Menuju konten utama

Ketegangan TNI vs FPI: Bangkitnya Watak Dwifungsi ABRI Era Soeharto

Pencopotan baliho Rizieq oleh TNI dianggap berlebihan karena mereka memasuki ranah sipil--yang merupakan kewenangan Polisi dan Satpol PP.

Ketegangan TNI vs FPI: Bangkitnya Watak Dwifungsi ABRI Era Soeharto
Prajurit TNI menertibkan spanduk tidak berizin saat patroli keamanan di Petamburan, Jakarta, Jumat (20/11/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Sejumlah pasukan TNI berkeliling DKI Jakarta nengendarai motor hingga panser menurunkan baliho seruan revolusi akhlak dan ucapan selamat datang untuk Rizieq Shihab--yang telah bermunculan sejak sebelum pentolan FPI ini tiba, Jumat (20/11/2020). Aksi ini dilakukan atas perintah Panglima Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) Mayjen TNI Dudung Abdurachman.

Dia mengatakan melakukan ini karena baliho sejenis sebetulnya pernah dicopot Satpol PP, tapi lantas terpasang lagi.

Dudung juga memperingati Rizieq, juga FPI, berbagai hal. Misalnya, “jangan seenaknya sendiri seakan paling benar” karena Rizieq menuding aparat, TNI-Polri, melindungi penghina dirinya.

Dalam apel bersama di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (20/11/2020), dia juga memperingati Rizieq dan FPI agar tidak “coba-coba ganggu persatuan dan kesatuan dengan merasa mewakili umat Islam.” Ini ia nyatakan karena Rizieq bicara 'tanpa rem'. “Saya sebagai orang Islam itu [merasa] prihatin kalau ada seorang habib, di peringatan maulid nabi, bahasa-bahasanya kotor,” ujar Dudung.

Rizieq juga berkali-kali mengumpulkan massa tanpa protokol kesehatan di tengah pandemi yang tak menunjukkan tanda dapat dikontrol.

Jangan Masuk ke Ruang Sipil

Aksi para tentara ini membuat Sekretaris Bantuan Hukum DPP FPI, Aziz Yanuar, terheran-heran. Ia mempertanyakan landasan hukum apa yang dipakai Dudung, seorang pejabat lembaga yang bertugas mengurusi pertahanan negara, untuk mencopot baliho FPI, yang merupakan ormas sipil.

“Ajakan revolusi akhlak, kok, pada blingsatan? Spanduk bukan iklan jualan, itu ajakan kebaikan. Masak diributin. Lucu,” katanya kepada reporter Tirto, Jumat.

Ia menduga TNI seenaknya menabrak aturan mencampuri ranah sipil karena “sudah terbiasa sewenang-wenang dan seenaknya.”

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai tindakan Pangdam Jaya berkelindan dengan pernyataan Panglima TNI Marsekal Jadi Tjahjanto pada Sabtu (14/11/2020) lalu di Subden Denma Mabes TNI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ia menekankan kepada prajuritnya untuk menjaga stabilitas nasional dengan tidak membiarkan ruang bagi provokasi dan ambisi yang dibungkus politik identitas.

Masalahnya, tindakan tersebut berlebihan. Sama seperti Aziz Yanuar, Fahmi bilang tak semestinya TNI masuk ke ranah sipil. Semisal itu menjadi langkah preventif pun, ada instansi lain yang jelas berwenang. “Kalaupun unsur pertahanan dilibatkan, ya, Kementerian Pertahanan, bukan TNI,” Fahmi kepada reporter Tirto, Jumat. “Panglima harus diingatkan agar tak terlalu jauh ke ruang politik.”

Peneliti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar khawatir tindakan TNI dalam menangani ormas ini akan menjadi pintu masuk untuk mengurusi segala hal berkenaan dengan sipil. Oleh karena itu, katanya kepada reporter Tirto, “negara harus memberikan demarkasi jelas dan mencegah TNI masuk kembali dalam ranah sipil-politik seperti era Orde Baru.”

Bagi pengamat militer Aris Santoso, TNI melakukan ini semua untuk menunjukkan bahwa Rizieq hanya sipil biasa. “Polri menganggap HRS 'mahal' dengan memecat dua kapolda. TNI tidak mau kayak gitu. Mereka mau menegaskan HRS tidak ada apa-apanya di mata AD,” ujarnya.

Selain itu, ini juga merupakan “upaya pembersihan diri” sebab “pendirian FPI itu didukung TNI AD, oleh Wiranto (Panglima Angkatan Bersenjata terakhir sebelum ABRI berganti nama jadi TNI),” ujar Aris kepada reporter Tirto, Jumat.

Baca juga artikel terkait RIZIEQ SHIHAB atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi & Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Penulis: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino