tirto.id - Kasus dugaan pemaksaan aborsi yang dilakukan oleh anggota Polres Bireun, Ipda Yohananda Fajri, kepada mantan pacarnya, VF, berakhir damai. Sebagai informasi, kasus ini mencuat ke publik usai korban VF membagikan kisah ini di media sosial dan kemudian viral.
VF bercerita bahwa Ipda Yohananda Fajri memaksanya melakukan aborsi dengan alasan untuk menyelamatkan karier sebagai polisi. Pasalnya, saat itu, Yohananda masih menjadi taruna Akpol.
Imbas aborsi tersebut, VF menderita infeksi rahim dan terancam tak bisa memiliki keturunan.
Kabid Propam Polda Aceh, Kombes Pol Eddwi Kurniyanto, mengungkapkan bahwa kasus dugaan pemaksaan aborsi yang melibatkan anggota Polres Bireuen itu telah ditangani dengan jalan mediasi.
Eddwi menyebut bahwa kedua pihak sudah dipertemukan oleh Polda Aceh di Bali pada Kamis (30/1/2025) lalu. Dalam pertemuan itu, Ipda Yohananda dan VF sepakat berdamai.
"Dari langkah-langkah yang kami lakukan sampai mitigasi, dari pihak Saudari VF sampai saat ini dan sekarang tidak mempermasalahkan dan ini dianggap adalah masalah pribadi dan tidak akan memperpanjang," kata Eddwi dalam rapat dengar pendapat umum DPR RI dengan jajaran Polda Aceh, Kamis (6/2/2025).
Tuai Kritik dari Legislator
Langkah Bidang Propam Polda Aceh mengarahkan penyelesaian kasus tersebut melalui proses mediasi lantas menuai kritik. Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Nasdem, Rudianto Lallo, menilai bahwa langkah tersebut tidak masuk akal.
Rudianto menilai, pemaparan Eddwi terkesan melindungi satu pihak, yakni Ipda Yohananda. Dan lagi, tindakan aborsi merupakan sebuah tindakan pidana.
“Bagi saya, Pak, ini tindak pidana. Ada banyak pasal yang mengatur aborsi, itu bukan delik aduan, tapi delik umum, Pak,” ujar Rudianto dalam rapat bersama Polda Aceh di gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Legislator asal Sulawesi Selatan itu tergelitik saat Polda Aceh menangani kasus ini seolah-olah bukan pidana. Rudianto bahkan menyebut bahwa ada potensi lima pasal yang dilanggar dalam kasus tersebut.
Oleh karena itu, Rudianto menegaskan agar anggota Polri yang melakukan pelanggaran diproses secara hukum, bukan dilindungi.
“Ini jadi pertanyaan, apakah kalau warga biasa yang menyuruh aborsi dia langsung masuk penjara. Lalu, ketika anggota Polri yang melakukan didesain untuk terkesan dilindungi,” tambahnya.
Hasbiallah Ilyas, anggota Komisi III dari Fraksi PKB, menyebut langkah penyelesaian yang diambil Polda Aceh sebagai ironi lantaran menganggap kasus ini sebagai urusan pribadi. Mediasi yang dilakukan di Bali pun dinilainya sebagai upaya Polda Aceh menutupi kejadian yang sebenarnya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, juga menilai langkah Polda Aceh menyelasikan kasus ini dengan cara mediasi adalah kesalahan fatal.
“Ini masalah sangat serius. Tidak boleh ini dianggap main-main. Segera lakukan tindakan serius soal etiknya, silahkan, kalau benar ada pidana. [Kalau diselesaikan dengan mediasi] gimana publik bisa nerima?” tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Lola Nelria Oktavia, meminta kasus pemaksaan aborsi tersebut diusut tuntas dengan membawa polisi yang melakukan pelanggaran ke ranah pidana.
“Tentunya, siapa pun yang melakukan, dia tidak hanya masyarakat sipil, bahkan Polri pun tidak luput bila berbuat salah. Apalagi, ranahnya sudah pidana. Memang harus diusut dan dilanjutkan prosesnya,” tegas Lola, dikutip dari laman resmi Partai Nasdem.
Sebagai informasi, tindak pidana aborsi diatur dalam Pasal 346 sampai dengan Pasal 349 KUHP. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa tindakan aborsi dengan alasan apa pun dilarang. Maka setiap orang yang melakukan aborsi maupun membantu proses tindakan aborsi dapat dipidana berdasarkan KUHP.
UU Kesehatan juga melarang tindakan aborsi. Namun, UU Kesehatan membuat pengkhususan yang tertuang dalam Pasal 75 Ayat 2. Pasal tersebut mengatur bahwa pengecualian diberikan apabila ada indikasi kedaruratan medis dan kehamilan karena korban perkosaan.
Kasus Serupa Pernah Terjadi
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menyebut bahwa kasus serupa pernah terjadi di akhir 2021 lalu. Saat itu, masyarakat digegerkan dengan temuan jenazah seorang perempuan di sebuah makam di di Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Kepolisian kemudian mengusut kasus dugaan bunuh diri tersebut. Perempuan yang terkapar itu adalah NWR (23 tahun), seorang mahasiswi Universitas Brawijaya, Malang, angkatan 2016.
“Kenapa bunuh diri? Hasil penemuan di tempat kejadian perkara, ditemukan bekas minuman yang bercampur potasium,” kata Wakapolda Jawa Timur, Brigjen Pol Slamet Hadi Supraptoyo, di Polres Mojokerto, Sabtu (4/12/2021).
Hasil visum dari Puskesmas Sooko menyebutkan tidak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuh NWR.
Tim reserse gabungan Polda Jawa Timur, Polres Mojokerto, dan Polres Pasuruan lalu bergerak mengusut perkara itu. Tim reserse memeriksa pacar NWR, Randy Bagus Hari Sasongko.
“Yang bersangkutan [Randy] profesinya adalah seorang polisi, bertugas di Polres Pasuruan,” sambung Slamet.
Tim reserse gabungan akhirnya menguak bahwa selama Randy dan NWR menjalin hubungan hingga Desember 2021, NWR telah dua kali melakukan aborsi. Pertama kali pada Maret 2020 dan Agustus 2021. Mereka melakukannya dengan obat penggugur kandungan.
Dua hari usai penemuan mayat NWR, Randy yang berpangkat Bripda ditangkap, dimintai keterangan, dan selanjutnya ditahan.
Slamet mengklaim bahwa kepolisian akan mencari tahu lebih detail soal penyebab NWR melakukan bunuh diri.
Kepolisian lantas menjerat Randy dengan Pasal 7 dan Pasal 11 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Randy juga dikenakan Pasal 348 KUHP juncto Pasal 55 KUHP untuk proses pidana umum.
Pasal 348 KUHP berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.”
“Bila Polri konsisten, harusnya sanksi etik dan disiplin yang sama harus diterapkan pada oknum perwira pertama di Aceh ini, selain juga melakukan proses pidana,” ujar Bambang dari ISESS saat dihubungi Tirto, Jumat (7/2/2025).
Bambang menambahkan bahwa aborsi maupun kekerasan seksual bukanlah delik pidana yang bisa dimediasikan karena posisi korban tentu akan sangat lemah dan rentan.
“Perilaku Propam tersebut bahkan berpotensi abuse of power,” ujarnya.
Bambang juga mengatakan bahwa salah satu tujuan dari pemberian sanksi hukum adalah agar bisa memberi efek jera. Oleh karena itu, langkah mediasi dan penggunaan restorative justice yang dilakukan Bidang Propam Polda Aceh akan sulit memberi dampak jera pada pelaku.
“Makanya proses pidana pada para pelaku itu harus dilakukan, dan biarlah pengadilan yang menentukan, bukan Propam Polri yang tentu akan sangat bias kepentingan,” katanya.
Impunitas Pelaku Kekerasan Seksual
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, menilai bahwa langkah Polda Aceh dalam menangani kasus pemaksaan aborsi tersebut merupakan upaya memberi impunitas bagi pelaku kekerasan seksual.
Mike mengatakan bahwa pemaksaan aborsi merupakan salah satu jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dari kasus tersebut, Mike juga menyoroti bahwa institusi maupun penegak hukum dari semua tingkatan belum betul-betul memahami UU TPKS ini.
“Upaya kekeluargaan yang ditempuh tentu menunjukkan betapa kepolisian itu tidak mengimplementasikan atau tidak mengefektifkan kasus-kasus kekerasan seksual lewat Undang-Undang 12 Tahun 2022 yang jelas-jelas menyatakan bahwa pemaksaan aborsi itu adalah bagian dari kekerasan seksual yang harus ditindak,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (7/2/2025).
Menurut Mike, jika pembuktian dalam kasus ini sudah cukup kuat, kepolisian harus melakukan proses-proses hukum dan pelaku harus mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dia juga menyebut bahwa perubahan KUHP Tahun 2023 juga sudah menguatkan bahwa pemaksaan aborsi termasuk dalam pidana. Sekali lagi, Mike menyoroti bahwa kepolisian rupanya belum punya perspektif atau pemahaman yang baik terhadap kasus tindak pidana kekerasan seksual.
“Bukan mendapatkan upaya-upaya perdamaian atau membebaskan mereka dari tuntutan pidana. Ini yang kami sebut impunitas. Mentang-mentang penegak hukum boleh melalui upaya damai ini,” katanya.
Oleh karena itu, Mike meminta undang-undang atau kebijakan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual harus disosialisasikan secara masif dan komprehensif. Hal ini dilakukan agar keseluruhan jajaran aparat penegak hukum itu memiliki pemahaman yang sama tentang bagaimana menjalankan aturan-aturan pidana terkait kekerasan seksual.
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi