tirto.id - Malam itu, Rabu (9/4/2025) sekitar pukul 23.40 WIB, Kampung Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung masih sunyi. Sebagian besar warga terlelap. Tapi ketenangan itu pecah ketika suara kayu terbakar mulai terdengar—pelan, lalu retak, kemudian mengerang. Bau asap menyusup pelan ke sela-sela dinding rumah, menempel di tirai, merayap ke lubang-lubang ventilasi.
Beberapa warga terbangun, awalnya hanya oleh rasa panas yang aneh atau bau yang tak biasa. Ketika mereka membuka pintu rumah, langit malam sudah bernuansa merah, dan asap mulai membumbung dari arah deretan kios kayu yang berada di tepi Jalan Terusan Pasir Koja. Kebakaran itu melahap 45 kios kayu dan 3 rumah warga.
Kebakaran terjadi menjelang sidang pertama yang akan diadakan esok paginya. Ketika pukul 10.00 WIB warga akan menghadapi sidang pertama sengketa lahan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung dengan tergugat Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar. Gugatan warga tersebut dilakukan atas pemasangan seng di lahan warga.
“Setengah dua belas malam dibakar,” ucap salah satu warga, Ratna Nababan (55), kepada kontributor Tirto di Bandung.
Tak ada saksi mata. Tak ada yang sempat merekam wajah pelaku. Yang tersisa hanya asap dan puing—dan rasa gentar yang tak kunjung reda. “Sebelumnya juga sudah ada kebakaran kecil-kecilan. Bahkan polisi juga enggak berpihak sama kami,” kata Ratna.
Ratna tinggal di Sukahaji sejak 30 tahun lalu. Ia membeli rumahnya dari pemilik sebelumnya, bukan sekadar menggarap tanah kosong. Namun sejak beberapa tahun terakhir, tanah yang mereka tempati diklaim oleh pihak yang mengatasnamakan pemilik sah, dan konflik pun dimulai.
Menurut dia, pihak perusahaan hanya memberikan “uang kerohiman” sebesar lima juta rupiah per kepala keluarga. Tawaran itu datang dengan ancaman.
Akan tetapi, Ratna dan beberapa warga lain memilih bertahan. Bukan karena keras kepala. Tapi karena tak ingin disingkirkan tanpa penghargaan atas hidup yang sudah dibangun selama puluhan tahun.
Kehidupan Ratna terganggu. Kegiatan rumah tangga terhenti. Banyak warga—terutama perempuan dan anak-anak—menjadi lebih sering diam di rumah. Bukan karena tenang, tapi karena takut. Isu sabotase api tersebar dari mulut ke mulut. Ketika api membesar, sebagian warga memilih tidak keluar rumah, menjaga barang-barang mereka yang tersisa.
Bukan hanya ketakutan, Ratna juga menghadapi pelecehan rasial dari orang-orang yang ia sebut sebagai preman suruhan. “Ada yang bilang ke saya, ‘Ini bukan tanah Batak. Ini tanah Sunda. Ngapain kamu diam di tanah Sunda?’” kisahnya, suaranya pecah di ujung kalimat.
Ia mengaku sudah melaporkan kejadian itu ke polisi. Tapi, seperti sebelumnya, ia merasa dibiarkan. Tak ada respons. Tak ada perlindungan.
Ratna bukan satu-satunya. Puluhan keluarga lain hidup dalam ketidakpastian yang sama. Menunggu jawaban dari aparat, menunggu hasil sidang yang berjalan lambat, menunggu pengakuan bahwa tempat yang mereka huni lebih dari sekadar bidang tanah di atas peta.
Ia juga mempertanyakan sikap pemilik lahan yang tak pernah muncul langsung ke lokasi. “Kenapa enggak datang sendiri? Kenapa harus pakai pengacara, pakai preman? Ketemu langsung juga bisa secara kekeluargaan,” kata dia.
Hari-hari Ratna kini dijalani dengan siaga. Kios tempatnya berdagang hangus. Barang-barang hilang. Kehidupan yang ia bangun selama 30 tahun dipreteli perlahan—tanpa kepastian, tanpa suara yang benar-benar mendengarnya.
Di Sukahaji, legalitas dan kemanusiaan sedang beradu kepala. Di antara pagar, abu, dan gugatan hukum, hidup warga seperti Ratna tergantung di udara: tanpa perlindungan, tanpa tempat berpijak yang benar-benar pasti.
Warga Tetap Bertahan di Tengah Desakan Pengosongan Lahan
Ronal (46), Ketua Forum Sukahaji Melawan, sudah berhari-hari tak tidur penuh. Ia menjadi orang yang dihubungi setiap kali ada intimidasi, kebakaran, hingga pendataan warga yang mendadak datang dari luar.
“Kalau kami warga, alasannya satu: kami bertahan karena kami punya hak atas ruang hidup,” kata Ronal. “Manusia, kucing, anjing pun butuh ruang hidup. Apalagi kami,” kata dia.
Ia mengatakan, konflik bermula sejak 2009, ketika nama Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar mulai muncul sebagai pihak yang mengeklaim kepemilikan atas lahan seluas 7,5 hektare di Sukahaji. Mereka, melalui kuasa hukumnya, mengaku memegang sertifikat hak milik (SHM). Tapi bagi warga, keberadaan mereka baru muncul setelah kampung itu tumbuh puluhan tahun lamanya.
Menurut Ronal, warga pertama kali mulai menempati dan mengelola lahan tersebut sejak pertengahan 1990-an, sebagian besar dengan cara membeli rumah dari pemilik sebelumnya. Awalnya, lahan hanya digunakan untuk berkebun dan menanam sayuran. Namun pada awal 2000-an, seiring bertambahnya jumlah keluarga, kawasan itu berkembang menjadi permukiman padat.
“Banyak dari kami sudah tinggal lebih dari 25 tahun. Ada yang 30 tahun. Itu artinya, kami punya dasar untuk tetap tinggal di sini,” ujar Ronal.
Ia mengacu pada ketentuan agraria yang menyebut hak atas tanah bisa dipertimbangkan bagi warga yang menempati dan mengelola lahan selama dua dekade lebih.
Tahun 2010, pihak yang mengeklaim kepemilikan muncul menawarkan uang Rp750 ribu kepada warga. Sebagian kecil warga menerima, sebagian besar menolak karena nilai itu bahkan tak cukup untuk mengangkut barang, apalagi untuk menyewa tempat tinggal baru. Konflik pun senyap beberapa tahun, sebelum muncul kembali pada 2013, dan meruncing pada 2018—ketika kebakaran besar melanda kampung dan membuat sekitar 80 rumah hangus.
Warga mengungsi selama dua minggu. Tak lama kemudian, muncul orang-orang yang mengaku sebagai pengacara pemilik tanah dan membawa dokumen dari BPN. Tapi saat dicecar warga soal keabsahan dokumen tersebut, jawaban tidak kunjung jelas.
Kebuntuan kembali pecah pada awal 2025. Pemagaran dilakukan, kios warga diratakan, dan intimidasi semakin sering dirasakan. Forum warga pun menggugat ke Pengadilan Negeri Bandung dengan nomor perkara 119/Pdt.G/2025/PN Bdg atas dugaan perbuatan melawan hukum. Sidang pertama rencana digelar pada Kamis, 10 April 2025.
“Kalau tanggal 10 tidak digelar, kami akan datang berbondong-bondong ke pengadilan,” tegas Ronal.
Ia mengatakan, warga tak muluk-muluk: mereka hanya ingin keadilan. Tapi dalam beberapa bulan terakhir, tekanan datang dari berbagai arah. Ia menyebut adanya intimidasi oleh aparat keamanan, petugas berpakaian sipil, hingga ormas. Beberapa warga dipaksa menandatangani surat pengosongan dan menerima uang kompensasi Rp5 juta, bahkan sebagian hanya menerima setengahnya.
Menurut catatannya, dari sekitar 1.300 kepala keluarga yang tinggal di kawasan itu, hanya sekitar 5% yang memiliki sertifikat atau bukti legal atas kepemilikan lahan. Sisanya, kata Ronal, adalah warga garapan atau pembeli rumah secara informal, tapi sudah menempati lebih dari 20 tahun. Menurutnya, itu cukup menjadi dasar agar negara tidak lepas tangan.
“Kami taat hukum. Tapi kalau negara diam, kami juga akan terus melawan,” tegasnya. Ia berharap pengadilan tidak hanya menilai perkara dari sertifikat semata, tapi dari sejarah dan kemanusiaan yang telah hidup puluhan tahun di tanah itu.
Freddy, bersama tim kuasa hukum Warga Sukahaji lainnya, hadir untuk mendampingi warga dalam gugatan terhadap dua nama yang kini mengeklaim kepemilikan tanah seluas 7,5 hektare itu, Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar. Inti gugatannya: tindakan sepihak dalam melakukan pemagaran dan pengosongan lahan tanpa putusan pengadilan.
Sidang perdana yang dilaksanakan Kamis (10/4/2025) di Pengadilan Negeri Bandung itu harus ditunda. Penyebabnya, dua pihak turut tergugat dari unsur pemerintah, yakni Kelurahan Sukahaji dan Kecamatan Babakan Ciparay, tidak hadir dalam sidang.
“Mereka bertindak seenaknya. Pasang seng, klaim sepihak, lalu mendatangkan ormas dan preman,” ujar Freddy.
Freddy menyebut bahwa pengosongan yang dilakukan bukan hanya tidak berdasar hukum, tetapi juga dilakukan dengan cara yang menciptakan rasa takut. Ada laporan warga yang dipaksa menandatangani surat pengosongan, sebagian bahkan hanya menerima kompensasi setengah dari yang dijanjikan.
“Gugatan ini bukan akhir,” tambah Freddy. “Kami juga sedang menyiapkan gugatan ke PTUN, laporan pidana ke Polda Jabar, dan gugatan perdata lanjutan. Semua langkah hukum akan kami tempuh.”
Ia menjelaskan, kehadiran warga di kampung Sukahaji bukanlah perkara baru. Beberapa telah tinggal di sana selama lebih dari 30 tahun, bahkan dua hingga tiga generasi. Namun, tiba-tiba muncul pihak yang mengeklaim bahwa seluruh kawasan itu adalah milik mereka, lalu meminta warga pergi.
"Apa mereka semua bisa disingkirkan begitu saja hanya karena selembar sertifikat yang belum diuji kebenarannya?” kata dia.
Freddy menegaskan bahwa sertifikat yang dimiliki pihak tergugat tetap harus dibuktikan sah atau tidak di pengadilan. Tidak bisa jadi dasar untuk menggusur, apalagi dengan cara-cara di luar hukum.
Pihak kuasa hukum juga menyoroti dugaan keterlibatan ormas dan tekanan dari aparat. Laporan terkait intimidasi, premanisme, serta pembakaran rumah akan dilaporkan secara resmi ke Polda setelah data lapangan terkumpul. Mereka ingin memastikan bahwa konflik ini diselesaikan secara hukum, bukan dengan ancaman atau kekerasan.
“Warga Sukahaji ini bukan masyarakat liar,” tandas Freddy. “Mereka punya KTP, KK, mereka warga resmi Kota Bandung. Masa iya negara diam saja saat mereka diintimidasi?”
Pihak Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar Mengaku Tak Ada Konflik Lahan
Di sisi lain, Rizal Nusi, pengacara Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar, mengaku jika tidak ada konflik lahan terjadi karena kliennya memiliki bukti kepemilikikan tanah.
“Kenapa? Pendapat kami, sebenarnya memang sampai detik ini tidak ada sengketa lahan kepemilikan kami. Karena kami telah memiliki sertifikat SHM atas nama Pak Yunus dan Ibu Juliana, klien kami,” katanya saat ditemui kontributor Tirto setelah persidangan.
Menurut Rizal, pemagaran adalah hak yang sah, bentuk dari pengamanan lahan yang secara hukum sudah dikukuhkan milik kliennya. Ia menegaskan tidak ada celah dalam hal administratif. Semua sudah dicek, semua sudah dikonfirmasi.
"Kami juga sudah melakukan pengecekan ke BPN. Produknya juga sudah ada, yaitu surat keterangan pendaftaran tanah dari BPN,” katanya. “Jadi kalau untuk proses pemagaran, ya memang itu adalah hak dari klien kami.”
Namun di balik pagar-pagar itu, ada cerita lain. Cerita tentang warga yang telah tinggal dan membangun rumah selama puluhan tahun. Cerita tentang mereka yang kini harus meninggalkan tanah yang sudah mereka rawat.
Akan tetapi, bagi Rizal, mayoritas warga telah memahami situasi. Ia menyebut bahwa dari sekitar seribu rumah yang sebelumnya berdiri di atas lahan itu, sebagian besar sudah bersedia pergi, setelah menerima dana kerohiman.
Menurut dia, sosialisasi telah dilakukan di tiga wilayah RW: RW 2, RW 3, dan RW 4. Semuanya, klaim Rizal, berjalan secara legal. Bahkan, katanya, ada warga yang menyampaikan terima kasih karena diizinkan tinggal selama bertahun-tahun.
“Warga yang bertempat tinggal di sana itu memang sudah legowo dan menerima terkait dengan kerohiman,” lanjutnya. “Bahkan ada juga yang sudah berterima kasih ke kami, sudah ditempati selama sekian belas tahun. Pada saat keluar, kita berikan dana kerohiman juga. Jadi memang pihak-pihak yang membuat ini hanya minoritas saja sih.”
Namun situasi di lapangan tidak sesederhana itu. Dalam semalam, kebakaran menghanguskan sejumlah kios kayu yang tersisa. Warga mencurigai insiden itu bukan sekadar musibah. Di antara bara api dan asap pekat yang tertinggal, kecurigaan juga membara.
Rizal tak ingin berspekulasi. Ia menyatakan pihaknya sepenuhnya menyerahkan proses hukum kepada aparat penegak hukum. “Kalau kebakaran ini terjadi, kita tetap mematuhi prosedur hukum yang ada,” ujarnya.
Ia mengaku, pagi hari setelah kejadian, pihaknya segera memantau lokasi dan berkoordinasi dengan pihak berwenang. Menurut Rizal, area itu kini telah dipasang garis polisi, meskipun ada satu detail yang disayangkan: rekaman CCTV di lokasi rusak dan raib.
“Kami juga sepakat untuk mengusut tuntas terkait dengan kebakaran itu. Penyebabnya dan lain sebagainya itu apa saja. Kami juga sudah ada CCTV di sana, namun sayang sudah dirusak dan diambil sama pihak-pihak yang sampai sekarang masih kita belum tahu siapa itu,” kata dia.
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Abdul Aziz