Menuju konten utama

Demokrasi Belum Terlalu Lama Bergulir, Tapi Prabowo Sudah Lelah

Pernyataan Prabowo mengkhawatirkan karena dapat diterjemahkan publik bahwa pemerintahan dapat dijalankan tanpa mesti repot-repot mempertahankan demokrasi.

Demokrasi Belum Terlalu Lama Bergulir, Tapi Prabowo Sudah Lelah
Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto menyapa warga usai berziarah ke makam ayahnya Soemitro Djojohadikusumo di TPU Karet Bivak, Jakarta, Kamis (15/2/2024). ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/rwa.

tirto.id - Calon presiden nomor urut 2 sekaligus Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, beberapa waktu lalu menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia melelahkan.

Pernyataan yang ia utarakan dalam acara Mandiri Investment Forum, Selasa (5/3/2024) lalu itu sontak menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak.

Kelompok pro-demokrasi dan pengamat politik menilai pernyataan itu tidak biasa untuk seorang politikus. Alasannya, politikus yang mestinya berjiwa demokrat tentu tidak akan memandang demokrasi dengan nada pesimisme.

Terlebih, untuk seorang yang digadang-gadang berpotensi menjadi pemimpin nomor wahid negeri ini.

Keresahan atas ucapan Prabowo salah satunya diutarakan Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya. Menurutnya, pernyataan Prabowo menimbulkan kecemasan bersama.

Namun, kata dia, nada pesimisme dalam ucapan Prabowo tidak akan memengaruhi keinginan rakyat pada demokrasi yang sehat. Demokrasi adalah sarana penting agar rakyat bisa berpartisipasi untuk memperbaiki ruang tata kelola negara.

“Pesimisme ini kami lihat sebagai salah satu hal yang mencerminkan miskinnya imajinasi. Dalam beberapa kesempatan, bahkan jauh sebelum pencoblosan, ketika masa kampanye dan pra-pemilu, kami menyoroti sedikitnya jumlah Pak Prabowo hadir dalam forum-forum diskusi soal demokrasi,” kata Dimas kepada reporter Tirto, Kamis (7/3/2024).

Kontras menilai Parabowo memang minim gagasan demokrasi. Padahal demokrasi, kata Dimas, merupakan sarana penting untuk mendongkrak kehidupan ekonomi, sosial, kebudayaan, penegakan hukum di Indonesia.

Menurut Dimas, paradigma pemikiran Prabowo tidak bisa lepas dari latar belakangnya sebagai seorang prajurit militer.

Latar belakang prajurit yang dimiliki Prabowo, ungkao Dimas, membuatnya terbiasa menerjemahkan perintah dan mengedepankan hal-hal yang sifatnya taktis tanpa dapat diuji. Latar belakang militer ini pula yang menambah kekhawatiran Kontras menjadi ujian terbesar demokrasi ke depan.

Meskipun setelah rezim otoriter Orde Baru runtuh, Indonesia pernah dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan orang militer, secara histori Prabowo memiliki sejumlah catatan hitam yang membuatnya terlibat dalam kelindan kekuasaan rezim Orde Baru yang sangat tidak demokratis.

“Dengan segala hormat, Pak Prabowo ini punya catatan yang memang paling sering dalam konteks operasi-operasi militer [Orde Baru],” kata Dimas.

Nada pesimisme soal demokrasi dalam pernyataan Prabowo membuat demokrasi ke depan tampaknya kian suram. Pasalnya, kiwari demokrasi sudah mengalami kemunduran, sinar terang pascareformasi digulirkan semakin redup.

“Terjadi sepanjang 10 tahun atau 5 tahun terakhir pemerintahan periode Pak Jokowi, yang menabrak aturan-aturan main demokrasi. Seperti misalnya melakukan pembentukan perundangan tanpa adanya partisipasi publik yang bermakna,” ungkap Dimas.

Sebelumnya, Prabowo Subianto menyatakan demokrasi di Indonesia sangat mahal dan melelahkan. Dia berucap bahwa demokrasi berantakan dan masih terbuka untuk ruang perbaikan.

“Izinkan saya untuk mengungkapkan bahwa demokrasi itu benar-benar sangat-sangat melelahkan. Demokrasi itu sangat berantakan. Demokrasi sangat mahal dan kita masih belum puas dengan demokrasi kita. Ada banyak ruang untuk perbaikan,” kata Prabowo.

Lebih lanjut, ia mengapresiasi tingkat partisipasi rakyat dalam Pemilu 2024 yang disebutnya melampaui negara demokrasi manapun di dunia.

Dia juga mengingatkan agar masyarakat tidak rendah diri pada demokrasi saat ini. Namun Prabowo tidak menjelaskan lebih lanjut ruang perbaikan demokrasi yang dia maksud.

Menhan Prabowo terima kunjungan Wakil PM Australia

Menhan Prabowo Subianto (kiri) menyambut kedatangan Menhan sekaligus Wakil PM Australia Richard Marles (kanan) di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Jumat (23/2/2024). Pertemuan tersebut membahas seputar peluang untuk membangun kemitraan pertahanan masa kini dan di masa depan, sebagai upaya kerja sama dalam menyelesaikan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Australia-Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

Demokrat Sejati Tak Akan Lelah dengan Demokrasi

Peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpendapat pernyataan Prabowo soal demokrasi yang melelahkan bisa menjadi sebuah pintu masuk, menjadi sikap untuk mempertimbangkan ulang konsep demokrasi di negeri ini.

Sebuah sikap, yang menurut Firman hanya dirasakan oleh seseorang yang tidak menikmati demokrasi.

“Karena seorang [berjiwa] demokrat sejati tidak akan menyatakan hal seperti itu. Wajar demokrasi itu lelah, karena panjang prosesnya dan banyak orang terlibat,” kata Firman kepada reporter Tirto, Kamis (7/3/2024).

Bagi Firman, pernyataan Prabowo mengkhawatirkan karena dapat diterjemahkan publik bahwa pemerintahan dapat dijalankan tanpa mesti repot-repot mempertahankan demokrasi.

“Harus dinikmati dengan proses panjang bukan dikeluhkan. Kalau dikeluhkan kan bisa ditafsirkan, dia berarti tidak menikmati demokrasi, dan dia maka bukan [seorang berjiwa] demokrat,” ujar Firman.

Lebih lanjut, Firman menilai latar belakang militer tidak otomatis membuat seseorang antidemokrasi. Toh, rakyat sipil biasa juga bisa memiliki cara pandang yang tidak demokratis. Hal ini terbukti dari pemerintahan SBY yang dinilai Firman masih cukup menjaga elemen-elemen demokrasi pascareformasi.

“Jadi memang balik lagi ke person biar adil. Saya melihat Prabowo kurang luwes menjadi ikon apa yang kita sebut sebagai demokrasi. Sehingga kesan dia yang kaku itu tetap muncul. Terlebih isu HAM yang sering muncul [mengarah] Prabowo, yang kalau mau adil sejarah adalah penilaian yang fair pada demokrasi,” jelas Firman.

Demokrasi tidak didapat secara gratis. Kedaulatan rakyat dan supremasi sipil-- yang kini semakin mengkhawatirkan--di perjuangan lewat rentetan sejarah berdarah dan air mata.

Rezim Orde Baru yang carut-marut dugaan pelanggaran HAM akhirnya runtuh dan melahirkan reformasi. Namun sekali lagi, bukan berarti perjuangan mempertahankan demokrasi sudah rampung.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menulis kolom berjudul “Demokrasi Haruslah Diperjuangkan” yang terbit di majalah Tempo edisi 12 Agustus 1978. Darah dan air mata, kata Gus Dur, merupakan cucuran perjuangan saat ini sebagai “penyiram yang menghidupkan benih-benih demokrasi dan kebebasan.”

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa demokrasi mahal bukan karena uang yang dikeluarkan semata dalam pentas elektoral, namun sebab sangat menghargai kebebasan dan nyawa kehidupan manusia.

Demokrasi akan berubah murah jika kebebasan dan nyawa manusia tidak dihargai dan dilindungi oleh pemerintah.

“Demokrasi menghargai hak warga untuk berekspresi, termasuk berpendapat, berserikat, bahkan beroposisi. Demokrasi melindungi kedaulatan rakyat,” kata Usman kepada reporter Tirto, Kamis.

Demokrasi, kata Usman, membolehkan rakyat mengkritik penguasa yang mereka pilih. Meski ada proses pengambilan keputusan yang lambat karena mencari suara terbanyak, demokrasi juga melindungi kaum minoritas.

Maka, demokrasi pun dapat mengalami kemunduran jika tidak diperjuangkan atau ketika para elite lebih senang memikirkan kepentingan kelompok dibanding kepentingan rakyat.

Menurut Usman, menguatnya penggunaan pasal-pasal hukum yang represif, memusatnya kembali tata kelola pemerintahan dari daerah ke pusat, dan menurunnya kualitas partai politik adalah tanda kemunduran demokrasi.

“Ditambah, melemahnya independensi media, serta merosotnya kredibilitas lembaga penegak hukum dan polarisasi sosial politik,” ujar Usman.

Atau meminjam istilah yang disebut Guru Besar di Asia Institute, University of Melbourne, Vedi R Hadiz, demokrasi bisa “bunuh diri” jika tidak terjaga dengan baik. Bahkan, hal itu dapat terjadi melalui instrumen demokrasi seperti pemilu.

Prabowo Subianto

Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto (kanan) berziarah ke makam ibunya di TPU Tanah Kusir, Jakarta, Kamis (15/2/2024). ANTARA/Genta Tenri Mawangi.

Respons Kubu Prabowo

Direktur Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Viva Yoga Mauladi, menepis anggapan bahwa pernyataan Prabowo merupakan pesimisme pada sistem pemerintahan demokrasi. Menurut Viva, apa yang dikatakan Prabowo berangkat dari kenyataan yang ditangkap dari pelaksanaan Pemilu.

“Ya memang betul kan [melelahkan]? Karena luas wilayah Indonesia ini sangat luar biasa dan melalui pemilu serentak dengan lima surat suara, proses penghitung ini sangat melelahkan. Sampai pemilu 2024 aja masih ada yang wafat dari para penyelenggara pemilu,” ujar Viva kepada reporter Tirto, Kamis.

Prabowo, kata Viva, justru tetap optimis dengan demokrasi di Indonesia. Jika memerintah, Yoga mengklaim Prabowo akan tetap mewujudkan Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis, bermartabat, modern, dan lebih membangun merit sistem.

“Jadi tidak ada dari Pak Prabowo itu untuk membangun otoritarianisme, itu sudah tidak laku lagi, sejak era reformasi kita tidak bisa setback lagi,” terang Viva.

Senada dengan Viva, Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menegaskan justru apa yang diucapkan Prabowo adalah bentuk optimisme. Menurut dia, pernyataan itu berangkat dari pemahaman Prabowo secara detail terhadap fenomena demokrasi Indonesia.

Dahnil menilai Prabowo tahu betul apa yang perlu disempurnakan untuk demokrasi di negeri ini.

“Salah satunya yang sering jadi fokus beliau adalah literasi politik masyarakat kita, melalui pendidikan politik dan tentu upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat,” kata Dahnil kepada reporter Tirto, Kamis.

Baca juga artikel terkait PRABOWO SUBIANTO atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi