Menuju konten utama

Larangan Jaksa Agung dari Parpol Sebaiknya Juga ke Pejabat Lain

Masyarakat sipil mendorong pejabat setingkat menteri diisi pejabat karier yang mempunyai proses karier panjang.

Larangan Jaksa Agung dari Parpol Sebaiknya Juga ke Pejabat Lain
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengacungkan jempol seusai memberikan keterangan pers terkait penanganan dan perkembangan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/12/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan kandidat Jaksa Agung harus tidak berhubungan dengan partai politik paling tidak 5 tahun sebelum pencalonan sebagai Jaksa Agung.

Hal itu berdasarkan putusan Mahkamah dalam nomor perkara 6/PUU-XXII/2024 tentang pengujian materill Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 (UU Kejaksaan) yang dibacakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (29/2/2024) lalu.

Dalam putusan tersebut, MK menilai pengurus partai politik punya keterikatan dengan partai. Pengurus partai harus mundur karena berpotensi memiliki konflik kepentingan saat diangkat sebagai Jaksa Agung. Ketentuan tersebut cukup berlaku pada pengurus partai politik yang hendak menjadi Jaksa Agung.

“Menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait dengan ketentuan norma Pasal 20 UU Kejaksaan adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah dalil yang dapat dibenarkan. Namun, sepanjang berkenaan dengan batas waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun untuk seorang calon Jaksa Agung telah keluar dari keanggotaan partai politik, baik mengundurkan diri maupun diberhentikan, Mahkamah tidak dapat memenuhi karena telah ternyata terdapat perbedaan tugas, fungsi, dan kewenangan antara pengurus partai politik dan anggota partai politik yang dapat menunjukkan derajat keterikatan hubungan dengan partainya,” sebut Saldi dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo mengutip rilis MK.

MK lantas mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan pemohon Jovi Andrea Bachtiar karena melihat norma Pasal 20 UU Kejaksaan telah ternyata menimbulkan ketidakadilan dan memberikan perlakuan berbeda di hadapan hukum.

Akan tetapi, perbedaan petitum pemohon dengan amar putusan membuat MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon.

Dalam putusan tersebut juga terjadi perbedaan pandangan dan perbedaan alasan. Setidaknya Hakim Konstitusi Arsul Sani menyatakan alasan berbeda, sementara Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda terhadap pengujian norma Pasal 20 UU Kejaksaan ini.

Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Arsul Sani belum mengidentifikasi ketentuan putusan hanya berlaku bagi pengurus parpol atau anggota parpol dalam status konstitusional calon Jaksa Agung dari partai politik.

Ia menilai, ketiadaan pemaknaan pembatasan tersebut masih membuka ruang bagi MK untuk membatasi larangan yang menjadi Jaksa Agung hanya berasal dari pengurus parpol saja.

Di sisi lain, Arsul, yang juga mantan kader PPP ini menilai perlu ada uraian spesifik tentang makna pengurus parpol yang harus telah berhenti lebih dahulu sekurang-kurangnya lima tahun sebelum diangkat atau ditunjuk menjadi Jaksa Agung oleh Presiden.

Hal ini penting untuk diuraikan secara spesifik guna menghindari multitafsir yang mengakibatkan ketidakpastian hukum, ketika terdapat anggota parpol yang tidak lagi terlibat secara aktif dalam urusan kepartaian ditunjuk oleh Presiden untuk menduduki jabatan sebagai Jaksa Agung.

Pembacaan sumpah anggota Komisi Kejaksaan

Jaksa Agung ST Burhanuddin menghadiri pembacaan sumpah anggota Komisi Kejaksaan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (21/2/2024). Presiden Joko Widodo mengambil sumpah sembilan anggota Komisi Kejaksaan masa jabatan 2024-2028 yakni Pujiyono Suwadi sebagai Ketua merangkap anggota, Babul Khoir sebagai Wakil Ketua merangkap anggota, dan sebagai anggota yakni Muhammad Yusuf, Hefinur, Nurwinah, Dahlena, Rita Serena Kalibonso, Diah Srikanti, Nurokhman. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.

Menanggapi isu tersebut, Kejaksaan Agung, lewat Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, merespons positif putusan MK tersebut. Ia menilai putusan tersebut dapat mendorong independensi kejaksaan di masa depan.

“Kami menyambut baik putusan MK dimaksud untuk memperkuat independensi Kejaksaan sebagai Aparat Penegak Hukum,” kata Ketut saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).

Ketut menerangkan, Kejagung berkomitmen dalam menjaga marwah lembaga di era kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Ia menjamin kejaksaan saat ini tidak terlibat dengan partai politik. Hal itu dibuktikan dengan penyidikan perkara yang kerap ditangani berdasarkan fakta hukum.

Selain itu, putusan MK ini juga menjadi salah satu sinyal baik bagi anggota kejaksaan untuk dapat berkarier hingga jenjang tertinggi.

“Harapan dan kesempatan itu semoga akan memberikan motivasi dalam berkinerja lebih baik dan bermanfaat kedepannya untuk kepentingan penegakan hukum,” ujar Ketut.

Pejabat Publik Lain Juga Sebaiknya Tak dari Unsur Politik

Para pegiat hukum pun merespon positif putusan MK. Ketua YLBHI, M. Isnur, menilai putusan tersebut positif untuk independensi jaksa di masa depan. Hal ini tidak lepas pengalaman jabatan jaksa agung digunakan partai untuk kepentingan tertentu.

"Tentu ini adalah putusan yang baik ya putusan yang menurut saya menjaga independensi dari Jaksa Agung selama ini karena catatan kita Jaksa Agung yang tidak ada jarak waktu dari partai politik seperti sebelum-sebelumnya itu sangat potensial kemudian terindikasi punya kepentingan dalam memenangkan partainya, dijadikan alat politik untuk menekan yang lain," kata Isnur kepada reporter Tirto, Rabu (6/3/2024).

Isnur menilai, putusan ini juga akan membuka ruang independensi kejaksaan di masa depan. Selain itu, presiden juga akan berhati-hati dalam memilih jaksa.

"Jadi ini tepat juga karena sebentar lagi akan ada presiden baru dan untuk memilih Jaksa Agung yang baru tentu Presiden akan terikat oleh ketentuan putusan MK yang sekarang. Jadi kami mengapresiasi dan melihat putusan ini adalah putusan yang baik," kata Isnur.

Sementara itu, Ketua Pengurus Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, juga merespons positif putusan MK tersebut. Ia beralasan, putusan MK mengakomodir semangat masyarakat sipil di masa lalu sebelum UU Kejaksaan dibahas.

Ia menerangkan, mereka sudah mendorong pengurus parpol tidak menduduki jabatan tinggi negara atau pengambilan keputusan demi memberantas semangat pejabat Orde Baru. Ia menerangkan, tidak sedikit pejabat Orde Baru dinilai sebagai pejabat politik tapi tidak memahami birokrasi, artinya dia tidak tertib administrasi dan tidak tertib sistem.

"Yag kedua justru kental dengan nuansa politisnya dibanding hal-hal yang substantif. Di level itu lah maka potensi korupsi sering terjadi yaitu maladministrasi kemudian lalu penyelewengan dana lalu penyelewengan program atau kebijakan dari pejabat tinggi," kata Julius saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (6/3/2024).

Julius malah mendorong putusan larangan pengurus partai menjadi Jaksa Agung tidak hanya berlaku untuk Jaksa Agung, melainkan juga jabatan kementerian dan lembaga.

Ia mendorong agar pejabat setingkat menteri diisi pejabat karier yang mempunyai proses karier panjang hingga duduk di jabatan tingkat menteri atau kepala lembaga.

"Makna substansinya putusan ini dia harus menjadi benchmark bahwa setiap jabatan publik utamanya di level paling tinggi jangan dipolitisasi dengan menunjuk dari pihak-pihak politik yang nggak ada juntrungan sama substansinya, yang enggak ngerti birokrasi, enggak ngerti sistem, enggak ngerti administrasi karena di situ potensi korupsi terjadi," kata Julius.

Baca juga artikel terkait JAKSA AGUNG DILARANG DARI PARTAI POLITIK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto