tirto.id - Seratusan warga berkerumun di depan Pengadilan Negeri Menggala, Tulang Bawang, Kamis siang, 23 Februari. Mereka menghadiri sidang lima petani dan aktivis yang dikriminalisasi dalam sengketa lahan seluas 10.000 hektare dengan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL), anak perusahan Bumi Waras, salah satu perusahaan indutri perkebunan tertua di Lampung. Sengketa ini sudah berlangsung sejak 1986. Warga yang merupakan transmigran di sana diusir lantaran lahan tersebut diserahkan kepada PT BNIL oleh pemerintah daerah Lampung.
Sejak itu petani yang kehilangan tanah terus berupaya merebut kembali tanah mereka. Sampai akhirnya pada 1 Oktober 2016 aksi warga berujung bentrok dengan Pam Swakarsa PT BNIL. Warga dituding pemicu dan pelaku kekerasan. Beberapa di antara warga dan aktivis dikriminalisasi dan ditangkap polisi dengan tuduhan "provokator."
Salah satunya Sugianto, pendeta Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, yang mendampingi warga. Sugianto ditangkap karena dituduh sebagai "otak kerusuhan."
“Saat kejadian itu, saya datang ke sana untuk menenangkan warga. Mereka sudah bawa senjata tajam semua. Saya bilang, 'Taruh semua senjata tajam!' Kalau tidak saya cegah, bisa ngeri,” kata Sugianto membantah tudingan itu.
Sugianto mengatakan warga sudah melakukan bermacam upaya untuk mendapatkan tanahnya kembali. Mereka sudah bertemu dengan Bupati Tulang Bawang hingga mengadu ke DPR RI. Namun belum juga membuahkan hasil. Sebaliknya, warga justru dikriminalisasi.
Bagaimana mulanya sengketa warga tujuh desa di Tulang Bawang dengan PT BNIL? Berikut wawancara reporter Tirto dengan Sugianto melalui telepon sebelum sidang pledoi di Pengadilan Negeri Menggala, Kamis, 23 Februari 2017.
Bagaimana mulanya sengketa lahan antara warga dan PT BNIL?
Ada dua tahap kasus tanah itu. Dimulai tahun 1986 dan 1988 ketika masyarakat yang bermukim di areal 10 ribu hektare, itu ada 9 desa, ada 2 desa tua Indraloka dan Bujuk Agung, mau diusir. Tahun itu Gubernur Lampung menetapkan 10 ribu hektare areal cadangan untuk tiga anak perusahaan Bumi Waras atau Sungai Budi Group. Lalu pada 1991, penduduk yang ada di kawasan itu diusir oleh PT BNIL menggunakan aparat tentara.
Awalnya tanah itu tanah adat tapi oleh negara diakui tanah negara. Ada cerita, pimpinan adat di Marga Tegamoan pernah menyerahkan tanah kepada Departemen Transmigrasi, sebagai kawasan transmigrasi, lalu jadilah unit 1, 2, dan seterusnya. Kemudian masih ada sisa tanah. Sisa itu kemudian digunakan untuk pemekaran desa. Lalu mereka mengundang masyarakat dari luar untuk datang dalam rangka pemekaran desa.
Tanah itu yang kemudian diserahkan ke tiga perusahaan. Karena pemerintah sudah menyerahkan kepada tiga perusahaan, kemudian warga diusir. Tapi pengusiran tidak berhasil. Waktu itu dilakukan pemindahan dikooridinasi oleh departemen transmigrasi. Karena gagal, kemudian dipaksa keluar dengan cara melepaskan gajah liar dan menjadikan kawasan itu sebagai tempat latihan perang.
Gajah liar masuk perkampungan. Ada satu warga namanya Pak Kliwon kemudian meninggal karena diinjak-injak gajah. Masyarakat tetap ngotot tidak mau diusir, mereka akhirnya disiksa, disetrum. Warga ada yang dinaikkan truk, rencananya dipindah ke dua desa tua, Bujuk Agung dan Indraloka. Karena desa itu tidak cukup lagi, akhirnya cuma diturunkan di sembarang tempat. Ada yang kebagian dan ada yang tidak kebagian tempat pemindahan.
Saat itu masyarakat terus bergolak. Ada Pak Kirman di Bujuk Agung yang dulu aktif. Warga akhirnya berkoordinasi kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah. Disepakati bahwa masyarakat yang dulu tinggal di 10.000 hektare itu diselesaikan dengan cara ikut program transmigrasi swakarsa.
Masing-masing warga diberi lahan 2 hektare dengan rincian ¼ pekarangan, ¾ untuk tanaman pangan, dan 1 hektar harus disertakan sebagai lahan plasma milik BNIL. Kemudian, berdasarkan keputusan Mendagri, Gubernur Lampung membuat ketetapan bahwa PT BNIL diberi lahan inti seluas 5.100 hektare dan lahan plasma 1.500 hektar.
Beberapa bulan setelah itu, masyarakat yang mendapat lahan 2 hektare itu dipaksa untuk menandatangani blangko kosong. Yang tidak mau dipukuli, termasuk Pak Muhadik. Setelah 1998, baru diketahui blangko itu ternyata surat penyerahan ganti rugi tanah seluas 1 hektare. Mereka cuma dapat ganti rugi Rp100 ribu. Ini tahap kedua kehilangan tanahnya.
Kalau sekarang kasus sengketanya seperti apa?
Tahun 2015, PT BNIL mau alih fungsi lahan. Bupati Tulang Bawang minta PT BNIL menjalankan AMDAL yang sudah ada, tapi ternyata tidak juga dilakukan. Akhirnya bupati membekukan izin alih fungsi lahan itu. Kemudian PT BNIL tidak bisa beroperasi.
Melihat itu, warga melihat ini adalah peluang untuk kembali mengambil hak mereka yang dirampas secara paksa oleh PT BNIL. Maka sejak 2015 warga mulai menggalang kekuatan untuk melakukan aksi. Tahun 2016 kemarin puncak perjuangan kami.
Sekarang berujung pada kriminalisasi maksudnya?
Iya. Saya ditangkap di Jakarta bulan Oktober kemarin. Kami sudah menduga bakal ada kriminalisasi seperti ini. Kami, saya dan warga, dua kali ke Jakarta untuk mengadukan kasus ini ke Komnas HAM dan DPR RI. Kami sudah bertemu dengan Komisi II DPR RI, waktu itu yang menemui Budiman Sudjatmiko dari PDI Perjuangan dan Ammy Amalia Fatma Surya dari PAN. Kami sudah cerita semua masalahnya.
Kedua kali kami ke Jakarta untuk mengadukan kasus ini ke ICW karena kami menduga ada praktik korupsi dalam penetapan lahan milik PT BNIL itu. Kami serahkan berkas ke ICW untuk dipelajari. Setelah itu kami ke KPRI. Di sana saya dijemput 15 orang polisi dari Lampung.
Anda dikriminalisasi dengan cara seperti apa?
1 Oktober 2016 ada aksi besar-besaran di sini. Warga, sekitar 2.000-an orang lebih, menduduki lahan. Tadinya dijaga polisi, tapi kemudian mendadak polisi menghilang. Lalu ada provokasi dari Pam Swakarsa. Warga terpancing lalu terjadi bentrok. Ada belasan warga yang ditangkap, beberapa sudah dibebaskan. Sekarang yang diproses ini saya dan beberapa teman.
Saat kejadian itu, saya datang ke sana untuk menenangkan warga. Mereka sudah bawa senjata tajam semua. Saya bilang, "Taruh semua senjata tajam!” Kalau tidak saya cegah, bisa ngeri. Tapi memang tidak bisa dikendalikan semuanya karena diprovokasi Pam Swakarsa.
Lalu apa yang dituduhkan kepada Anda dengan pasal 160 KUHP tentang penghasutan?
Ini aneh. Saya disebut membuat brosur mengajak warga untuk melakukan aksi anarkis. Benar saya membuat brosur, tapi tidak disebarkan. Isinya pun bukan ajakan untuk aksi anarkis, tapi isinya tentang organisasi. Polisi saja menemukan brosur itu di dalam kardus di sekretariat. Tidak disebarkan.
Saya dituntut 3 tahun, empat teman lainnya juga sama. Semuanya 3 tahun tuntutannya. Tapi tuduhannya beda-beda. Ini juga aneh. Dalam persidangan tidak ada saksi yang melihat langsung, jaksa sepertinya cuma berpegang pada BAP polisi. Sidang hari ini kuasa hukum sudah menyiapkan pledoi. Bahwa semua tuntutan JPU itu tidak ada fakta dalam persidangan.
Selama ini siapa saja yang terlibat melakukan advokasi?
Banyak yang terlibat. Ada dari Gereja, dari PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), ada KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), KPRI (Konfederasi Perjuangan Rakyat Indonesia), dari GKSBS (Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan), ada LBH Lampung dan beberapa kawan-kawan aktivis juga turut mengadvokasi.
Apa harapan Anda terkait penyelesaian kasus ini?
Harapan saya pemerintah pusat segera bertindak terkait kasus sengketa lahan itu. Sudah jelas tanah itu milik warga. Konflik agraria seperti ini tidak hanya terjadi di sini, pemerintah seharusnya punya fokus yang lebih terhadap kasus agraria yang melibatkan petani. Presiden Jokowi harus membuktikan janjinya kalau memang berpihak kepada rakyat kecil.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam