tirto.id - Pemerintah Indonesia tengah mengintensifkan upaya diplomatik dan kemanusiaan di kawasan Timur Tengah, khususnya dalam menyikapi perkembangan situasi di Palestina. Hal ini menjadi salah satu fokus utama dalam kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto, ke sejumlah negara di kawasan tersebut, termasuk Turki, Persatuan Emirat Arab (PEA), Mesir, Qatar, dan Yordania.
Kunjungan Prabowo ini tidak hanya bersifat bilateral, tetapi juga dimaksudkan untuk melakukan konsultasi mendalam terkait situasi geopolitik dan kondisi kemanusiaan di Palestina. Dalam konteks bantuan kemanusiaan, Prabowo bahkan menyatakan kesiapan untuk membantu secara aktif, termasuk kemungkinan mengevakuasi warga Gaza.
Sesuai rencana awal, sebanyak 1.000 korban Gaza akan ditampung Indonesia pada gelombang evakuasi pertama. Ribuan korban itu meliputi korban luka-luka, anak-anak yatim piatu, dan pelajar-pelajar yang terdampak konflik ke Indonesia. Namun rencana ini dapat berjalan selama hal tersebut diminta dan disetujui oleh semua pihak terkait.
“Syaratnya adalah semua pihak harus menyetujui hal ini. Kedua, mereka di sini hanya sementara sampai pulih kembali, dan pada saat pulih dan sehat kembali, serta kondisi Gaza sudah memungkinkan, mereka harus kembali ke daerah mereka berasal,” kata Prabowo jelang lawatan ke kawasan Timur Tengah dan Turki di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu (9/4/2025).
Prabowo mengatakan, Indonesia memiliki posisi strategis sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. World Population Review memperkirakan, 88 persen muslim di Indonesia jumlahnya mencapai 242,7 juta pada 2025, atau lebih tinggi dari 96 persen muslim di Afganistan (240,7 juta). Oleh karenanya, Indonesia siap mengevakuasi korban Gaza, meski secara geografis Indonesia berada jauh dari daerah konflik Timur Tengah.
Pertimbangan lain ialah posisi Indonesia sebagai negara non-blok yang bebas aktif. Peran Indonesia sebagai pihak yang diterima semua pihak mendapatkan kepercayaan dari dunia internasional.
“Posisi ini membuat kita memang memiliki tanggung jawab. Karena itu saya sampaikan bahwa Indonesia siap bila diminta oleh semua pihak yang terlibat untuk berperan kami siap, berperan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan Indonesia,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, menyatakan, posisi Indonesia konsisten dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina dan menolak segala bentuk relokasi paksa terhadap warga Gaza. Menlu Sugiono menegaskan, langkah-langkah kemanusiaan yang tengah dipertimbangkan oleh Indonesia ini bersifat sukarela dan harus berdasarkan persetujuan semua pihak yang terlibat.
Sugiono menambahkan, tawaran tersebut sepenuhnya merupakan bentuk kepedulian dan kemanusiaan Indonesia. “Kita siap jika dibutuhkan untuk menampung korban-korban luka, anak yatim, kemudian anak-anak, pelajar-pelajar untuk dirawat di Indonesia dan pada saatnya mereka juga harus kembali ke Gaza,” imbuhnya.
Dinilai Buka Jalan Pendudukan Israel
Meskipun niatnya baik secara kemanusiaan, namun rencana evakuasi massal warga sipil dari Jalur Gaza menuai kecaman dari berbagai pihak. Sebab, langkah tersebut bukan sekadar upaya perlindungan terhadap warga sipil, melainkan bisa menjadi strategi terselubung yang membuka jalan bagi pendudukan permanen oleh Israel dengan dukungan Amerika Serikat.
Terlebih pada Januari lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, sempat melontarkan wacana kontroversial. Beberapa waktu sebelum dilantik, Trump disebut berencana akan merelokasi warga Palestina di Jalur Gaza ke sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Dikutip dari NBC News, wacana itu disampaikan oleh salah seorang anggota tim transisi pemerintahan Trump yang namanya tidak disebutkan.
Anggota tim transisi Trump itu menyebut bahwa wacana relokasi warga Gaza merupakan bagian dari upaya untuk membangun kembali Gaza. Hal itu juga merupakan bagian dari rencana jangka panjang usai kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel berlaku sejak 19 Januari 2025 lalu.
Pengamat Hubungan Internasional dari Fakultas Humaniora, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, mengatakan, jika permintaan evakuasi ini dari otoritas Palestina, atau hamas sebagai otoritas utama di Gaza, maka tentu ini adalah kesempatan Indonesia untuk menerima dan menyiapkan segala kebutuhan agar program ini bisa dijalankan dengan baik. Namun, jika keinginan ini karena inisiatif pemerintah Indonesia, karena posisinya dengan AS hari ini, maka sepertinya kebijakan ini harus diurungkan.
Menurut dia, kebijakan ini harus dilakukan atas nama kedaruratan. Artinya tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan warga Gaza yang paling terdampak dari penyerangan zionis Israel kali ini. Jika masih ada opsi lain, misalnya dengan memusatkan evakuasi di negara-negara tetangga Palestina, dan Indonesia fokus sebagai pembantu dengan tim dan finansial memadai untuk memberi pendampingan, maka opsi ini mesti dipertimbangkan lebih.
Di sisi lain, dalam kunjungannya ke Timur Tengah hari-hari ini, Prabowo perlu menggalang dukungan secara konkret, tidak hanya untuk menyelamatkan warga Palestina, tapi untuk menekan Israel secara lebih tegas dan keras. Misalnya dengan ancaman boikot resmi dari negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI), terhadap Israel.
“Saatnya Indonesia menggalang kembali dunia Internasional untuk menuntut kemerdekaan Palestina, dan melaksanakan keputusan pengadilan internasional terkait pemukiman penjajah Israel dan lain sebagainya. Momentum ini penting, dan terbatas oleh waktu,” jelas dia.
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, mengingatkan pemerintah agar rencana evakuasi warga Gaza jangan sampai terkesan mendukung rencana Israel dan Amerika Serikat yang hendak menguasai tanah Palestina. Karena di sisi lain, Israel akan menghalangi warga Palestina yang telah dirawat di Indonesia untuk kembali ke tanah airnya. Hal itu dianggap bisa berujung pada pelemahan eksistensi warga Palestina di wilayahnya sendiri.
“Kalau mereka tidak bisa kembali, justru ini bisa sejalan dengan upaya penghapusan etnis (genosida) yang dilakukan Israel. Karena tujuan Israel adalah merebut wilayah dan mengusir warga Palestina,” kata TB Hasanuddin dalam keterangan pers kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).
Dia mempertanyakan apakah rencana Presiden Prabowo tersebut merupakan kebijakan dari gagasan pribadinya karena kebutuhan mendesak dari warga Palestina, atau justru agenda terselubung pihak luar.
TB Hasanuddin meminta agar kebijakan tersebut ditunda atau bahkan tak perlu dilakukan apabila dalam proses perencanaan evakuasi warga Gaza tidak ditemukan cara untuk menjamin mereka bisa pulang ke tanah airnya. Karena mengevakuasi ribuan orang ke Indonesia harus dipikirkan dampak, efek, dan mekanisme pemulangannya.
“Kalau tidak bisa kembali, sebaiknya jangan dilakukan. Biarkan mereka merdeka di negerinya sendiri, dan kita harus mendukung sepenuhnya,” kata politikus PDIP tersebut.
Sementara itu, Dosen di Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Ignasius Loyola Adhi Bhaskara, justru berpendapat masih terlalu dini untuk bilang rencana Prabowo relokasi warga Gaza membuka potensi jalan pendudukan Israel dan Amerika di kawasan Gaza. Terlebih baru Indonesia yang secara terbuka mengatakan akan "menampung" korban Gaza.
"Meskipun, di sisi lain, secara simbolis ini cukup signifikan. Mengingat posisi Indonesia yang cukup unik sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia vokal terhadap isu Palestina dan serangan ke Gaza, serta juga memiliki hubungan baik dengan dunia Barat," kata pria akrab disapa Aska kepada Tirto, Jumat (11/4/2025).
Menurutnya, situasi ini bisa dijadikan modal bagi AS dan negara-negara lain untuk mendorong komunitas internasional melakukan hal yang serupa. Kendati memang pada akhirnya secara tidak langsung bisa memuluskan rencana pendudukan Israel dan Amerika dalam jangka panjang.
"Meskipun juga perlu benar-benar dipertimbangkan sejauh mana kesiapan Indonesia untuk menampung 1.000 orang korban Gaza tersebut, termasuk dari segi pendanaan. Mengingat APBN kita juga sekarang sangat ketat," pungkas dia.
Langkah Tergesa-gesa
Dosen hubungan internasional sekaligus pendiri lembaga penelitian dan pelatihan independen Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, melihat agenda besar Prabowo dalam merelokasi warga Gaza sebagai langkah terburu-buru. Sebab dari Kementerian Luar Negeri sendiri, menurutnya tidak ada persiapan khusus untuk menangani hal ini.
“Tapi memang komentar saya itu sisi kemanusiaan kalau untuk Israel-Palestina tidak bisa dilepas dari sisi politik. Dan saya menangkap kesan Pak Prabowo ini tergesa-gesa. Memang Menlu (Sugiono) ikut kunjungan Prabowo, tapi faktanya itu secara kelembagaan tidak ada penyiapan secara sistem,” ujar Dinna saat dihubungi Tirto, Jumat (11/4/2025).
Lebih jauh, Dinna melihat apa yang ditawarkan oleh Prabowo untuk merelokasi warga Gaza secara tidak langsung merupakan tawaran negosiasi. Jadi bukan sekedar Indonesia datang untuk bantuan kemanusiaan, melainkan tawaran apa saja menjadi keuntungan Indonesia dan negara lainnya.
"Orang lain melihatnya itu satu tawaran, kan. Mereka akan saling melihat sisi tawaran Indonesia ini menguntungkan buat saya atau enggak. Nah, saya melihat yang akan diuntungkan dari proposal kita ironisnya itu bukan orang Palestina. Dan bukan pihak-pihak yang ingin two state solution, tapi justru pihak yang inginnya one state solution Israel only,” jelas Dinna.
Maka secara tidak langsung, kata Dinna, Indonesia malah mendukung agendanya Israel dan Amerika untuk melakukan rekonstruksi Gaza dengan cara memindahkan orang.
Alih-alih merelokasi warga Gaza ke Indonesia, menurut Dinna, lebih baik pemerintah mencari jalan lain untuk mendukung kemanusiaan Palestina. Dalam situasi ketidakpastian saat ini, hal pertama bisa dilakukan oleh Indonesia dalam kunjungan ke luar negeri misalnya, dapat mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang mana saja pihak-pihak yang pas untuk jadi mitranya Indonesia dalam memberikan bantuan kemanusiaan yang lebih dari sekedar ngedrop barang ke orang Palestina.
“Kan kita ingin lebih tuh dari sekadar ngedrop susu atau nasi atau beras atau apa,” kata dia.
Sementara dalam hal kesehatan, kata dia, Indonesia dapat mengirim dokter dan obat-obatan ke sana. Bahkan bila perlu, Indonesia dapat mengirimkan beberapa dokter spesialis atau ahli tulang untuk mengatasi warga menjadi korban di Gaza.
Pada akhirnya memang, langkah ini dianggap sebagai bentuk empati oleh pemerintah terhadap penderitaan rakyat Palestina akibat agresi berkepanjangan. Namun, wacana ini juga perlu diingatkan agar langkah ini tidak justru mengaburkan tujuan utama: kemerdekaan penuh bagi Palestina.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz