tirto.id - Kekerasan seksual terhadap anak kembali menjadi sorotan serius akhir-akhir ini. Tak cuma berpotensi merenggut keceriaan hidup korban anak mendatang, peristiwa memilukan ini tak jarang berujung maut.
Kasus yang baru-baru ini muncul seharusnya mampu menjadi alarm panggilan agar masyarakat – khususnya orang dewasa – lebih waspada dan perhatian terhadap perlindungan anak.
Sepekan terakhir misalnya, kasus ibu diduga melakukan tindakan asusila terhadap anak mengagetkan masyarakat. Kasus ini viral setelah video adegan asusila tersebut tersebar di media sosial. Dari penelusuran kepolisian, setidaknya ada dua video asusila berbeda yang melibatkan ibu dan anak kandungnya.
Peristiwa miris ini terjadi di Tangerang Selatan, Banten dan Bogor, Jawa Barat. Kedua ibu yang sudah ditetapkan sebagai tersangka itu mengaku membuat video asusila karena terpaksa desakan ekonomi. Nahasnya, mereka disuruh disertai ancaman untuk membuat video asusila tersebut oleh akun Facebook atas nama Icha Shakila, dengan iming-iming uang jutaan rupiah.
Sementara itu, peristiwa kekerasan terhadap anak yang memantik geram juga terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Nasib pilu menimpa GH, bocah berusia 9 tahun, yang tewas di tangan seorang pedofil tua bangka bernama Didik Setiawan (61). Didik merupakan tetangga dari korban, polisi mengungkap kasus ini pada pekan lalu. Sebelum menghabisi nyawa GH, Didik melakukan pencabulan kepada korban. Jasad korban anak dibuang Didik di sebuah lubang pompa air sedalam 2,5 meter.
Pekan lalu, polisi juga mengungkap kasus pencabulan yang dilakukan Mangibul Marbun Lumban Gaol terhadap tiga anak kandungnya. Peristiwa memilukan ini terjadi di Tanjung Jabung, Jambi, dan menimpa tiga korban anak yang masih berusia 16 tahun, 12 tahun, dan 11 tahun.
Mangibul dicokok polisi setelah ada laporan ke polisi oleh pihak kerabat korban. Tindakan bejat Mangibul ternyata dilakukan sejak 2021, dan selama ini tak terendus karena korban diancam akan dibunuh jika melaporkan ke orang lain.
Rentetan kasus peristiwa kekerasan terhadap anak yang terjadi belakangan ini seharusnya memantik kesadaran kolektif masyarakat bahwa kasus ini rentan terjadi di lingkup keluarga dan orang terdekat korban. Orang dewasa di sekitar anak justru dapat berubah menjadi pelaku kekerasan dan bahkan predator bagi anak. Peran masyarakat di sekitar lingkungan anak tinggal dan tumbuh dalam mencegah kekerasan patut digaungkan.
Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, menyatakan bahwa anak merupakan kelompok rentan yang menggantungkan hidup pada orang dewasa. Masalahnya, tak jarang memang ancaman terhadap keselamatan anak justru datang dari pihak terdekat korban anak. Kasus kekerasan yang dilakukan pihak keluarga atau orang terdekat korban memang masih sulit terdeteksi karena terhambat beberapa faktor.
“Enggak mungkin anak yang dieksploitasi [orang terdekatnya] dan mendapatkan tindakan kekerasan, lalu dia [korban anak] melaporkan orang yang mengurus dia,” kata Retno kepada reporter Tirto, Senin (10/6/2024).
Menurut Retno, relasi kuasa antara korban anak dengan pelaku yang merupakan orang terdekat korban dapat berpotensi membuat kasus kekerasan pada anak di lingkup keluarga sulit terungkap. Di sisi lain, pelaku juga melakukan teror dan ancaman kepada korban anak dalam berbagai bentuk.
“Misalnya, kalau tidak mau melayani atau melaporkan, adik-adiknya korban yang kena atau bahkan ibu korban diancam dibunuh,” ujar dia.
Dalam situasi semacam ini, kata Retno, masyarakat seharusnya memahami bahwa peran melindungi anak adalah amanat undang-undang kepada setiap orang dewasa. Masyarakat harus peka pada tanda-tanda kekerasan yang dialami anak di lingkungan mereka tinggal. Misalnya, terdapat anak yang sering menangis tidak wajar di malam hari atau mengalami luka lebam di tubuhnya.
“Masyarakat harus menyadari bahwa kekerasan itu adalah tindak pidana. Masyarakat harus ikut bertanggung jawab ketika mengetahui kasus kekerasan karena bila dibiarkan bisa saja anak itu terancam nyawanya,” ujar Retno.
Masyarakat yang mengetahui tindakan kekerasan terhadap anak dan memilih melakukan pembiaran, sejatinya tengah melakukan kekerasan itu sendiri. Sebab dalam Pasal 76c dalam UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak termaktub bahwa: setiap orang, “dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukanKekerasan terhadap Anak.”
“Kalau tidak berani tegur tetangga maka kita bisa koordinasi dengan RT/RW. Lalu mereka yang harus mengecek rumah yang diduga terjadi kekerasan. Jadi ini yang enggak boleh abai, karena tidak peduli atau tidak mau repot,” seru dia.
Kekerasan Bukan Urusan Privat
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menyatakan kasus kekerasan pada anak yang dilakukan orang terdekat sering terjadi karena beberapa faktor psikologis dan sosial. Pertama, pelaku mungkin memiliki masalah psikologis sendiri seperti gangguan kepribadian atau trauma masa lalu yang tidak terselesaikan.
Selain itu, ada faktor kekuasaan dan kontrol, di mana pelaku merasa dapat mendominasi korban yang lebih lemah. Ditambah, kurangnya kesadaran dan pendidikan soal dampak buruk kekerasan anak serta kurangnya pengawasan komunitas masyarakat sekitar.
“Akhirnya, normalisasi perilaku kekerasan dalam keluarga atau masyarakat bisa membuat pelaku tidak menyadari bahwa tindakannya salah atau berbahaya,” kata Wawan kepada reporter Tirto, Senin.
Wawan menjelaskan, memang ada hambatan psikologis dari masyarakat dalam mencegah kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungan mereka. Hambatan ini dikenal sebagai efek bystander, di mana individu cenderung akan kurang bertindak ketika ada orang lain yang juga tahu dan menjadi saksi kejadian, hal ini menjadi penghalang mereka bertindak.
“Selain itu, ketidaktahuan cara mengintervensi atau ketakutan konsekuensi dari intervensi (misalnya balas dendam pelaku) juga berperan. Stigma sosial terhadap 'mencampuri urusan rumah tangga orang lain' juga mencegah intervensi yang efektif,” ungkap Wawan.
Sikap antipati dan apatis masyarakat merupakan faktor rentan yang mendorong kekerasan terhadap anak menjadi langgeng. Fenomena ini, kata Wawan, terjadi karena adanya difusi tanggung jawab yang berefek pada merosotnya kemauan untuk bertindak sebab kehadiran orang banyak. Sikap itu berakar dari asumsi bahwa orang lain akan mengambil tindakan intervensi.
“Kelemahan peran kolektif ini mengindikasikan perlunya intervensi komunitas yang lebih kuat dan pembentukan norma-norma sosial yang menekankan pentingnya melindungi anak dan berpartisipasi aktif dalam pencegahan kekerasan,” saran Wawan.
Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, menyatakan orang dewasa merupakan faktor utama melakukan perlindungan anak. Baik orang dewasa yang berperan sebagai orang tua, kerabat, guru, bahkan tetangga diwajibkan oleh UU Perlindungan Anak untuk melindungi dan melakukan intervensi terhadap kekerasan pada anak.
“Jadi hambatannya selama ini menganggap pengasuhan apa yang terjadi di dalam rumah sebatas urusan domestik sehingga tidak boleh dicampuri. Persepsi ini masih terjadi banyak sekali terjadi,” kata Lisda kepada reporter Tirto, Senin.
Orang dewasa seharusnya bisa mengambil risiko untuk melakukan intervensi atas dugaan kekerasan terhadap anak. Meskipun akan muncul risiko seperti dituding ikut campur atau melakukan tuduhan terhadap seseorang. Risiko ini lebih baik dibandingkan anak berisiko mengalami kekerasan yang mengancam nyawa mereka.
Di sisi lain, dari pengalaman Lisda, sebenarnya anak-anak juga bisa melindungi diri mereka. Anak-anak yang sudah berusia belasan tahun akan lebih mudah diberikan informasi soal hak mereka mendapatkan perlindungan dari orang dewasa. Termasuk, melaporkan kejadian kekerasan yang menimpa mereka atau korban anak lainnya.
“Sehingga saat mereka menyadari hak dilindungi ini, mereka bisa saat terancam jadi bisa mencari pertolongan dan melaporkan ke orang dewasa lainnya. Tapi ini untuk usia anak belasan tahun ya,” ujar Lisda.
Untuk menambah kepekaan pada pentingnya perlindungan anak, masyarakat bisa membuat gugus tugas perlindungan anak atau kampanye penghapusan kekerasan di lingkungan mereka tinggal. Peran rukun warga dan ketua rukun bisa dimanfaatkan agar kampanye ini berhasil memberikan informasi yang sesuai bagi warga dalam mencegah kekerasan.
“Sadar dulu tugas kita sebagai orang dewasa harus dilakukan dan menyadari mandat UU Perlindungan Anak,” lanjut Lisda.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono, mengaku di masyarakat memang masih berkembang pemikiran bahwa apa yang terjadi di lingkup keluarga adalah urusan privat mereka. Padahal sesuai UU Perlindungan Anak, masyarakat bisa melaporkan ke aparat penegak hukum jika mengetahui atau mencurigai ada kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan mereka tinggal.
“Aturan ini masih belum banyak diimplementasikan masyarakat. Mereka takut mengganggu keluarga dan merusak privasi keluarga itu,” ujar Aris kepada reporter Tirto, Senin.
Aris menegaskan peran warga dalam intervensi kekerasan terhadap anak sudah dilindungi undang-undang. Maka masyarakat memiliki kewajiban untuk mencegah dan melaporkan tindakan kekerasan terhadap anak di lingkungan mereka. Pemerintah sendiri perlu berperan dalam membangun kepedulian dan pengetahuan warga soal pencegahan kekerasan pada anak.
“Penting penegakan hukum sesuai UU Perlindungan Anak jika pelaku kekerasan adalah keluarga maka hukuman ditambah satu per tiga dari hukuman asal. Harapannya dari hukuman yang berat akan ada efek jera, akan ada penyadaran orang orang terdekat dan masyarakat,” tegas Aris.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri