tirto.id - Saat masyarakat sipil ramai menyoroti adanya potensi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil lewat revisi Undang-Undang TNI atau RUU TNI, beberapa perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) nampak melenggang menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil.
Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo melakukan rotasi dan mutasi besar-besaran pada Maret 2025. Pada pertengahan bulan tiga, mutasi dilakukan di jajaran perwira tinggi (Pati) dan perwira menengah (Pamen). Total mutasi dilakukan terhadap 1.255 personel. Mutasi Polri itu tertuang dalam Surat Telegram nomor ST/488/III/KEP./2025 hingga ST/493/III/KEP./2025.
Kemudian, pada akhir Maret 2025, sebanyak 38 Pati di Kepolisian Negara Republik Indonesia naik pangkat. Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo memimpin langsung upacara Korps Raport Kenaikan Pangkat Perwira Tinggi Polri, yang digelar di Rupatama Mabes Polri pada Minggu, 30 Maret 2025.
Dalam upacara tersebut, sebanyak 38 personel Pati Polri resmi naik pangkat. Rinciannya, dua personel naik menjadi Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol), 10 menjadi Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol), dan 26 menjadi Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol).
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Irjen Pol Sandi Nugroho, menjelaskan kenaikan pangkat ini bukan sekadar penyegaran struktural, tetapi bentuk apresiasi institusi terhadap dedikasi dan kinerja para perwira tinggi Polri.
Kegiatan Korps Raport ini, menurut Sandi, juga menjadi bagian dari pembinaan personel Polri dalam rangka menghadapi tantangan tugas ke depan yang semakin kompleks. Tidak hanya itu, ini juga untuk mendukung terwujudnya Polri yang presisi, profesional, dan humanis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
“Kenaikan pangkat bukan hanya soal jabatan atau struktur, tetapi tentang kepercayaan dan tanggung jawab yang semakin besar. Kami berharap seluruh Pati yang hari ini menerima kenaikan pangkat dapat terus menginspirasi dan memperkuat semangat pengabdian kepada bangsa dan negara,” kata Sandi, mengutip portal berita resmi Polri.
Menariknya, dalam rangkaian peristiwa tersebut beberapa nama perwira dimutasi ke jabatan dan di kementerian dan lembaga sipil. Beberapa nama Pati Polri yang berhasil dihimpun Tirto di antaranya adalah Kapolda Riau, Irjen M. Iqbal, yang dipindah ke Pati Baharkam Polri untuk penempatan pada DPD RI.
Selain itu, ada dua nama yang baru saja mendapatkan promosi bintang tiga, Komjen Pol Makhruzi Rahman dan Komjen Pol Lotharia Latif. Makhruzi kini bertugas sebagai Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara, Lotharia menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Nama Pati lain yang baru saja dipromosikan menjadi bintang dua, seperti Irjen Ruslan Aspan, saat ini menjabat sebagai Deputi Bidang Pengelolaan Bandara, Pelabuhan, dan Lalu Lintas Barang BP Batam.
Ada juga nama Irjen Pol Argo Yuwono yang saat ini bertugas di Kementerian Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Irjen Pol Yudhiawan di Kementerian Kesehatan, Irjen Pol Djoko Poerwanto di Kementerian Kehutanan, Irjen Pol Pudji Prasetijanto Hadi di Kementerian ATR/BPN, Brigjen Pol Edi Mardianto di Kementerian Dalam Negeri, Brigjen Pol Kasihan Rahmadi di Kementerian Kehutanan, Brigjen Pol Raden Slamet Santoso di Kementerian Pemuda dan Olahraga, Brigjen Pol Moh. Irhamni di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Brigjen Pol Dover Christian di Dewan Perwakilan Daerah RI, Brigjen Pol Sony Sonjaya di Badan Gizi Nasional dan sejumlah nama lainnya.
Penempatan perwira aktif Polri di sejumlah jabatan sipil ini tentu memantik perhatian khusus. Studi yang dilakukan lembaga SETARA Institute pada tahun 2024 menyebut, penempatan anggota Polri pada jabatan sipil di luar institusi Polri merupakan permasalahan yang telah lama bergulir. Hal ini juga yang menjadi pemicu utama stagnasi reformasi Polri selama ini.
Polemik Penempatan Personel Polri Aktif di Jabatan Sipil
Terkait pro dan kontra penempatan polisi di kementerian/lembaga Kapolri Jenderal Polisi Sigit memberi tanggapan. Dia memastikan penempatan sejumlah perwira tinggi polisi di kementerian dan lembaga sudah sesuai sejumlah regulasi, baik itu undang-undang maupun peraturan di bawahnya.
Mantan Kabareskrim itu menjelaskan regulasi yang dimaksud, di antaranya, adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Selain itu, Pasal 147 dan Pasal 148 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang mengatur anggota Polri dapat menduduki jabatan aparatur sipil negara (ASN) tertentu.
Lebih lanjut, Polri juga telah mengatur mekanisme penugasan anggota Polri dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2017 dan Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 12 Tahun 2018.
”Personel Polri yang ditugaskan di kementerian atau lembaga, itu sesuai kebutuhan dari kementerian dan lembaga. Kapolri mengirim personel Polri sesuai dengan kompetensi untuk mengisi ruang jabatan di kementerian dan lembaga,” kata Sigit mengutip Kompas, Jumat (14/3/2025).
Sementara Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, membedah dasar hukum yang dipaparkan Sigit. Di pasal 28 ayat (3), Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, dengan jelas memperbolehkan anggota polisi untuk menduduki jabatan di luar kepolisian. Dengan catatan yang bersangkutan mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Berikut bunyi Pasal 28 ayat (3), UU Polri:
“Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Adapun yang menjadi dasar penempatan personel Polri di luar struktur tanpa pengunduran diri adalah sebagaimana tertulis dalam bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3). “Yang dimaksud dengan ‘jabatan di luar kepolisian’ adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri,” begitu bunyinya.
Bambang menilai penjelasan dari Pasal 28 ayat (3) UU Polri tersebut acapkali menimbulkan salah kaprah dalam hal penafsiran.
“Tetapi atas nama surat perintah Kapolri dan permintaan kementerian atau lembaga, saat ini banyak personel berada di luar struktur. Jadi jangan kaget bila saat ini ada Jenderal Polisi (di) Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (10/4/2025).
Bambang kemudian merujuk Pasal 100 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penafsirannya, hanya pasal-pasal dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan yang mengandung suatu norma, sedangkan penjelasan hanya memberikan tafsiran resmi pada pasal-pasal tersebut.
Ini berarti penjelasan peraturan perundang-undangan tidak dapat berisi suatu rumusan norma baru. Bagian penjelasan juga tidak dapat memperluas/mempersempit/menambah norma yang terkandung dalam pasal dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan.
“Artinya penjelasan Pasal 28 ayat (3) tidak bisa menjadi landasan hukum sebuah perintah Kapolri untuk menugaskan personelnya di luar struktur, tanpa melihat pasal atau mengabaikan pasal sebagai norma pokok,” ujarnya.
Dia menambahkan bila merujuk Pasal 147 dan 148 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, atau bahkan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, yang menyebut bahwa anggota TNI dan Polri dapat diangkat ke dalam jabatan ASN tertentu, pun juga harus melihat aturan asal, yakni UU Polri.
“Jadi, penempatan personel aktif di luar struktur, yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, jelas adalah pelanggaran Undang-Undang,” tegasnya.
Mengancam Meritokrasi dan Rawan Tumpang Tindih
Bambang juga menyoroti urgensi penempatan personel Polri aktif di sejumlah kementerian dan lembaga sipil. Menurutnya, tidak ada hal mendesak untuk menempatkan Polri sebagai personel di luar struktur, karena Polri adalah pelaksana Undang-Undang.
“Problem ego sektoral dan lemahnya koordinasi antarlembaga tidak bisa diselesaikan dengan menyederhanakan persoalan penempatan personel Polri di K/L. Demikian juga dengan menggelembungnya jumlah perwira menengah dan tinggi Polri yang tidak sebanding dengan jumlah jabatan internal yang ada,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal proses meritokrasi –pemberian penghargaan berdasar prestasi atau kemampuan– yang terjadi di internal kementerian atau lembaga sipil yang berpotensi terganggu jika Polri turut menduduki jabatan tersebut.
“Problem meritokrasi di internal Polri harusnya juga tidak membuat beban K/L lain, yang juga akan mengganggu pola kaderisasi di internal K/L yang dimasuki personel kepolisian,” ujarnya
Menurut Bambang, penempatan personel Polri di luar struktur tidak bisa diartikan sebagai “dwifungsi” peran militer dan sipil, karena Polri bukan bagian institusi militer seperti saat Orde Baru. Ia menegaskan, dikotomi sipil-militer tidak berlaku lagi sejak Polri dipisahkan dengan TNI.
Namun, kata Bambang, kekhawatiran terkait “dwifungsi” atau “multifungsi” Polri dalam konteks menduduki jabatan sipil terkait dengan pembagian peran. Sebagai ujung tombak penegak hukum, ada peran yudikatif yang dipegang polisi. Sehingga mereka harus bisa melepas beban kepentingan-kepentingan lain saat melakukan penegakan hukum.
Menurut dia menambahkan, meskipun Polri juga memiliki peran birokrasi dalam pelayanan serta menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), perlu ada pemisahan yang tegas dengan sisi peran penegak hukum.
“Jadi ketika personel Polri berada di luar struktur, peran apa yang sedang dilakukan di dalam kementerian/lembaga tersebut? Apakah sebagai penegak hukum atau peran birokrasi? Tumpang tindih itulah yg menyebabkan munculnya konflik kepentingan bila di K/L terdapat pelanggaran pidana,” ujarnya.
Editor: Alfons Yoshio Hartanto