Menuju konten utama
Wacana Penambahan Kodam

Gus Dur Kirim TNI ke Barak, Jokowi Malah Tarik ke Tengah Sipil

Rencana penambahan kodam sama saja membuka peluang pelibatan militer di tengah sipil makin besar.

Gus Dur Kirim TNI ke Barak, Jokowi Malah Tarik ke Tengah Sipil
Inspektur upacara, Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Komandan Upacara Kolonel (Mar) Y. Rudy Sulistyanto (kiri) melakukan inspeksi jajaran pasukan saat Upacara Perayaan HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (5/10/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Reformasi di badan Tentara Nasional Indonesia (TNI) kian lama menjelma hanya sebagai jargon saja. Kebijakan dan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, justru berpotensi melahirkan kembali satu momok era Orde Baru, yaitu Dwifungsi ABRI.

Meski banyak dikritik atas masifnya keterlibatan militer di tengah sipil, belum ada langkah konkret pemerintah menempatkan kembali militer sesuai tugasnya, sebagaimana ada di Undang-Undang TNI.

Alih-alih membaik, keadaan menjadi makin buruk. Rencana menambah jumlah komando daerah militer (kodam) untuk matra TNI AD agar hadir di seluruh provinsi, justru menguat.

Bukannya membenahi konsep kodam, menambah jumlah kodam sama saja membuka peluang pelibatan militer di tengah sipil semakin besar.

Rencana penambahan kodam tidak muncul dari ruang hampa. Wacana ini mulai bunyi tahun lalu oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Dudung Abdurachman, yang saat itu menjabat sebagai KSAD.

Beberapa pekan lalu, omong-omong soal penambahan jumlah kodam kembali dipertegas oleh Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto.

Sontak wacana ini mendapatkan kritik keras dari kelompok masyarakat sipil. Penambahan jumlah kodam dinilai membuka potensi Dwifungsi TNI makin gamblang.

Masalahnya, presiden justru tidak bersikap tegas dan terkesan membiarkan rencana ini terus bergulir. Sikap yang sudah lama terbaca oleh kelompok masyarakat sipil.

“Jika pun ada kebijakan yang semacam ini mau diambil [presiden], urgensi itu harus dijelaskan kepada publik. Apa poin yang sangat mendesak bagi TNI untuk melakukan ekspansi atau pembentukan kodam baru,” kata Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Kontras, Rozy Brilian, kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).

Padahal, kata dia, setelah Orde Baru tumbang, mulai tampak kemajuan signifikan dalam memperbaiki institusi kemiliteran.

Angin segar datang kala itu saat Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mencabut doktrin Dwifungsi ABRI. Melalui TAP MPR RI VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian, TNI diberi tugas untuk pertahanan serangan dari luar negeri.

Pasal 5 ayat 5 ketetapan itu menyatakan anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas ketentaraan.

Di masa pemerintahan Gus Dur juga terbit Undang-Undang Pertahanan Negara tahun 2002, yang mengatur Kementerian Pertahanan berada di bawah otoritas sipil.

Tidak hanya itu, Gus Dur juga terlibat dalam pembubaran Direktorat Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional, institusi yang kerap menjadi perpanjangan militer dalam urusan sipil, atau dikenal Kopkamtib alias Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.

Lantas lahir UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI yang makin menegaskan supremasi sipil pascareformasi.

Melalui UU TNI saat itu, sesungguhnya ada dorongan untuk menghapus konsep komando teritorial (koter) dari tubuh TNI. Ditegaskan pula agar TNI menghindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis.

“Jadi sebetulnya reformasi sektor keamanan itu sudah dimulai, tapi kita melihat bahwa pada saat rezim Joko Widodo agenda reformasi sektor keamanan lambat laun mengalami regresi. Kita lihat berbagai indikator sangat nyata terjadi, misalnya meluasnya dominasi militer ke ranah-ranah sipil,” jelas Rozy.

TOLAK DWIFUNGSI TNI

Sejumlah aktivis menggelar Aksi Kamisan ke-576 bertajuk Menolak Dwi Fungsi Militer di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/2/2019). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/wsj.

Rozy khawatir penambahan kodam membuat makin banyak prajurit yang turun ke daerah dan mempengaruhi urusan otonomi daerah. Misalnya, makin banyak prajurit yang terlibat dalam pengamanan aksi dari masyarakat sipil yang kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah.

Hal itu tentu menjadi mimpi buruk bagi kebebasan sipil dalam bersuara dan berekspresi.

“Tentu presiden sebagai kepala negara yang membawahi institusi militer harus mengambil sikap yang tegas,” kata dia.

Lebih lanjut, Rozy memandang buntunya agenda reformasi peradilan militer di era Presiden Jokowi.

Sebaliknya, banyak prajurit militer melakukan kesewenang-wenangan, pelanggaran, bahkan yang bermuatan pidana, justru diadili lewat mekanisme peradilan militer yang tidak transparan dan tidak akuntabel.

“Sehingga tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban,” tegas Rozy.

Penambahan Kodam: Dari Barak ke Tengah Sipil

Menguatnya peran militer di tengah sipil pada era pemerintahan Jokowi juga terekam dalam hasil artikel ilmiah Azwar dan Suryana (2021) dengan judul Dwifungsi TNI dari Masa ke Masa.

Tulisan yang tayang pada Jurnal Academia Praja Volume 4 Nomor 1 itu menyatakan bahwa setelah reformasi, “Dwifungsi tetap eksis meski ada upaya untuk melakukan reformasi TNI.”

Penulis menjabarkan dengan gamblang beberapa contoh pelibatan militer di sektor sipil pada pemerintahan Jokowi yang tidak sesuai dengan UU 34/2004 tentang TNI. Misalnya, pemerintah meningkatkan peran TNI dalam operasi kontra terorisme, seperti yang terjadi di Poso.

Selain itu, militer malah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan kementerian dan perusahaan negara untuk penyediaan layanan keamanan. Sejak awal periode Jokowi hingga 2018, tercatat ada 30 nota kesepahaman militer dengan kementerian dan lembaga negara lain.

Periode kedua pemerintahan Jokowi tidak menjadi lebih baik. Militer bahkan ditugaskan menangani pandemi COVID-19, yaitu dibentuknya Gugus Tugas Penanganan COVID-19, pembentukan tim khusus di bawah Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan), dan pelaksanaan berbagai operasi mitigasi di tingkat pusat maupun daerah.

Tentu hal ini bukan untuk mengesampingkan peran militer di saat pandemi COVID-19. Namun, pelibatan militer untuk operasi militer selain perang (OMSP) seperti saat pandemi harus tetap mengacu aturan dalam pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI Nomor 34/2004.

UU tersebut menyebutkan bahwa pelibatan militer baru dapat dilakukan jika ada keputusan politik negara.

Keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai peraturan perundang-undangan.

Namun masalahnya, “skema pada UU TNI ini tidak digunakan oleh pemerintah dalam melibatkan militer untuk mengawal fase kenormalan baru,” tulis Azwar dan Suryana.

Bagi peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, aroma Dwifungsi ABRI di era Jokowi terus berlanjut hingga saat ini. Capaian reformasi di tubuh TNI disebut mengalami involusi alias kemunduran. Hal ini dapat terbaca dari semakin banyaknya keterlibatan ilegal militer dalam kehidupan sosial-politik.

“Penambahan kodam baru yakni Kodam Merdeka di Sulut dan Kodam Kasuari di Papua Barat [contohnya], TNI terlibat swasembada pangan, penanganan terorisme, hingga penempatan perwira aktif TNI dalam jabatan sipil di kementerian/lembaga dan bahkan BUMN,” ujar Hussein kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).

Hussein menegaskan bahwa penambahan kodam bertolak belakang dengan amanat UU TNI yang mendorong adanya restrukturisasi. Restrukturisasi komando teritorial secara tersirat telah diamanatkan dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat 2 dalam UU TNI.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, sependapat dengan Hussein. Isnur menilai Jokowi banyak membuat aturan-aturan yang bertentangan dengan UU TNI. Misalnya, pembuatan Perpres di mana BNPB boleh diisi oleh perwira aktif TNI.

Lebih lanjut, muncul kebijakan Jokowi membentuk komponen cadangan (Komcad) TNI yang menuai protes. Komcad, kata Isnur, membuat tentara melatih sipil yang dapat berpotensi menjadi sebuah paramiliter.

Ditambah, adanya revisi Undang-Undang ASN di mana banyak jabatan sipil yang dimungkinkan diisi oleh tentara dan polisi aktif.

“[Juga] Banyak MoU pengamanan bisnis BUMN dan swasta, di mana tentara itu sangat banyak hadir di sana. Panglima TNI dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat melakukan banyak MoU langsung dengan perusahaan. Jadi inilah kembali di mana militer berbisnis,” tutur Isnur kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).

TNI gelar simulasi pengamanan Pemilu 2024

Prajurit TNI mengamankan demonstran saat simulasi pengamanan Pemilu 2024 disela apel gelar kekuatan TNI di Lapangan Taxy Way Echo Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (1/2/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww

Dwifungsi TNI Lahir Lagi? Tidak, Cuma Sebar Jabatan ke Perwira

Analis pertahanan dan keamanan, Beni Sukadis, memandang penambahan kodam bertentangan dengan UU TNI sebab struktur TNI tidak harus menyamai struktur pemerintah daerah yang ada sampai tingkat desa.

Namun, Beni menilai alih-alih potensi dwifungsi TNI akan muncul, justru penambahan kodam disebutnya sebagai cara bagi-bagi kursi perwira tinggi matra TNI AD. Sebab, kata dia, selama sepuluh tahun terakhir ada surplus ratusan perwira pangkat bintang 1 kolonel yang tanpa jabatan.

“Sehingga pendirian Kodam adalah jalan singkat yang diambil oleh Mabes TNI AD. Artinya ada masalah krusial dalam manajemen personalia (SDM) dalam pengelolaan promosi, mutasi dan pembinaan karir,” kata Beni kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).

Beni tak heran selama dua periode pemerintahan Jokowi, seolah-olah dwifungsi TNI kembali muncul. Alasannya, Jokowi cenderung melakukan apa yang disebut Beni sebagai “sogokan politik agar militer lebih loyal ke Presiden.”

“Hal ini justru bertentangan dengan prinsip profesionalisme aparat keamanan,” tutur Beni.

Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyebut kekhawatiran berlebihan pada militer justru berbahaya untuk penguatan pertahanan Indonesia. Dia menilai kekhawatiran wacana penambahan kodam sebagai “fobia masa lalu.”

“Penambahan Kodam adalah upaya memperkuat pertahanan teritorial kita, ditengah upaya kita terus melakukan modernisasi alutsista sebagai sikap kesiapsiagaan merespon dinamika geopolitik dan geostatik global,” kata Dahnil kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).

Dahnil juga menepis anggapan adanya dwifungsi TNI di pemerintahan Jokowi. Dia menilai hal tersebut dibuat-buat dan cenderung mengandung ketakutan pada militer.

“Faktanya, versi banyak lembaga penilai, dan survei independen, bila ada institusi yang paling sukses melakukan reformasi terhadap dirinya, institusi itu adalah TNI,” klaim Dahnil.

Senada dengan Dahnil, Tenaga Ahli Utama Deputi V Kantor Staf Presiden, Mufti Makarim, menyatakan bahwa TNI memiliki doktrin dan tunduk pada undang-undang sehingga apa yang menjadi kekhawatiran dari masyarakat soal dwifungsi, sudah dikunci atau dibatasi melalui kewenangan undang-undang.

Dia tidak menampik adanya potensi penyimpangan, maka dari itu, peran dari masyarakat sipil penting untuk melakukan pengawasan.

“Sejauh ini pembicaraan tentang pelaksanaan peran dwifungsi sebagai bagian dari tujuan pembentukan kodam tidak muncul dalam usulan terkait pemekaran kodam tersebut,” kata Mufti kepada reporter Tirto, Selasa (5/3/2024).

Mufti mengklaim, penambahan kodam sudah melalui berbagai kajian. Di antaranya kajian tentang dinamika tantangan dan ancaman aktual maupun potensial ke depan. Titik berat kajian kebijakan ini, kata dia, bagaimana pembentukan kodam tidak berdampak pada mundurnya demokrasi atau terganggunya kehidupan sipil.

“Sebagaimana yang terjadi di masa lalu,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait WACANA PENAMBAHAN KODAM atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto