tirto.id - Warga Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, pada Minggu (9/6/2024) malam, mendadak kaget dan panik sebab seorang warga mereka, Muhriyono, tiba-tiba dijemput paksa oleh orang tak dikenal.
Muhriyono dibawa orang-orang berpakaian preman dari kediamannya sekitar pukul 19.30 saat menyantap makan malam. Belakangan, diketahui yang membawa Muhriyono merupakan anggota Kepolisian Resor Banyuwangi.
Ketua Rukun Tani Sumberejo Pakel, Harun, menuturkan saat kejadian keluarga Muhriyono kaget karena tiba-tiba kedatangan tiga mobil di kediaman mereka.
Mobil-mobil itu membawa 15 orang tidak dikenal berpakaian preman yang mengaku anggota polisi. Sekitar lima orang merangsek masuk rumah dan sebanyak sepuluh orang lainnya mengepung rumah.
Orang-orang tidak dikenal itu menunjukkan surat penangkapan Muhriyono kepada keluarga. Namun, belum sempat membaca isi surat,, Muhriyono sudah dibawa. Orang yang mengaku polisi juga tidak memberitahukan keluarga Muhriyono, dari satuan mana mereka berasal.
“[Mereka] tidak mengatakan pihak kepolisian mana, pihak polsek kah atau polres kah yang membawa, jadi warga semakin panik,” kata Harun dalam konferensi pers, diikuti Tirto secara daring, Selasa (11/6/2024).
Warga yang panik sebab seorang dari mereka dijemput paksa, segera mendatangi Polresta Banyuwangi untuk menanyakan keberadaan Muhriyono.
Malam itu, mereka bertahan di depan Polres hingga hari berganti Senin (10/5/2024), sekitar pukul 01.30 dini hari. Karena pihak kepolisian bungkam, warga kembali ke desa karena banyak wanita dan anak-anak yang saat itu ikut ke Polresta Banyuwangi.
“Saat itu, kondisinya hujan siang-malam. Meski hujan, kami tetap cari keberadaan teman kami yang kami anggap hilang,” ujar Harun.
Senin siang atau selepas solat Zuhur, warga kembali mendatangi Polresta Banyuwangi. Baru saat itulah kepolisian buka suara bahwa mereka memang menangkap Muhriyono. Menurut keterangan polisi, Muhriyono ditangkap dengan alasan mangkir dari pemanggilan dan menolak surat yang dilayangkan polres.
Menurut cerita Harun, pihak keluarga Muhriyono baru sekali menerima secara langsung surat dari Polresta Banyuwangi. Surat kedua diduga ada kesalahan administrasi, karena sempat ada kurir yang menanyakan alamat warga bernama Muh. Riono (bukan Muhriyono).
Kurir diduga mengantarkan surat panggilan polisi, namun karena warga tak mengenal orang yang dimaksud dalam surat, akhirnya tidak ada yang menerima surat tersebut.
“Saya dapat informasi dari pak Kasat [polresta Banyuwangi] dibilang surat panggilan ada yang disobek. Kami menganggap surat itu sengaja disobek [orang yang kembalikan surat],” ujar Harun.
Penangkapan paksa Muhriyono disebut terkait kasus dugaan pemukulan pekerja keamanan perusahaan perkebunan dari PT Bumisari Maju Sukses (PT BMS). Kejadian itu berlangsung Maret 2024 yang merupakan salah satu episode panjang konflik agraria antara warga Desa Pakel dengan korporasi perkebunan PT BMS.
Maret lalu, pondokan dan tanaman perkebunan milik warga diduga dirusak oleh orang-orang suruhan perusahaan. Saat itu, terjadi bentrok antara warga dengan keamanan dan preman yang diduga disuruh perusahaan untuk mengintimidasi warga. Disebut ada dua orang warga Desa Pakel yang terluka dan diduga diancam dengan senjata tajam dalam bentrokan ini.
Dilansir Tempo.co, PT Bumisari Maju Sukses membantah tudingan warga yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP). Administratur PT Perkebunan dan Dagang Bumisari Maju Sukses, Sudjarwo Adji, justru mengklaim petani telah melanggar hukum karena melakukan pendudukan paksa dan perampasan lahan milik perusahaan.
Atas tudingan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan orang suruhan PT Bumisari, dia menilai itu hanya pendapat sepihak petani Pakel. Hal itu disebutnya cuma untuk mencari sensasi.
Dikutip dari CNN, Satreskrim Polresta Banyuwangi menyampaikan bahwa Muhriyono sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pengeroyokan pegawai keamanan PT MBS. Muhriyono disangkakan dengan pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan.
Konflik Agraria
Berkepanjangan
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, menyatakan penangkapan paksa Muhriyono merupakan tindakan gegabah yang dilakukan pihak Polresta Banyuwangi. Wahyu menduga polisi sudah menabrak prosedural penangkapan dan melakukan proses penegakan hukum yang tidak adil.
“Karena lagi-lagi prosesnya sangat cepat dan seolah-olah para petani Pakel ini orang yang berbahaya,” kata Wahyu dalam konferensi pers yang sama.
Wahyu juga merupakan anggota tim hukum dari TeKAD Garuda (Tim Kerja Advokasi untuk Kedaulatan Agraria) yang mengadvokasi hak-hak petani Pakel. Mereka tergabung dalam koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Walhi, YLBHI-LBH Surabaya, Kontras, dan lain-lain. Menurut Wahyu, yang dilakukan polisi merupakan bentuk stigmatisasi terhadap para petani Pakel.
Wahyu berujar, konflik agraria di Desa Pakel memang sudah berlangsung panjang dan terjadi berulang. Akar masalah utama di Desa Pakel, kata dia, adalah masalah ketimpangan pengusaan lahan di mana warga desa cuma memiliki lahan yang sangat kecil. Mayoritas lahan desa diakui perusahaan perkebunan dan perhutani dengan modal klaim hak guna usaha (HGU).
“Mau memutus masalah kemiskinan Desa Pakel ya hentikan saja konflik agraria. Cita-cita kesejahteraan ini hanya angan-angan jika pengakuan saja tidak ada,” ujar Wahyu.
Represi dan kriminalisasi pada warga Desa Pakel sudah berulang kali terjadi. Terakhir, tiga petani Pakel bernama Mulyadi, Suwarno, dan Untung, ditangkap oleh pihak kepolisian pada Februari 2023 dan divonis 5,6 tahun penjara oleh hakim di Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Mereka dituding menyebarkan berita bohong hingga mengakibatkan keonaran. Beruntung, permohonan kasasi ketiganya dikabulkan oleh Mahkamah Agung pada 2024.
Wahyu berujar, tim hukum warga Desa Pakel sudah melakukan audiensi berkali-kali dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasionalnya (ATR/BPN) dan BPN daerah, agar mengeluarkan Desa Pakel dari klaim HGU yang dimiliki perusahaan. Kendati demikian, belum ada tindakan bermakna dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria dengan berpihak pada warga.
“Maka tidak salah warga [akhirnya] mengolah sendiri [lahan mereka] tanpa ada persetujuan dari negara. Karena negara tidak hadir di Desa Pakel,” sebut Wahyu.
Merujuk catatan Walhi Jawa Timur, perjuangan warga Pakel sudah dimulai sejak tahun 1925. Warga diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 bahu (3000 hektare) oleh Bupati Banyuwangi, Notohadi Suryo, pada 11 Januari 1929 atau disebut sebagai “akta 1929”.
Meski sudah mendapatkan izin, kegiatan perkebunan warga masih sering diganggu oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang, sehingga warga terus mempertahankan tanah mereka.
Setelah kemerdekaan, meletus peristiwa berdarah 1965 sehingga beberapa warga menghilang dan memilih meninggalkan desa. Baru kemudian pada rezim Orde Baru, sekitar tahun 1970-an, kawasan “Akta 1929” di Desa Pakel yang secara historis diusahakan petani tiba-tiba diklaim menjadi milik perkebunan PT BMS.
Tahun 1999 dan 2001 warga sempat mencoba kembali merebut lahan yang masuk dalam “Akta 1929”. Namun saat itu perlawanan warga ditumpas dengan kriminalisasi dan tindakan represif dari kepolisian. Baru pada tahun 2020, warga yang sebelumnya telah membangun organisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel, melakukan aksi pendudukan lahan (reclaiming) yang diklaim oleh PT BMS.
Aksi ini merupakan penegasan bahwa mereka berhak atas lahan tersebut. Hampir sepuluh tahun warga berjuang dengan memohon kebaikan pemerintah, namun tidak membuahkan hasil. Aksi reclaiming warga ini menjadi awal babak baru konflik agraria warga dan PT BMS hingga saat ini.
Melanggar Prosedur
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, memandang tindakan yang dialami Muhriyono merupakan bentuk pelanggaran hak atas prinsip peradilan yang adil dan menyimpang dari kaidah penangkapan yang diatur dalam KUHAP. Proses penangkapan dinilai tidak sesuai dengan prosedur sebab tidak disertai dengan surat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP.
“Selain itu, kami juga melihat bahwa dalam penangkapan Muhriyono, prosedur pemanggilan saksi telah dilangkahi bahkan dihilangkan begitu saja,” kata Dimas dikonfirmasi Tirto, Rabu.
Penangkapan sewenang-wenang Muhriyono juga sudah melanggar prinsip profesionalisme Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No 12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 66 ayat (2). Serta melanggar Peraturan Kapolri No 07/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 7.
“Status Muhriyono [awalnya] hanya sebagai saksi, sehingga kami menilai polisi telah melakukan tindakan berlebihan dalam melakukan penangkapan dengan dalih pemanggilan dan pemeriksaan saksi,” ujar Dimas.
Selain itu, tindakan tersebut diduga melanggar HAM karena masuk kategori penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat (short enforced disappearances).
Hal ini karena tidak diketahuinya keberadaan Muhriyono oleh pihak keluarga hingga satu hari berselang sejak penangkapan dan tidak adanya kejelasan tentang motif atau alasan penangkapan yang ditunjukkan oleh anggota kepolisian Polresta Banyuwangi.
“Menunjukkan adanya intensi untuk menyangkal keberadaan Muhriyono dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum,” ungkap Dimas.
Sementara itu, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, menilai penangkapan terhadap Muhriyono bakal menjadi perseden buruk bagi akhir masa jabatan Presiden Jokowi. Sejak awal, kata dia, pemerintah memang tidak punya kemauan politik yang kuat dalam menyelesaikan persoalan konflik agraria struktural yang terjadi seperti di Desa Pakel.
“Sebab porsi terbesar dari pekerjaan pemerintah yang mengatasnamakan reforma agraria lebih terfokus pada PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) dibandingkan dengan restrukturisasi dan penyelesaian konflik agraria secara nasional,” jelas Benny.
KPA sejak 2016 telah mengusulkan 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) untuk menjadi prioritas penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah.
Sejauh ini, baru 21 LPRA atau 2,46 persen yang berhasil diredistribusikan kepada petani dan perempuan di pedesaan. Itu pun hanya yang ada di wilayah konflik agraria eks HGU swasta. Sementara capaian LPRA untuk tipologi milik BUMN dan HTI masih nol persen.
“Kriminalisasi dan konflik semacam ini kan menandakan pola pendekatan aparat di wilayah konflik tidak berubah, selalu represif dan intimidatif. Hal ini menambah kasus-kasus konflik agraria dan kriminalisasi yang meningkat pesat selama satu dekade terakhir [pemerintah Jokowi],” ujar Benny.
Reporter Tirto sudah berupaya menghubungi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI, Usep Setiawan, dan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Abetnego Tarigan, untuk meminta pandangan pemerintah terhadap konflik agraria di Desa Pakel yang terjadi berulang. Namun hingga berita ini tayang, keduanya tidak merespons permintaan wawancara Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi