tirto.id - Kekerasan seksual di kampus merupakan kejahatan kemanusiaan yang mirisnya, masih terus terjadi. Relasi kuasa dan peliknya penanganan kasus membuat jalan menemukan keadilan bagi korban tidak mudah dicapai. Ilusi melanggengkan nama baik kampus dan upaya membungkam korban, tidak jarang membuat kasus kekerasan seksual berujung buram.
Teranyar, tudingan pelecehan seksual mengarah kepada Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno. Edie diduga melecehkan dua pegawainya setahun lalu dalam dua kurun waktu berbeda. Kedua korban melaporkan kejadian ini pada Januari 2024 karena tidak ada keseriusan dari pihak kampus menangani kasus ini.
Korban diketahui sudah melayangkan surat kepada Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila untuk meminta penyelesaian kasus yang mereka alami. Namun, belum ada respons yang diharapkan dan seolah-olah terjadi pembiaran atas kejadian yang menimpa mereka.
Tidak hanya membuat laporan ke polisi, kedua korban, yakni RZ dan DF, juga melakukan upaya pengaduan Kemendikbudristek, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III, Komnas Perempuan, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, membenarkan adanya pengaduan dari kedua korban kepada pihaknya. Sebagaimana amanah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Komnas Perempuan akan memantau dan memastikan hak korban dalam mendapatkan keadilan serta pemulihan pada kasus ini.
“Betul, bahwa korban sudah mengadu ke Komnas Perempuan dengan datang langsung pada 12 Februari 2024,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (26/2/2024).
Siti Aminah memandang, kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus tidak terlepas dari adanya relasi kuasa. Dalam kasus Universitas Pancasila, dia bahkan menilai hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual di tempat kerja, di mana korban sebagai karyawan berada dalam posisi bawahan yang berhadapan dengan atasan.
“Selain dijamin dan dilindungi melalui UU TPKS, korban kekerasan seksual di lingkungan kampus, termasuk tenaga kependidikan juga dijamin dan dilindungi oleh Permendikbud 30/2021 dan Permenaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja,” jelas Siti Aminah.
Komnas Perempuan menyatakan bahwa kekerasan seksual yang diadukan di lingkungan kampus merupakan fenomena gunung es. Di mana diyakini, kata Siti Aminah, kekerasan seksual dalam berbagai jenisnya jauh lebih banyak terjadi dari yang dilaporkan.
“Kami mendorong pihak Universitas Pancasila mengambil langkah-langkah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan penanganan, dan perlindungan terhadap korban,” ujar dia.
Kronologi hingga Melapor ke Polisi
Kuasa hukum kedua korban, Amanda Manthovani, saat dihubungi Tirto, Minggu (25/2/2024) menuturkan, dugaan pelecehan seksual terjadi pada Februari 2023 di ruang kerja rektor. Korban inisial RZ ketika itu diberi tugas oleh terduga pelaku.
Saat tengah mengerjakan tugas, terduga pelaku menghampiri dan melakukan tindakan pelecehan seksual. Kejadian itu membuat korban trauma. Lebih parahnya, korban langsung dimutasi ke tempat lain pascakejadian memilukan itu.
Hal serupa juga dialami oleh DF, karyawan honorer di Universitas Pancasila. Namun, usai menerima tindakan tak senonoh dari terduga pelaku, DF memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri. Kedua korban, kata Amanda, sudah melapor ke pihak yayasan atas tindakan pelecehan tersebut, namun belum ada respons sehingga membawa kasus ini ke kepolisian.
“Untuk saat ini ada dua korban dan sudah melaporkan. Satu laporan LP di Mabes Polri dan satu di Polda Metro Jaya,” kata Amanda.
RZ melaporkan dugaan pelecehan seksual itu ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jumat (12/1/2024) lalu, dengan tanda registrasi nomor LP/B/193/I/2024/SPKT/Polda Metro Jaya. Sementara DF mengadu ke Bareskrim Polri, Senin (29/1/2024), dengan nomor LP/B/36/I/2024/SPKT/Bareskrim Polri.
“Kalau di Polda prosesnya sudah dengan pemanggilan sudah ada 4 saksi yang diklarifikasi. Kalau terlapor Senin dia hadir di Polda untuk BAP,” ujar Amanda.
Sementara itu, Pengurus Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPPUP) mengaku prihatin terkait adanya kasus ini. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian menindaklanjuti proses hukum selanjutnya.
“Yayasan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah, percaya bahwa kepolisian akan bekerja secara profesional sesuai tupoksinya,” kata Sekretaris YPPUP, Yoga Satrio, kepada Tirto.
Yoga menuturkan, terduga pelaku masa baktinya sebagai rektor akan berakhir pada 14 Maret 2024. Yayasan dalam waktu dekat juga akan mengambil keputusan berkaitan dengan kasus tersebut dan juga status Edie.
Sejatinya, Polda Metro Jaya sudah memanggil Edie untuk diperiksa pada Senin (26/2/2024). Namun, yang bersangkutan tidak hadir dengan alasan sudah ada jadwal lain sebelum surat pemanggilan diterima. Hal ini dikonfirmasi kuasa hukum Edie, Raden Nanda Setiawan.
“Klien kami Prof. ETH sedang berhalangan hadir dalam pemeriksaan di Subdit Renakta Polda Metro Jaya karena sudah ada jadwal sebelum surat undangan dari polda diterima,” kata Raden.
Pihak Polda Metro Jaya turut membenarkan adanya permohonan pengunduran waktu pemeriksaan dari ETH. “Sudah diterima. Diperiksa nanti tanggal 29 Februari,” ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam.
Fenomena Gunung Es
Adanya relasi kuasa yang timpang menjadi salah satu penyebab langgengnya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Proses hukum yang berperspektif korban seharusnya mampu menekan kejahatan ini. Nyatanya, jalan menuju keadilan bagi korban kerap pelik dilalui, belum lagi adanya tekanan yang membuat korban kekerasan seksual di kampus tidak berani melapor.
Laporan kolaborasi Tirto, Vice Indonesia, dan Jakarta Post mencatat, 96 persen korban kekerasan seksual di kampus adalah mahasiswi. Sebanyak 20 persen korban tak melapor dan 50 persen tak menceritakan pada siapapun. Adapun pelakunya bisa dari kalangan dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter di klinik kampus, dan warga lain.
Kemendikbudristek melakukan riset tahun 2019 bahkan mendapati, kekerasan seksual di lingkungan kampus ada pada urutan ketiga, berdasarkan lokasi tempat kejahatan itu dapat terjadi. Survei Ditjen Diktiristek 2020 turut menemukan, 77 persen dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.
Masalahnya, 63 persen dosen tidak pernah melaporkan kasus yang mereka ketahui pada pihak kampus. Artinya, pengabaian kasus kekerasan seksual di kampus nyata adanya. Tempat di mana moral dan ilmu pengetahuan dijunjung tinggi justru menjadi tempat tidak aman, terutama bagi perempuan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menyatakan kejadian pelecehan seksual yang diduga dilakukan rektor Universitas Pancasila sebagai suatu yang ironis. Pasalnya, rektor yang sama pernah resmikan Satgas Kekerasan Seksual di perguruan tinggi itu.
“Ini menandakan memang sebenarnya progres atau perkembangan positif itu belum disertai dengan perubahan paradigma atau perubahan cara pikir perubahan budaya dari masyarakat kita. Bahkan mereka-mereka yang memiliki posisi relasi kuasa dalam melihat ataupun bersikap,” kata Mike kepada reporter Tirto, Senin (26/2/2024).
Menurut Mike, sudah seharusnya kekerasan seksual di kampus tidak menjadi gunung es karena maraknya kejadian dan riset yang menunjukan bahwa kerentanan di lokasi ini tinggi. Sebaliknya, dia menyebut sudah semestinya komitmen dari berbagai aturan yang ada, baik di UU TPKS dan Permendikbud 30/2021, dijalankan semestinya.
“Dan selalu saja penyelesaiannya juga [masih] tidak memenuhi rasa keadilan, bahkan beberapa penyelesaian juga ditempuh dengan jalan apa ya mediasi ya atau mungkin kekeluargaan gitu,” tutur Mike.
Menurut Mike, jalan tengah bukan jalan yang adil bagi korban. Namun, kondisi ini masih ditemui karena korban kekerasan seksual masih dipandang sebagai aib bagi mayoritas kalangan. Hal ini miris, ibaratnya korban kekerasan seksual justru sudah jatuh malah tertimpa tangga.
“Ketika kita [masyarakat] tidak mampu bertindak tegas atau adil terhadap [korban] bentuk-bentuk kekerasan seksual, akhirnya itu menjadi impunitas,” tutur Mike.
Sementara itu, Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, memandang kasus kekerasan seksual yang dibawa ke ranah litigasi kerap menemui jalan buntu pada mekanisme penegakan hukum bagi pelaku. Akhirnya, korban tidak mendapatkan keadilan secara utuh, akibat dari perspektif aparat penegak hukum yang bias gender.
“APH kerap menambah kekerasan berlapis bagi korban. Selain itu hukum kerap dijadikan transaksional oknum untuk menjaga nama baik kampus,” kata dia kepada reporter Tirto, Senin (26/2/2024).
Armayanti menyatakan, penanganan dan pencegahan kekerasan seksual belum maksimal dijalankan di lingkup kampus. Aksi-aksi mitigasi melalui diseminasi informasi maupun layanan pengaduan masih sangat minim dilakukan.
“Penanganan melalui penegakan dan implementasi hukum masih menemui jalan gelap bagi keadilan korban, termasuk pemenuhan hak pemulihan korban masih terabaikan,” tutur Armayanti.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz