Menuju konten utama

UU ASN Baru Berpotensi Balik ke Bayang-bayang Dwifungsi Militer?

Secara normatif dwifungsi militer sudah dihapus seiring reformasi. Faktanya, praktik-praktik pelibatan TNI dalam urusan sipil memang masih terjadi.

UU ASN Baru Berpotensi Balik ke Bayang-bayang Dwifungsi Militer?
Prajurit TNI menampilkan yel-yel saat upacara HUT ke-78 Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Gambir, Jakarta, Kamis (5/10/2023). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wpa/tom.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil dan Negara (ASN). Dalam aturan ini, Kepala Negara mengizinkan TNI dan Polri untuk mengisi jabatan ASN.

"Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia," bunyi pasal 19 ayat 2 dalam aturan tersebut dikutip Tirto.

Dalam pasal 19 ayat 3 dijelaskan pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada instansi pusat sebagaimana diatur dalam UU mengenai TNI dan Polri.

Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan Polri dan tata cara pengisian jabatan ASN tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 3, diatur dalam peraturan pemerintah.

Kepala Biro Data Komunikasi dan Informasi Publik KemenPAN-RB, Mohammad Averrouce menjelaskan, keterlibatan TNI dan Polri dalam mengisi posisi instansi atau jabatan ASN sebenarnya bukan hal baru. Sebab, ketentuan tersebut merupakan bentuk timbal balik yang sudah ada sejak UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.

"Ini merupakan reciprocal. Di UU ASN yang lama Undang-Undang 5/2014 juga ada pengaturannya," kata Kepala Biro Data Komunikasi dan Informasi Publik, Mohammad Averrouce kepada Tirto, Senin (6/11/2023).

Dia menjelaskan dalam aturan baru ini, pada pasal 20 UU 20/2023 juga mengatur soal pegawai ASN yang dapat menduduki jabatan di lingkungan TNI dan Polri sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengisian jabatan di lingkungan TNI dan Polri ini juga akan diatur dalam peraturan pemerintah.

"Di [UU] yang baru ada pengaturan yang mengatur ASN menduduki jabatan TNI Polri pasal 20 UU 20/2023," jelas dia.

Sejak rezim Orde Baru di bawah komando Soeharto saat itu membuka ruang seluas-luasnya bagi orang-orang militer untuk menikmati kehidupan politik di dalam pemerintahan, bahkan di sektor-sektor lainnya. Orde Baru memantapkan Dwifungsi ABRI dengan landasan hukum.

Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978) mengklaim Dwifungsi ABRI "punya dasar hukum yang kuat" karena didukung UUD 1945 serta aturan-aturan dasar yang tidak tertulis dan terwujud dalam praktik penyelenggaraan negara sejak 1945.

Lebih rinci, pelaksanaan Dwifungsi ABRI dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS Nomor II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1978, juga Undang-undang Nomor 82 Tahun 1982.

Atas nama Dwifungsi ABRI dengan dukungan dasar hukum yang kuat itu, militer Indonesia mengemban dua tugas utama. Pertama, menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara. Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai "dinamisator sekaligus stabilisator" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejak Soeharto mundur pada 1998, Dwifungsi ABRI secara bertahap diupayakan untuk dihilangkan, yang berpuncak dengan penghapusan Fraksi TNI/Polri dari DPR pada 2004, menyusul penerapan serupa untuk MPR.

Kendati begitu, kecenderungan orang-orang militer—setidaknya setelah pensiun atau yang terpaksa mundur dari TNI—untuk terjun ke kancah politik tetap saja besar, selain karena memang dinilai punya daya tarik, misalnya oleh partai politik atau lembaga tertentu.

Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengatakan, sejak Ketetapan MPRS Nomor II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1978, juga Undang-undang Nomor 82 Tahun 1982 tidak pernah ada larangan soal TNI dan Polri mengisi jabatan ASN. Dalam hal ini pemerintah hanya mengubah mekanismenya yang tadinya ABRI yang menempatkan diubah menjadi instansi terkait yang meminta.

"Sama saja kalau kita mau melihat relasi kekuasaan politiknya lebih kuat Polri dan TNI lah. Kan logikanya tidak jalan masa yang lebih rendah bisa minta ke yang lebih tinggi kan tidak mungkin. Logika saja," jelas dia kepada Tirto, Senin (6/11/2023).

Penempatan TNI dan Polri di instansi tertentu menurutnya perlu dievaluasi. Karena faktanya, secara regulasi tidak pernah diatur lebih terkait dengan penunjukan yurisdiksi Polri dan TNI terhadap hukum dan administrasi sipil.

"Akibatnya kalau etik mau ngelaporin polisi balik ke propam. Propam temennya juga. TNI ada Peradilan Militer (PM) temennya juga. Ributnya akhirnya di sini terus. Sayangnya, evaluasi ini tidak pernah dilakukan dan direncanakan," kata dia.

Apel TNI Polri Jelang Pelantikan Presiden

TNI Polri adakan Apel Gelar Pasukan jelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Kamis (17/10/2019), di Monas, Jakarta Pusat. tirto.id/Adi Briantika

Menepis Kembalinya Dwifungsi Militer

Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi melihat, kehadiran UU 20/2023 ini boleh dibilang merupakan upaya meminimalisasi dan menepis potensi kembalinya Dwifungsi TNI atau dwifungsi militer. Sebab, Pasal 19 ayat (3) itu secara jelas dan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pengisian jabatan untuk prajurit TNI dilaksanakan sesuai UU TNI.

"Artinya dalam hal ini, sepanjang belum ada perubahan, maka ketentuan pasal 47 ayat 1 dan 2 pada UU 34/2004 harus menjadi acuan," kata Khairul kepada Tirto, Senin (6/11/2023).

Sekalipun kelak ada perubahan UU TNI, arahnya juga lebih pada upaya mengakomodasi sejumlah kementerian atau lembaga yang urusan dan atau kewenangannya dinilai berkaitan, beririsan atau membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif. Hanya saja saja belum diatur pada UU TNI yang berlaku saat ini.

Khairul menjelaskan, secara normatif dwifungsi sudah dihapus seiring reformasi dan berlakunya UU 34/2004 tentang TNI. Namun, memang pada kenyataannya, praktik-praktik pelibatan TNI dalam urusan-urusan sipil memang tak sepenuhnya dapat ditiadakan.

Sebab, faktanya ada sejumlah urusan pemerintahan yang ternyata masih memerlukan kehadiran prajurit aktif, dengan berbagai urgensi. Urusan-urusan itu diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pada pasal 47 yang memberi batasan jelas mengenai penempatan prajurit pada jabatan sipil.

Pada ayat 1 tegas menyatakan bahwa pada dasarnya prajurit tidak boleh memegang jabatan sipil kecuali dia mengundurkan diri atau pensiun. Kemudian ayat 2 memberi afirmasi. Ada sejumlah kementerian dan lembaga yang diperbolehkan untuk diisi prajurit aktif. Terutama karena urusan dan atau kewenangannya dinilai berkaitan, beririsan atau membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif.

"Ayat itu lantas merinci secara jelas, kementerian dan lembaga mana saja yang boleh diisi prajurit," ucap dia.

Dalam satu dekade terakhir, kata Khairul, sejumlah prajurit diketahui telah menduduki berbagai jabatan yang ternyata tidak atau belum diatur dalam UU 34/2004. Ada juga yang bahkan urusan atau kewenangannya sama sekali tidak beririsan atau berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI, tanpa yang bersangkutan diberhentikan terlebih dahulu dari keanggotaan TNI sebagaimana mestinya.

Perlu digarisbawahi, penempatan itu sebagian besar justru berasal dari permintaan menteri atau pimpinan lembaga yang kemudian disetujui oleh pimpinan TNI. Jadi bukan bermula dari keinginan TNI.

"Pimpinan TNI tentu saja tidak atau sulit akan menolak permintaan dan selalu antusias memberi dukungan pada penyelenggaraan negara dan pemerintahan," ucap dia.

Beberapa di antara permintaan itu, lanjut Khairul, memang datang dengan alasan yang cukup memadai. Karena kebutuhan dan amanat undang-undang, setelah berlakunya UU 34/2004 terdapat juga sejumlah lembaga baru, perubahan nomenklatur lembaga maupun penambahan unit kerja lembaga yang urusannya beririsan dan berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI.

Namun, banyak juga yang datang dengan alasan yang sebenarnya kurang relevan dan tidak memiliki urgensi untuk diisi oleh prajurit TNI aktif. Sehingga kehadiran UU 20/2023 dianggapnya untuk menyesuaikan dan mengakomodasi kebutuhan tersebut.

"Nah, hal inilah yang menurut saya kemudian melatarbelakangi hadirnya Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2023, yang menegaskan bahwa pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan sebagaimana diatur dalam UU mengenai TNI dan Polri," jelas dia.

Keterisian Polri di Instansi Perlu Dievaluasi

Di sisi lain, Khairul justru menyoroti keterlibatan Polri dalam instansi pemerintah. Sebab, UU Polri justru tidak secara jelas mengatur soal penempatan personel Polri di luar institusi kepolisian.

"Bagaimana dengan personel Polri? Nah, ini yang justru menurut saya perlu dievaluasi," ucap dia.

Dia menuturkan sesuai perundang-undangan, Polri sudah dinyatakan sebagai perangkat sipil negara dan tunduk pada hukum sipil. Namun mereka punya tugas dan fungsi yang sudah jelas dalam rangka melindungi masyarakat, memelihara keamanan dan ketertiban umum serta menegakkan hukum.

Agus Subianto

Dokumentasi aktivitas Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi, Mayor Jenderal TNI Agus Subianto. ANTARA/HO-Kodam III/Siliwangi

Menurut Khairul, tugas dan fungsi mereka itu semestinya juga memerlukan batasan dan demarkasi yang jelas dengan fungsi sektor-sektor pemerintahan lainnya. Perlu evaluasi serupa pada penempatan personel Polri di sejumlah kementerian/lembaga yang urusan dan kewenangannya tidak relevan, tidak berkaitan/beririsan dengan tugas dan fungsi Polri.

"Bahkan menurut saya evaluasi terhadap penempatan personel Polri ini sangat mendesak dilakukan," ujar dia.

Evaluasi terhadap penempatan Polri, menurutnya harus meliputi apakah penempatan itu merupakan bagian dari kebutuhan pengawasan sektor-sektor pemerintahan, atau sekadar keinginan. Entah itu keinginan kementerian atau lembaga tersebut, keinginan menteri atau pimpinan lembaga, keinginan pimpinan Polri yang diakomodir atau bahkan pihak-pihak lain.

"Motifnya pun saya kira bisa beragam. Bukan tidak mungkin, salah satu motifnya adalah dalam rangka antisipasi urusan penegakan hukum yang menjadi kompetensi Polri. Nah, hal ini tentu harus diwaspadai agar tidak justru kontraproduktif terhadap upaya penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa," tutur dia.

Jangan sampai, kata Khairul masyarakat sibuk mengantisipasi kekhawatiran kembalinya dwifungsi TNI, tapi malah menghadirkan multifungsi Polri yang justru lebih mengkhawatirkan.

Baca juga artikel terkait DWIFUNGSI MILITER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri