tirto.id - Aroma tempe tepung yang digoreng dan harum segelas kopi baru diseduh, menggelitik hidung. Dua lelaki duduk dengan kaki bersila di bangku kayu panjang sambil makan gorengan dan bertukar kata. Hari belum beranjak siang, tetapi warung nasi uduk milik Acih, lengang tak seperti biasanya.
“Jam segini biasanya rame-ramenya orang yang kerja di gudang [perusahaan ekspedisi] baru ganti sifmakan uduk,” kata Acih ditemui reporter Tirto di warungnya, di Jampang, Kabupaten Bogor, Jumat (23/2/2024).
Nasi uduk yang dijual Acih ludes terjual sejak dia buka pukul 06.30 WIB. Bersyukur barang tentu, namun di baliknya, ada keterpaksaan serta siasat yang dikelola Acih. Pasalnya, wanita berumur 36 tahun itu memang sengaja mengurangi jumlah nasi uduk yang biasa dijual.
“Beras mahal sekarang, mau enggak mau, bikin enggak banyak nih uduk pagi biar malem entaran bisa kita jualan lagi [nasi uduk],” ujar Acih.
Biasanya, kata dia, porsi nasi uduk pagi yang dibuatnya bisa untuk dijual sampai pukul 10.00 WIB. Namun, karena harga beras yang semakin mahal akhir-akhir ini, Acih sengaja mengurangi jumlah beras yang digunakannya untuk membuat nasi uduk.
“Ini sejam buka pagi juga udah abis, ye emang dikit bikinnya, empat liter juga enggak sampe kali,” terang dia.
Berdasarkan Panel Harga Pangan Bapanas, per 23 Februari 2024, harga rerata nasional beras medium Rp14.210 per kg. Untuk harga beras premium mencapai Rp16.270 per kg.
Padahal, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan dalam Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 7 Tahun 2023 sebesar Rp10.900 sampai dengan Rp11.800 per kg untuk beras medium dan Rp13.900 sampai dengan Rp14.800 per kg untuk beras premium.
Acih menyatakan kenaikan harga beras berdampak langsung ke pemasukannya. Sebab, mengurangi jumlah nasi uduk yang dijajakannya niscaya membuat penghasilannya mengempis. Tak patah arang, Acih mengakali situasi teruk ini dengan menjual gorengan lebih banyak.
“Lumayan untuk nambah-nambahin, biasanya orang enggak jadi beli uduk kan abis, tapi akhirnya borong gorengan,” tutur Acih.
Ibu dari satu orang bocah perempuan berusia enam tahun itu berharap pemerintah bisa membuat harga beras kembali normal. Pasalnya, warung tempat Acih biasa membeli beras sempat naik harga sampai Rp4.000, bahkan pernah beberapa hari lalu dia kehabisan beras karena stok di warung langganannya habis.
“Sempat tutup pagi, tapi buka sebentar malemnya tuh buat jualan karena enggak kebagian beras. Jadi itu pake cadangan di rumah, gini terus mah ya Allah, ampun-ampunan deh,” ungkap Acih.
Stok Beras Sempat Langka di Tengah Guyuran Bansos
Sejak awal tahun, stok beras di pasar dan ritel modern mulai mengalami defisit. Sejumlah minimarket dan swalayan juga mengalami kekurangan stok beras, baik medium maupun premium. Di pasar-pasar, keadaan tidak jauh berbeda.
Presiden Joko Widodo mengambil langkah dengan meminta jajarannya mengguyur pasar-pasar dengan beras. Namun, situasi hingga saat ini tidak banyak berubah. Para pedagang kecil dan masyarakat luas masih mengeluhkan harga beras yang terus meroket, bahkan mulai sulit didapat.
Sebagaimana yang dikeluhkan Asih, 52 tahun, pemilik warteg di daerah Yasmin, Kota Bogor. Wanita yang sudah hampir 18 tahun menggeluti usaha kuliner itu merasa betul dampak melonjaknya harga beras jauh dari harga normal. Keadaan ini membuat Asih merasa ada yang tidak beres dengan penanganan pemerintah menggembosi harga beras.
“Saya bingungnya gini loh, ya masa ini udah mau bulan puasa [Ramadan] tapi harga masih naik. Eh bansos jalan juga, itu gimana ya,” kata Asih bertanya-tanya.
Meroketnya harga beras dan defisit stok ini memang terjadi di tengah guyuran berbagai bantuan sosial (bansos) dari pemerintah sejak akhir tahun lalu dan awal tahun 2024. Misalnya, bansos pangan tunai langsung/non-tunai serta bansos beras 10 kg yang diperpanjang hingga Juni 2024.
Asih menuturkan, selama menggeluti usaha warteg, memang beberapa kali dirinya mengalami harga pangan pokok yang melonjak. Namun, kata dia, tidak biasanya lonjakan harga ini terus bertahan di tengah tahun politik dan jelang bulan suci Ramadan. Dia khawatir, penghasilannya justru seret di bulan suci umat Islam tersebut.
“Ini sudah mau puasa beberapa hari lagi mas, kita yang merantau harus pulang juga nanti sebelum lebaran. Uang habis untuk modal jualan doang,” ungkap Asih sambil melayani pelanggan.
Reporter Tirto menemui Asih di warungnya lepas waktu salat Jumat atau sekitar 13.15 WIB. Pelanggan yang masih mengenakan baju koko dan peci memenuhi sudut warteg yang tidak terlalu besar itu. Asih cekatan melayani berbagai menu yang ditunjuk para pelanggan di etalase warteg laiknya menekan layar gawai.
“Alhamdulillahnya, di tengah [situasi] begini, ada aja memang pelanggan, tapi pemasukan terdampak sudah pasti,” ujar Acih.
Dalam situasi yang mengimpit pemasukannya, Asih terpaksa putar otak agar dapat balik modal tanpa harus menaikkan harga dagangannya. Dia memilih memanjangkan jam buka warung nasi miliknya itu hingga larut malam.
“Wah enggak deh mas, tulah itu menaikkan harga ke langganan, saya mending yo dibuka aja warungnya agak malam. Ini udah jalan hampir sebulanan deh ya,” tutur Acih.
Biasanya, kata dia, warteg di pinggir jalan itu tutup pintu pukul 21.00-21.30 WIB. Namun, dalam situasi harga beras yang terus meroket, Asih buka bisa sampai 23.00 WIB. Menurut dia, terkadang masih ada pelanggan yang memang pulang larut malam dan mampir untuk makan atau sekadar ngopi.
“Capek pasti kan ya, kadang saya gantian sama suami jaganya, daripada kita rugi ada yang dikorbanin deh,” jelas Asih dengan nada lirih.
Di tengah kecamuk harga beras dan bahan pokok lain yang meroket, masyarakat dan pedagang kecil harus bersiasat agar terus bertahan. Banyak yang harus dikorbankan mulai dari waktu dan tenaga, tetapi harapan tidak putus-putusnya. Pemerintah diharapkan mampu mengatasi situasi ini sebelum masuk bulan Ramadan dan tidak membuat rakyat kian menjerit dan putar otak.
“Nonton di berita TV katanya mau impor atau apa lah saya ndak tahu, intinya harga [beras] turun aja sudah kayak biasa, ini kelamaan naiknya,” harap Asih.
Kenaikan Harga Beras di tengah Pesta Elektoral
Melambungnya harga beras ini disinyalir terjadi di tengah pesta elektoral perebutan kursi eksekutif dan legislatif. Partai politik dan kontestan pemilu masih saling gesek untuk mengamankan posisi masing-masing. Pesta demokrasi lima tahunan yang seharusnya menjadi ajang rakyat menyuarakan hak pilihnya ini, justru dinilai turut berkontribusi menjadi salah satu faktor kenaikan harga beras.
Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menyatakan defisit dan kenaikan harga beras ini suatu anomali. Sebab, jika dihitung, kata dia, stok beras awal tahun mencapai 6,7 juta ton. Bahkan jika mengacu Bapanas stok awal tahun mencapai sekitar 7,4 juta ton.
“Sedangkan konsumsi per bulannya itu rata-rata 2,5 juta ton. Dengan besaran stok demikian, semestinya cukup,” kata Eliza dihubungi reporter Tirto, Jumat (23/1/2024).
Menurut Eliza, persoalannya ada pada distribusi dan ketiadaan data yang dapat melacak pendistribusian dan stok beras di tingkat penggilingan, korporasi, ritel dan masyarakat luas. Sejauh ini data tersebut baru tersedia di level produksi petani.
Harga beras yang tinggi akhir-akhir ini juga disebabkan pola tahunan. Namun, karena bertepatan dengan momentum pemilu, pesta elektoral yang dilakoni para elite ini turut menjadi salah satu faktor.
“Sebab dalam rangka silaturahmi dan kunjungan ke masyarakat kerap diikuti dengan pembagian sembako,” ujar Eliza.
Di sisi lain, Eliza menilai kebijakan pemerintah yang jor-joran mengguyur bansos berdampak pada tidak cukup kuatnya pemerintah mengintervensi pasar dikala harga beras sedang tinggi seperti saat ini.
“Jadi yang membuat harga-harga pangan meningkat selain karena pola tahunan juga meningkatnya permintaan karena momentum pesta demokrasi. Disambung lagi dengan menjelang [bulan] Ramadan,” jelas Eliza.
Menurut Anggota DPR RI Komisi IX dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani Aher, langka dan mahalnya beras di pasaran selama beberapa bulan terakhir diduga akibat dari kebijakan bansos pemerintah yang salah penerapan.
Netty tidak sependapat dengan pemerintah yang menyebut langka dan mahalnya beras di pasaran, karena perubahan cuaca yang membuat hasil panen turun.
“Kondisi ini mengkhawatirkan karena dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap bahan pokok. Padahal sebentar lagi kita memasuki bulan suci Ramadan dan Idulfitri di mana kebutuhan akan bahan pokok meningkat,” kata Netty di Jakarta, Jumat (23/2/2024).
Netty mendesak pemerintah melakukan langkah-langkah penanggulangan dengan aksi nyata daripada sibuk klarifikasi soal bansos dan kelangkaan beras. Tanggung jawab negara, kata dia, menyediakan bahan pangan murah dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP IKAPPI, Reynaldi Sarijowan, menyatakan penyebab terjadinya lonjakan harga beras selain karena molornya musim tanam dan musim panen, ditambah faktor produksi tahun lalu yang terbatas sehingga terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan permintaan. Kenaikan harga beras tahun ini, kata dia, mencapai 20 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Reynaldi mengakui, pedagang kesulitan mendapatkan beras premium karena stok yang dimiliki penggilingan juga terbatas. Hal ini harus diwaspadai semua pihak agar stok-stok yang dimiliki, khususnya beras premium segera dikeluarkan.
“Termasuk pabrik-pabrik lokal, karena semakin tertahan beras premium, semakin naik harganya dan kondisinya akan semakin buruk,” kata Reynaldi dikonfirmasi Tirto, Jumat (23/2/2024).
Sebelumnya, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Perekonomian, Edy Priyono membantah pemberian bansos pemerintah mempengaruhi kenaikan harga beras. Edy beralasan, beras yang diberikan merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog. Dia menilai tudingan tersebut tidak masuk akal.
“Kan memang sudah ada alokasinya kok, alokasi cadangan beras pemerintah tidak mengurangi alokasi cadangan beras pemerintah yang digunakan untuk stabilisasi harga dan pangan,” kata Edy di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Senin lalu.
Di sisi lain, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, sempat menyatakan bahwa Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikuasai Perum Bulog saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan Ramadan dan Idul Fitri. Dia memastikan, Bulog sudah menggelontorkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) untuk meredam kenaikan harga.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri