tirto.id - Kamis siang, 16 Februari lalu, mobil tahanan memasuki Pengadilan Negeri Menggala, Tulang Bawang. Sesampai di dalam sel, di belakang ruang sidang, borgol para tahanan dilepas. Para ibu, sebagian sanak keluarga, yang sedari tadi menunggu segera mendatangi mereka, menyodorkan makanan dan minuman. Seorang pria sepuh dengan kemeja hijau lusuh mendekati jeruji besi sembari menitikkan air mata.
Di antara tahanan itu adalah Rajiman, seorang petani dan guru ngaji dari kalangan nahdliyin, dan Sugianto, seorang pendeta. Keduanya dipidanakan sesudah peristiwa 1 Oktober 2016 karena dianggap terlibat dalam "kerusuhan" antara warga dari tujuh desa transmigran dan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL) yang melibatkan paramiliter—menamakan diri Pengamanan (Pam) Swakarsa.
Aksi provokasi antara Pam Swakarsa dan warga yang tergabung dalam Serikat Tani Korban Gusuran BNIL—yang sama-sama saling berjaga diri seiring tensi konflik agraria memanas—menyulut pembakaran tenda dan 15 sepeda motor dan 1 unit traktor, serta merusak 1 mobil logistik perusahaan. Saat kejadian, hanya ada 5 personel tentara dan seorang polisi, yang berusaha mencegah tetapi gagal.
Esoknya, sejak pukul 8 pagi, warga mendengar kabar bakal ada serangan balasan dari pihak Pam Swakarsa. Mendengar itu, warga memukul kentungan dan mengimbau lewat corong masjid. Sekitar pukul 1 siang, pasukan Brigade Mobil lengkap dengan tameng, water canon, gas air mata, senapan laras panjang, dan kawat berduri, mendatangi lokasi warga, yang menduduki lahan sengketa. Mereka mengusir warga. Sekitar 4.000-an warga terdesak dan berkumpul di kebun karet, berbatasan dengan lokasi kebun PT BNIL.
Warga lantas memblokade Jalan Lintas Timur dengan cara membakar ban bekas. Sebuah truk tronton diparkir melintang, juga bus Kramat Jati. Pasukan Brimob lantas menembakkan gas air mata dan peluru, mengejar, menyisir, dan menangkap warga. Pengejaran dilakukan ke rumah-rumah penduduk. Warga petani bersembunyi di ladang-ladang.
Esoknya, polisi melakukan pencarian terhadap para pimpinan dan anggota Serikat Tani Korban Gusuran BNIL. Hasanudin, Juanda, Rajiman, Sujarno, Sukirji, dan Sukirman adalah nama-nama yang ditangkap. Pendeta Sugianto sendiri saat kejadian berusaha mencegah aksi kekerasan warga, dengan meminta warga melepaskan senjata tajam.
Namun, pada 11 Oktober 2016, saat mendatangi kantor Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia di Jakarta Selatan, Sugianto ditangkap oleh 15 polisi. Ia ke Jakarta untuk melaporkan kasus yang menimpa para petani yang ditahan itu, termasuk pula menanyakan perkembangan dugaan kasus korupsi yang melibatkan PT BNIL. Polisi menuduh Sugianto sebagai "otak kerusuhan" dengan jerat pasal penghasutan.
Saat di persidangan, sehari setelah Pilkada serentak 2017 itu, rupanya sidang yang berisi agenda pemeriksaan saksi tidak jadi digelar. Alasan hakim, Jaksa Penuntut Umum PN Menggala tak mampu menghadirkan para saksi dari anggota kepolisian, yang masih disibukkan dengan pengamanan Pilkada. Para terdakwa dari petani Tulang Bawang itu didampingi tiga pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Lampung.
Konflik Sejak 1986
Sengketa agraria antara tujuh desa transmigran di kawasan 10.000 hektare dan PT BNIL bermula pada 1986 ketika gubernur Lampung saat itu mengklaim bahwa lahan warga adalah areal konsesi PT Bangun Gaya Modern. Dengan alasan itu, areal tersebut diberikan kepada PT BNIL (3.400 ha), PT Rimba Lampung Abadi (4.000 ha), dan PT Trimulya Adi Kencana (3.000 ha). Tetapi, hingga 1990, ketiga perusahaan itu tidak melakukan aktivitas apa pun.
Kawasan 10.000 ha itu pun mulai padat penduduk. Ia menjadi permukiman dan bahkan dianggap sebagai proyek percontohan transmigrasi swakarsa mandiri yang sukses. Sudah ada pasar maupun sekolah.
Tetapi, pada 28 Juli 1990, PT BNIL dan Pemda Kabupaten Lampung Utara (sebelum pemekaran menjadi Tulang Bawang) menugaskan Departemen Transmigrasi melakukan pengusiran terhadap pemukim di 7 desa. Aksi ini gagal. Buntutnya, pada 1991, aparat dari badan koordinasi stabilitas nasional daerah dan Komando resort militer 043/ Garuda Hitam mengusir warga. Dalih militer, lahan itu akan dipakai sebagai lokasi latihan perang. Tentara juga memakai gajah untuk mengusir warga.
“Penggiringan menggunakan gajah-gajah yang sudah jinak, didatangkan dari Taman Nasional Way Kambas. Gajah-gajah yang masih liar—yang digiring dengan gajah jinak dengan letusan senjata api—merangsek ke perkampungan, merusak rumah dan tanaman,” tulis monograf Serikat Tani. “Suara senapan dan gajah yang mengamuk benar-benar menjadi teror bagi masyarakat.”
Tetapi perlawanan warga tak surut. Untuk mencari jalan tengah, akhirnya diatur kesepakatan paksa dengan menyertakan warga korban gusuran PT BNIL sebagai petani plasma. Rinciannya: PT BNIL mengelola lahan inti seluas 5.100 ha dan warga menangani lahan plasma seluas 1.500 ha. Belakangan, sepanjang awal tahun 1993, dengan melibatkan Korem Garuda Hitam, warga dipaksa untuk teken blanko da menerima Rp100 ribu. Warga yang menolak dikenai siksaan.
Warga baru menyadari sesudahnya bila blangko tersebut adalah Berita Acara Pelepasan Lahan dan Pemberian Ganti Rugi atas jatah plasma, masing-masing seluas 1 ha.
Dari sanalah PT BNIL akhirnya menguasai seluruh lahan warga di kawasan 10 ribu hektare.
Ketika izin alih fungsi lahan PT BNIL dibekukan oleh Bupati Tulang Bawang, Hanan A. Rozak, pada 2015, warga yang selama ini menuntut hak lahannya menemukan keberanian untuk menduduki lahan mereka. Hingga akhirnya berujung pada aksi kekerasan pada 1 Oktober tahun lalu dan pemidanaan terhadap empat petani serta seorang pendeta. Keempat petani dan Sugianto, pada pertengahan Februari lalu, dituntut tiga tahun penjara.
"Dalam persidangan tidak ada saksi yang melihat langsung. Jaksa sepertinya cuma berpegang pada BAP polisi," ujar Sugianto dalam wawancara via telepon, 23 Februari lalu.
Konflik Agraria di Lampung
PT BNIL adalah anak perusahaan Bumi Waras atau dikenal Sungai Budi Group. Perusahaan induknya memiliki beragam bisnis dari kebun kelapa sawit, CPO dan turunannya, biodiesel, beras, tepung tapioka, angkutan laut, tambang marmer, batubara, air mineral, hingga industri gula. Salah satu produk dari Sungai Budi Group adalah tepung 'Rose Brand'.
Tulang Bawang, juga kabupaten tetangganya Mesuji yang belakangan dimekarkan, menjadi salah satu titik panas dari sengketa agraria di Lampung. Ia juga melibatkan Bumi Waras, lewat anak perusahaan PT Silva, yang memproduksi perkebunan singkong terbesar di Indonesia. Konflik anak perusahaan Bumi Waras di Mesuji terjadi di Register 45 pada 2012. Salah satu poin dari kesimpulan tim pencari fakta dari konflik tersebut menyebutkan bahwa Bumi Waras bersikap arogan.
"Masalah utama antara penduduk lokal dan perusahaan adalah warga merasa perusahaan arogan dan selalu mendapatkan keuntungan lewat dukungan dari pemerintah. Warga merasa hukum bermurah hati pada perusahaan dan mengabaikan kepentingan petani adat dan petani lainnya," tulis Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta, Kasus Mesuji, di halaman 39.
Persamaan lain antara kasus di Tulang Bawang dan Mesuji adalah penggunaan alat kekerasan negara dan paramiliter yang dibiayai oleh perusahaan.
Pada Februari 2006, misalnya, operasi gabungan yang dibiayai oleh perusahaan dan melibatkan polisi, tentara, serta satpam PT Silva membakar 550 gubuk, menangkap pemimpin petani, dan mengusir sekira 300 keluarga.
PT BNIL, dalam mengusir warga di kawasan 10 ribu hektare, juga melibatkan tentara dari Korem 043/ Garuda Hitam, mengangkut penduduk dari areal tersebut ke permukiman lain, untuk melapangkan jalan bagi perusahaan melakukan aktivitas industri perkebunan.
Korem 043, dalam sejarah kekerasan negara di Indonesia, pernah melakukan apa yang disebut "Peristiwa Talangsari" pada 7 Februari 1989. Komandan Korem (Danrem) Garuda Hitam saat itu adalah Kolonel Hendropriyono, yang bertugas di sana pada 1987-1991. Peristiwa Talangsari menyebabkan 246 jemaah Warsidi hingga kini dinyatakan hilang, juga perkampungan dibakar dan ditutup untuk umum. Organisasi pemantau HAM KontraS merinci bagaimana keterlibatan Hendropriyono, mantan Kepala BIN dan kini jadi orang penting dalam pemerintahan Jokowi, dalam kasus Talangsari.
Pada 1991, tahun terakhir Hendropriyono bertugas sebagai Danrem Garuda Hitam, PT BNIL lewat Korem tersebut melakukan pembersihan lahan di 7 desa transmigran, yang dalam catatan warga saat itu berjumlah 2.839 keluarga. Konflik ini bahkan menelan korban jiwa saat pengusiran tersebut.
"Masyarakat tetap ngotot tidak mau diusir, mereka akhirnya disiksa, disetrum. Warga ada yang dinaikkan truk, rencananya dipindah ke dua desa tua. Karena desa itu tidak cukup lagi, akhirnya cuma diturunkan di sembarang tempat. Ada yang kebagian, dan ada yang tidak kebagian tempat pemindahan," ujar Sugianto.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam