Menuju konten utama

Mengapa Perempuan Pejuang Lingkungan Masih Menghadapi Ancaman?

Adanya ancaman kriminalisasi pada pembela lingkungan, terutama perempuan mengindikasikan gejala penyempitan demokrasi.

Mengapa Perempuan Pejuang Lingkungan Masih Menghadapi Ancaman?
ILUSTRASI. Aktivis dari sejumlah perguruan tinggi beraksi damai membawa poster menuntut hak keadilan lingkungan hidup di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Senin (7/6/2021). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.

tirto.id - Nada suara Emilia terpecah ketika air mata tak bisa lagi dibendung. Perempuan asal Desa Seribandung, Ogan Ilir, Sumatera Selatan itu tak kuasa menahan emosi saat bercerita soal perjuangan warga desanya menghadapi konflik sengketa lahan. Puluhan tahun, sejak 1982, masyarakat Ogan Ilir terlibat saling klaim lahan dengan perusahaan tebu BUMN.

Emilia menyatakan bahwa warga menuntut tanah adat (ulayat) yang digarap perusahaan dikembalikan. Dia mengaku sebagai generasi ketiga yang memperjuangkan hak ruang hidup warga Ogan Ilir atas perusahaan tersebut.

Pada 2012, konflik lahan meruncing sebab warga menilai hak guna usaha (HGU) perusahaan bermasalah. Di tahun itu, konflik memakan korban jiwa dengan tewasnya seorang bocah 12 tahun karena luka tembak di kepala.

Emilia berujar, rentetan perjuangan warga tidak mudah, terutama bagi perempuan yang terus mendapatkan intimidasi ketika mempertahankan ruang hidupnya. Intimidasi itu kerap kali dalam bentuk pengerahan aparat penegak hukum disaat warga menuntut penyelesaian konflik lahan.

“Kita sebagai perempuan khususnya yang berjuang, maaf saya tidak bisa mengendalikan emosi saya, karena saya seorang kepala keluarga yang harus berjuang untuk anak saya, tetapi kita tidak mempunyai lahan lagi untuk bertani, tidak mempunyai lagi pekerjaan,” kata dia sambil terisak dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (7/3/2024).

Menurut Emilia, warga tidak dapat lagi bertani secara mandiri sebab sudah tidak punya lahan. Hanya tersisa pilihan menjadi buruh harian di perusahaan tebu yang upahnya tidak seberapa. Di sisi lain, konflik lahan berkepanjangan ini semakin menunjukkan perempuan sebagai pejuang lingkungan, begitu tidak terlindungi payung hukum ketika menyuarakan hak atas hidupnya.

“Kalau laki-laki yang dicari [polisi] tidak ada laki-laki itu di rumah, maka perempuan dan anak yang akan menggantikan suaminya untuk ditangkap oleh polisi. Jadi kami merasa bahwa kami mengalami ketidakadilan,” ujar Emilia.

Emilia juga sudah berkali-kali meminta bantuan pemerintah pusat dan daerah untuk membenahi konflik sengketa lahan antara warga dengan perusahaan. Namun, upaya audiensi yang dilakukan dirinya bersama para perempuan lain dari Ogan Ilir, kerap dibenturkan tembok tebal.

Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, sejak 1982 hingga 2018, konflik lahan yang terjadi di Ogan Ilir itu menyebabkan sebanyak 65 orang diduga dikriminalisasi, 18 orang terkena luka tembak, 2 orang cacat fisik, 1 orang gangguan jiwa, dan 2 orang tewas.

“Kalau ke [pemerintah] pusat [dibilang] ini wewenangnya daerah, kalau ke [pemerintah] daerah ini [dibilang] wewenangnya pusat,” ujar perempuan yang juga aktivis di Solidaritas Perempuan Palembang itu.

Perjuangan pelik serupa juga dirasakan Yunita Djarang, perempuan pejuang lingkungan perwakilan dari Save Sangihe Island (SSI). Yunita bercerita bagaimana perjuangan warga Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, menolak perusahaan tambang emas swasta asal Kanada. Pada 2021, kata Yunita, perusahaan tambang yang masuk ingin menguasai 42.000 hektare Pulau Sangihe.

“Jadi kami masyarakat Sangihe sebagai perempuan itu merasa terancam ruang hidup kami, luas wilayah kami itu hanya 73 ribu hektare,” ujar Yunita.

Masyarakat Sangihe berupaya menempuh jalur hukum ke pengadilan dan memenangkan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Status operasi produk perusahaan itu dicabut sesuai Putusan Mahkamah Agung Nomor 650/K/TUN/2022 tanggal 12 Januari 2023. Namun, kata Yunita, nyatanya aktivitas tambang masih terjadi meski diduga dilakukan ilegal.

Serupa dengan perjuangan Emilia, masyarakat Sangihe yang mengadu ke pemerintah juga selalu diping-pong. Terlebih, intimidasi kepada pejuang lingkungan di Sangihe juga masih terjadi. Padahal, perempuan punya andil besar dalam perjuangan itu, termasuk upaya 56 perempuan Sangihe yang melakukan upaya gugatan ke Dinas Lingkungan Hidup.

“Mau mengadu ke mana [lagi]? Karena aparat penegak hukum itu tidak memihak kepada masyarakat, karena diduga ada keterlibatan dari APH dalam tambang ilegal itu,” kata Yunita.

Aturan Masih Lemah

Lemahnya penegakan aturan yang sudah eksis membuat pejuang lingkungan, terutama perempuan pembela lingkungan yang menyuarakan hak atas ruang hidupnya, semakin rentan mengalami intimidasi dan kekerasan. Padahal sudah ada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang memastikan pejuang lingkungan tidak dapat dikriminalisasi.

Pasal 66 UU itu menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Namun ternyata aturan ini belum cukup melindungi pejuang lingkungan dan pembela HAM bebas mengutarakan pendapat dan memperjuangkan hak mereka.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan aturan yang sudah ada ini tidak operasional sebab pada kenyataanya masih belum memberikan perlindungan pada perempuan pejuang lingkungan. Kisah perjuangan Emilia di Ogan Ilir dan Yulia di Sangihe, kata dia, menjadi bukti nyatanya bahwa aturan ini masih loyo dalam memberikan jaminan perlindungan.

“Tidak ada mekanisme yang disediakan negara untuk menjamin [perlindungan] partisipasi publik dan orang ketika berpartisipasi dalam perumusan kebijakan, memilih model ekonomi, memilih model pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan perempuan atau kebutuhan rakyat secara umum,” kata Uli dalam kesempatan yang sama.

Menurut Uli, Pasal 66 dalam Undang-Undang PPLH tidak mampu menjangkau tindakan-tindakan intimidasi, serangan psikologis, serangan seksual, pelecehan seksual, dan kekerasan verbal yang mungkin akan dihadapi oleh perempuan pejuang lingkungan dan pembela HAM.

Masih diperlukan instrumen hukum berupa kelengkapan aturan turunan atau payung hukum tentang jaminan partisipasi publik yang dapat menegaskan perlindungan perempuan pembela lingkungan dan pembela HAM secara umum.

“Jadi sebenarnya ketika pun negara akan mengimplementasikan Pasal [66] ini, dibutuhkan penguatan-penguatan lebih lanjut terhadap pasal ini juga,” jelas Uli.

Masih rentannya perlindungan terhadap perempuan pejuang lingkungan tergambar dari maraknya dugaan kriminalisasi yang terus terjadi. Menurut data WALHI (2024), sebanyak 1.054 orang yang terdiri dari 1.019 laki-laki, 28 perempuan, dan 11 anak-anak diduga mengalami kriminalisasi akibat memperjuangkan lingkungan selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Uli menjelaskan, meski jumlah perempuan yang diduga mengalami kriminalisasi lebih sedikit, namun secara umum dampak tindakan ini meskipun terjadi pada laki-laki, tetap berimbas besar pada perempuan. Selain itu, negara juga seharusnya wajib memberikan pendampingan psikologi bagi perempuan pejuang lingkungan yang terbebani dengan ancaman intimidasi dan kriminalisasi.

“[Perempuan] Menjadi korban terdampak dari kriminalisasi baik secara psikologi baik secara ekonomi. Belum lagi kemudian omongan orang mereka dapat stigma sebagai istri kriminal misalnya, yang sebenarnya suaminya bukan seorang kriminal,” ujar Uli.

Peneliti Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Prilia Kartika Apsari, menyampaikan masih adanya ancaman kriminalisasi pada pembela lingkungan, terutama perempuan pejuang lingkungan, mengindikasikan gejala penyempitan demokrasi. Sebab, sudah banyak aturan yang menegaskan bahwa pejuang lingkungan seharusnya tidak dapat digugat pidana dan perdata.

Misalnya, selain Pasal 66 UU PPLH, Indonesia juga memiliki Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022. Dua aturan ini semestinya memberikan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menerapkan prinsip anti-SLAPP (strategic lawsuit against public participation).

“Maka dari itu sebenarnya sangat perlu adanya peraturan-peraturan turunan dari Pasal 66 tersebut yang bisa [lebih] menjamin,” kata Prilia.

Menurut Prilia, diperlukan instrumen hukum di level undang-undang terkait partisipasi publik untuk memastikan perlindungan bagi masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Bukan saja hak lingkungan hidup, kata dia, tetapi juga terkait sosial politik atau ekosop lainnya. Di dalamnya juga harus interseksional di mana yang dilindungi bukan hanya masyarakat sipil secara umum tetapi juga masyarakat rentan seperti perempuan, disabilitas, lansia dan inklusi sosial untuk kelompok-kelompok gender lainnya.

“Kita sebagai masyarakat sipil juga harus terus mengawal seluruh bentuk perkembangan atau kemunduran yang terjadi di Indonesia secara legislasi,” terang Prilia.

Respons Pemerintah

Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Agung Budi Santoso, menyampaikan memang ada beberapa faktor mengapa penerapan aturan hukum yang sudah ada masih membuat perempuan pejuang lingkungan terancam kriminalisasi. Misalnya, kata dia, terkait perspektif dari pelaksana peraturan sendiri yang kurang memahami secara komprehensif.

“Implementasinya sendiri kurang didukung dengan sistem SOP yang benar kalau ada kasus. Dan layanan pengaduan-pengaduan seharusnya dikuatkan,” kata Agung kepada reporter Tirto, Jumat (8/3/2024).

Agung menyatakan, pihaknya sendiri memiliki tugas untuk melakukan mitigasi dan pendampingan jika ada kasus-kasus kekerasan yang menyasar perempuan, termasuk mereka yang menjadi garda terdepan melindungi lingkungan.

Dia mengklaim terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan organisasi-organisasi lingkungan untuk mencegah perempuan pejuang lingkungan terkena kriminalisasi dan kekerasan.

“Keterlibatan kami hadir dalam proses proses kebijakan lintas sektor dalam bentuk koordinasi, juga jika ada kasus kekerasan. Penyediaan lembaga layanan melalui UPTD dan pusat. Kami mendampingi berdasarkan jenis kekerasan seperti psikis, fisik, dan lain-lain. Ini agar kami memberikan layanan spesifik untuk membantu korban,” jelas Agung.

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz