Karena ini jelas trik untuk melemahkan gerakan warga,” tutur Bapak.
Konflik Agraria di Indonesia
Sengketa lahan seperti cerita Bapak bukan satu-satunya di Indonesia. Problem agraria alias pertanahan di negeri ini amat pelik. Bukan cuma perselisihan antara warga dan pengusaha seperti yang dialami warga di Tulang Bawang, tak jarang warga juga harus menghadapi negara, yang hak hidupnya dirampas atas nama “kepentingan umum”.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, organisasi payung non-pemerintah tingkat nasional yang berdiri sejak 1994, sengketa agraria di Indonesia mencapai 450 konflik sepanjang 2016. Mayoritas konflik muncul dari sektor perkebunan (163), properti (117) infrastruktur (100), kehutanan (25), tambang (21), migas (7), pesisir-kelautan (10), dan pertanian (7).
Konflik di sektor perkebunan selain di Tulang Bawang juga terjadi di Langkat, Sumatera Utara. Pada awal 2016, warga Desa Mekar Jaya digusur oleh PT Langkat Nusantara Kepong, perusahaan sawit dan karet milik negara. Bentrokan terjadi saat alat berat perusahaan merusak lahan pertanian warga.
Di sektor infrastruktur, proyek pemerintah kerap jadi pemicu. Yang terbaru, misalnya, terjadi di Sukamulya, Jawa Barat. Pada 17 November lalu lahan pertanian warga di sana dirampas untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Warga ditembaki gas air mata oleh polisi. Tujuh petani ditangkap. Belasan luka-luka. Rencana serupa, dan penolakan yang sama oleh warga, masih bergolak di Kulonprogo, Yogyakarta.
Di sektor pertambangan, upaya eksploitasi karst oleh PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah, juga berbuntut panjang. Warga yang menolak penambangan berseteru dengan pemerintah. Warga mengajukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung untuk mengevaluasi izin penambangan yang diteken Gubernur Ganjar Pranowo.
Pada Oktober 2016, MA memenangkan warga dan memerintahkan gubernur mencabut izin. Meski begitu, masalah tak seketika rampung. Pemerintah masih ngotot penambangan terus jalan.
Di kawasan pesisir ada konflik berujung kematian yang menimpa Salim Kancil, petani Desa Selok Awar-Awar, Lumajang, Jawa Timur. Dia menolak penambangan pasir besi pada 2015. Sampai sekarang konflik di sana belum tuntas.
Kasus terbaru di pesisir pantai Parangkusumo, Yogyakarta. Belasan rumah warga di atas gumuk pasir dirobohkan pada 14 Desember 2016 oleh Satuan Polisi Pamong Praja Bantul serta aparat gabungan polisi dan tentara.
Kriminalisasi Petani dan Aktivis
Petani menjadi korban dua kali. Setelah kehilangan ruang hidupnya, sebagian di antara mereka dikriminalisasi. Upaya mempertahankan hak hidup para petani berbuntut pidana. Dari catatan KPA tahun 2016, ada 134 petani dan aktivis yang dikriminalisasi. Mereka ditangkap, ditahan, dan dijadikan tersangka.
Di Sukamulya, Majalengka, kepolisian menuding tiga petani sebagai “provokator yang menyebabkan bentrok”. Salah satunya Kasiman; dia babak belur oleh pasukan polisi saat ditangkap.
Slamet Daroini, petani sengon di Blitar, juga bernasib serupa. Upaya reklaim bersama petani lain justru berbuah pidana. Slamet ditetapkan tersangka bersama 12 petani lain pada Oktober 2016.
Dewi Kartika, sekretaris jendral KPA, menilai kriminalisasi terhadap para petani menunjukkan bahwa komitmen pemerintahan Joko Widodo dalam penyelesaian konflik agraria masih jauh dari yang diharapkan. Menurutnya, melihat megaproyek infrastruktur di bawah Jokowi, konflik agraria berujung kriminalisasi bakal makin marak pada 2017.
“Tahun ini saja sudah buruk. Saya melihat memang Presiden Jokowi tidak punya komitmen. Catatan KPA terakhir, kriminalisasi itu terjadi pada kasus di Lampung,” kata Dewi kepada saya.
Kasus kriminalisasi di Lampung itu adalah pemidanaan yang kini dialami Bapak saya dan enam petani di Tulang Bawang.
Setelah saya mengantar Bapak ke PGI, dia minta diantar ke kantor Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Malam harinya, lima belas polisi mendatangi sekretariat Konfederasi. Bapak ditangkap. Sehari setelahnya bapak ditetapkan tersangka.
Bapak saya adalah pendeta Protestan di Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan. Pelayanannya mencakup wilayah sengketa tanah antara penduduk di tujuh desa dan PT Bangun Nusa Indah Lampung itu. Bapak saya dituding “otak kerusuhan” pada 2 Oktober lalu. Ganjaran bagi bapak yang membela petani memperjuangkan haknya adalah mendekam di penjara.
Kini Bapak di dalam sel dan menanti hakim menyebut nama Sugianto, nama Bapak saya, sebagai terdakwa. Ia dituntut tiga tahun penjara dan menghadapi vonis beberapa pekan ke depan.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam