tirto.id - Rencana menambah jumlah komando daerah militer (kodam) untuk matra TNI AD kembali berhembus. Markas Besar (Mabes) TNI lewat Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto, kembali menegaskan akan membangun Kodam baru untuk seluruh provinsi di Indonesia. Wacana ini bukan hal baru, dan berkali-kali dikritik karena dinilai tidak memiliki urgensi yang kuat dan tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menilai rencana ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Melalui revisi UU TNI saat itu, sesungguhnya ada dorongan untuk menghapus konsep komando teritorial (koter) dari tubuh TNI. Hal ini sejalan dengan amanat reformasi yang mendesak dihapuskannya dwifungsi militer di sektor sipil.
“Bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebab, menurut penjelasan pasal tersebut, dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis,” kata Andi kepada reporter Tirto, Senin (4/3/2024).
Meski belum sepenuhnya menghapus konsep kodam, pasal tersebut mendorong negara untuk berupaya melakukan restrukturisasi komando teritorial. Bukan justru menambah jumlah kodam di setiap provinsi.
Upaya ini dilakukan agar prajurit TNI tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik, terutama dalam proses pemilihan umum. Mengingat selama rezim Orde Baru, komando teritorial menjadi perpanjangan tangan pemerintah yang didominasi dalam bidang urusan sosial politik.
Didasari pada pengalaman kelam di masa lalu, kata Andi, akhirnya doktrin dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) atau peran sosial politik militer dalam pemerintahan dihapuskan dengan diberlakukannya TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI/Polri dan TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI/Polri.
“Seharusnya langkah tersebut juga diikuti dengan melakukan restrukturisasi atau bahkan penghapusan komando teritorial, karena sudah tidak memiliki relevansinya lagi,” ujar Andi.
Perlu dipahami, penambahan kodam tentu bersamaan dengan penambahan struktur teritorial di bawahnya, seperti komando resor militer (korem), komando distrik militer (kodim), komando rayon militer (koramil), hingga bintara pembina desa (babinsa). Di sisi lain, persoalan yang akan timbul akibat pembentukan kodam di tiap provinsi adalah menguatnya potensi cengkeraman militerisme.
Menurut Andi, komando teritorial memiliki kecenderungan membayangi kewenangan pemerintahan sipil yang dapat berdampak pada keterlibatan prajurit TNI dalam urusan-urusan sipil. Bukan tanpa alasan kekhawatiran itu, sebab fenomena tersebut mulai tampak dari berbagai sikap dan tindakan komando teritorial belakangan ini.
Antaranya pada 2017, Kodam Iskandar Muda menjalankan program perluasan cetak sawah dan pembukaan jalan. Adapun pada 2020, Kodam Jayakarta mengerahkan sekitar 6.000 prajurit TNI dalam rangka mengamankan demonstrasi buruh dan mahasiswa yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.
“Jelas kontradiktif dengan prinsip negara demokrasi dan agenda reformasi, yang mencita-citakan prajurit TNI menjadi prajurit yang profesional juga tidak ikut campur dalam urusan sipil,” terang Andi.
Tidak Ada Urgensi
Pengamat militer dari ISESS, Khairul Fahmi, menilai tidak ada alasan urgensi yang membuat Mabes TNI, khususnya TNI AD, menambah kodam baru. Sejak awal reformasi, kehadiran satuan teritorial TNI banyak dikritisi oleh kelompok masyarakat sipil. Maka, rencana penambahan kodam sepatutnya memiliki urgensi dan basis argumen yang tepat.
“Sayangnya kita belum melihat itu. Sehingga tentu saja, urgensi atas kebutuhan itu juga belum terlihat, selain keinginan untuk menyetarakan level satuan teritorial TNI dan satuan kewilayahan Polri,” ujar Fahmi kepada reporter Tirto, Senin (4/3/2024).
Sementara itu, hasrat menyamakan posisi kodam dengan Polda di tubuh Polri tentu tidak tepat. Fahmi menjelaskan, posisi Polri saat ini setara dengan organisasi TNI bukan dengan matra sebagaimana ketika polisi masih berada di bawah ABRI.
Ditambah, pembentukan Polda di setiap daerah memiliki basis argumen dan urgensinya sendiri berdasarkan undang-undang. Pembentukan Polda berbasis wilayah hukum yang mengikuti daerah otonomi. Sebagai informasi, fungsi pertahanan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Fungsi yang diemban TNI ini tidak mengikuti struktur pemda, namun disusun berdasar penilaian strategis ancaman yang mungkin datang dari luar.
Fahmi memandang, kalaupun ada kehendak TNI menyelaraskan pemerintahan daerah dan kepolisian daerah, maka lebih relevan adanya pembentukan organisasi yang menjadi perpanjangan tangan atau pelaksana tugas serta fungsi Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI di daerah.
“Tugasnya? Terutama melakukan pembinaan potensi dan komponen pertahanan negara sebagai implementasi sistem pertahanan semesta,” ungkap Fahmi.
Namun, rencana itu juga akan memunculkan pertanyaan terkait proporsionalitas dan masa depan pembentukan satuan teritorial di matra lainnya. Seperti komando daerah maritim (kodamar) di TNI AL dan komando daerah udara (kodau) di TNI AU. Sebab, jika mengacu hasil Rapim TNI, kata Fahmi, pembentukan kodamar dan kodau tetap mengacu pada potensi ancaman dan kebutuhan prioritas pembangunan pertahanan militer.
Menurut dia, dibanding berfokus menambah kodam, ada sejumlah hal yang seharusnya menjadi prioritas dibenahi oleh TNI dan TNI AD. Di antaranya, mengejar pemenuhan alpalhankam (alat peralatan pertahanan dan keamanan) serta sarana-prasarana pendukung yang memadai. Baik bagi kesiapan operasional gelar kekuatan TNI, maupun yang dibutuhkan dalam rangka pembentukan dan pemantapan prajurit.
Ikut Campur Sipil
Kritik keras soal penambahan kodam tidak lepas dari potensi militer yang makin mendominasi urusan sosial-politik di daerah. Fahmi meminta TNI tetap berjarak dengan aktivitas politik praktis, termasuk potensi digunakan sebagai alat kepentingan politik di daerah. Terutama, kontestasi Pilkada 2024 juga sudah mulai bergulir.
“Meskipun dalam UU Nomor 34/2004 disebutkan bahwa OMSP [operasi militer selain perang] TNI antara lain bisa berupa perbantuan terhadap Polri dan dukungan terhadap pemerintah daerah. Namun prinsip kehati-hatian dan semangat reformasi yang terkandung dalam UU tersebut tentu harus dipertimbangkan,” tegas Fahmi.
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, berpendapat bahwa potensi perluasan peran TNI di ranah sosial politik menjadi terbuka jika kodam ditambah menjadi di seluruh daerah. Sebab, struktur teritorial TNI AD turut menduplikasi struktur pemerintahan sipil hingga level yang paling bawah.
“Keterlibatan tersebut dimensinya luas, termasuk memanfaatkan forum komunikasi pimpinan daerah di berbagai tingkat mulai provinsi hingga kecamatan. Di situ mereka [militer] punya ruang untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah di daerah,” tutur Gufron.
Di sisi lain, TNI AD jadi lebih banyak terlibat dalam urusan internal dalam negeri ketimbang urusan eksternal menghadapi ancaman dari luar sebagaimana dimandatkan Undang-Undang Pertahanan dan UU TNI. Pembentukan atau penambahan kodam, kata Gufron, menunjukan TNI masih inward looking atau berorientasi ke dalam seperti di era sebelum reformasi.
“Dan jelas ini tidak sejalan dengan dinamika ancaman, geostrategis dan konteks negara kepulauan,” tutur Gufron.
Lebih jauh, eksistensi komando teritorial tidak lagi memiliki relevansi dan signifikansi dengan konteks ancaman yang dihadapi secara geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Struktur Koter sebagai bagian dari postur pertahanan dan gelar kekuatan TNI harus diganti dengan model yang kontekstual yang diharapkan mampu merespons situasi perkembangan ancaman yang bersifat dinamis dan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.
“Akan ada dampak lain yaitu anggaran pertahanan akan habis untuk membiayai anggaran rutin, sementara efektifitasnya dari sisi pelaksanaan tugas sesuai UU TNI dipertanyakan,” tutur Gufron.
Gufron menambahkan, wacana ini pernah disampaikan langsung oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, pada Februari 2023. Ditambah, KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak, juga sempat menyatakan dirinya akan mengkaji ulang rencana penambahan kodam. Terutama, kata Maruli, rencana penambahan kodam di Kalimantan yang saat ini hanya ada 2 kodam.
“Jika Prabowo benar-benar terpilih menjadi presiden nanti, rencana pembentukan kodam di semua provinsi nampaknya akan direalisasikan. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan panglima TNI dan KSAD,” kata Gufron.
Apa Kata Pihak TNI?
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto sebelumnya memaparkan sejumlah rencana strategis mereka dalam pembangunan organisasi, salah satunya rencana TNI membangun markas di IKN Nusantara. Hal ini diikuti dengan rencana di TNI AD untuk menambah sekitar 22 kodam baru.
Agus mengatakan, TNI mendorong pembangunan sarana-prasarana di 5 daerah terluar antara lain Kepulauan Natuna, Merauke, Pulau Yamdena dan Selaru, Morotai serta Biak. Di matra darat, TNI AD nantinya akan memiliki 37 kodam dengan rincian 15 kodam memiliki komando resor militer (korem) dan 22 tanpa korem. Ia pun mengaku ada pembangunan kodam khusus di IKN.
“TNI terus berupaya menyempurnakan organisasi guna menjawab dinamika tantangan tugas ke depan,” kata Agus dalam paparan Rapim TNI-Polri di GOR Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Nugraha Gumilar, menegaskan pembangunan kodam baru merupakan suatu urgensi. Hal ini diklaimnya sudah sejalan dengan UU Nomor 34/2004 tentang TNI.
“Perlu penambahan kodam. TNI hadir sesuai amanat UU TNI Nomor 34 [yaitu] melaksanakan tugas pokoknya menegakan kedaulatan, menjaga keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa,” kata Gumilar kepada reporter Tirto, Senin (4/3/2024).
Gumilar menepis anggapan potensi TNI yang dikhawatirkan mendominasi urusan sosial politik di daerah jika kodam ditambah. Dia menegaskan bahwa TNI selama ini sudah taat Undang-undang yang berlaku.
“Jadi kekhawatiran tersebut tidak beralasan,” ujar dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz