Menuju konten utama

Setelah TNI, Terbitlah Polri: Kembalinya Dwifungsi Aparat?

Peran TNI menjadi perpanjangan tangan pemerintah sudah diredam, kini giliran Polri.

Setelah TNI, Terbitlah Polri: Kembalinya Dwifungsi Aparat?
Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Idham Azis di Istana Negara, Jumat (1/11/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.

tirto.id - Berkat Dwifungsi ABRI, Orde Baru menjadi masa kejayaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan pemerintahan Soeharto dikenal sebagai rezim militer. Pada era Reformasi, khususnya kepemimpinan Joko Widodo, peranan TNI di ranah publik digantikan oleh Polri.

Polisi bukan hanya ada di jalan raya, pos polisi sektor atau daerah, dan penjara. Sejak 2014 hingga 2019, Presiden Joko Widodo memberi banyak peran kepada pejabat atau purnawirawan Polri, mulai dari urusan kepala daerah, pengawas di kementerian, lembaga korupsi, menteri, ajudan presiden, bulog, intelijen, sepakbola, terorisme, narkotika, hingga pramuka.

Beberapa di antaranya adalah Komjen Mochammad Iriawan sebagai Ketua Umum PSSI, Jenderal (purn) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri, Komjen Setyo Wasisto sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Perindustrian, Komjen Firli Bahuri sebagai Ketau KPK, dan Komjen (purn) Budi Waseso Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas).

Melebarnya ruang lingkup kerja Polri ini menunjukkan dampak dari penumpukan jabatan di institusi kepolisian. Sampai medio 2018, jumlah perwira yang berpangkat Komisaris Besar (Kombes) berada di kisaran 1.300-1.400 orang. Sedangkan jabatan yang tersedia bagi perwira menengah tidak sebanyak itu.

Beberapa cara untuk mengakali penumpukan sudah dilakukan, antara lain, pertama, mengerem kenaikan pangkat dengan menambah masa jabatan. Kedua, menugaskan perwira Polri untuk mengisi jabatan di luar struktural Polri. Ketiga, meningkatkan status kepolisian daerah agar bisa dipimpin oleh pejabat sekelas Irjen sehingga membuka peluang mereka yang berpangkat Kombes mendapat jabatan lain.

Memang perbantuan anggota Polri ke kementerian/lembaga diatur oleh Peraturan Kapolri Nomor 4 tahun 2017 atau UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Ada 11 K/L yang dapat ditempati oleh Polri. Namun apa saja rinciannya tidak termaktub karena diserahkan kepada kebutuhan masing-masing kementerian dan Polri.

Celah hukum ini membuat Polri bisa bebas bekerjasama dengan instansi yang bahkan hanya beririsan tipis dengan tugas-tugas aparat penegak hukum. Misalnya saja Kemenperin atau Kementerian Ketenagakerjaan.

Tapi, tepatkah mengirim banyak pejabat Polri ke kementerian/lembaga lain untuk mengatasi menumpuknya personel? Wakil Direktur Imparsial, Ghufron Mabruri, menyatakan bahwa sekalipun penempatan para pati di luar pos Polri sudah diatur dalam undang-undang, tapi ada tiga aspek lain yang harus diperhatikan.

“Integritas, rekam jejak, dan kompetensi,” ujarnya saat dihubungi Tirto Minggu (16/9/2019) malam. “Tiga faktor itu jadi faktor yang penting, yang menentukan apakah para pejabat di Polri layak untuk menempati jabatan di luar struktur.”

Gantikan Peran Tentara?

Selama Orde Baru, banyaknya penempatan jabatan di pelbagai bidang justru dilakukan oleh militer. Misalnya mantan Panglima ABRI M.Jusuf di posisi Ketua Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), Mayor Jenderal Amirmachmud sebagai Mendagri, Ali Moertopo menguasai Departemen Penerangan, atau Alamsjah Ratu Prawiranegara yang menempati posisi di Departemen Agama.

Namun, penempatan personel militer di lembaga sipil tak didasarkan pada kompetensi atau kepentingan publik. Soeharto, misalnya, menggunakan tentara untuk melanggengkan kekuasaannya. Dosen Fisipol UGM Budi Winarno mencatat, konsep dwifungsi telah membuka peluang penyalahgunaan TNI menjadi alat politik negara.

“Tentara lebih diorientasikan untuk menjaga kelanggengan kekuasaan Soeharto melalui kekerasan terhadap warga negaranya dibandingkan dengan diorientasikan untuk mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan eksternal,” tulis Budi dalam Sistem Politik Indonesia era Reformasi (2007).

Menurut catatan Budi, ada 12 menteri dan 27 anggota kabinet, serta 11 orang yang memegang posisi strategis di kementerian berasal dari unsur militer pada 1966. Perwakilan TNI di DPR mencapai 75 orang. Empat tahun berselang, 92 persen anggota TNI sudah menempati posisi gubernur.

Reformasi menghapuskan itu semua. Dwifungsi ABRI dilarang dan penempatan personel di instansi non-militer hanya boleh untuk kementerian/lembaga tertentu. ABRI itu sendiri dibubarkan dan diganti oleh TNI. Polri dipisahkan dari TNI melalui Instruksi Presiden No.2 tahun 1999.

Anggota TNI juga tidak boleh lagi langsung ikut penegakan hukum selama tidak menyangkut keamanan nasional. Polri menjadi garda terdepan untuk bersemuka dengan masyarakat dalam urusan hukum.

Dampaknya, Polri berpeluang jadi alat gebuk penguasa menggantikan TNI. Melalui studi berjudul Netralitas Polri Menjelang Pemilu Serentak 2019 (2019), akademisi LIPI, Sarah Nuraini Siregar mencatat polisi selalu bersentuhan dengan politik. Pasalnya, aturan tentang kepolisian itu sendiri dibuat melalui proses politik di DPR.

“Pemolisian dapat menjadi satu kegiatan politik bagi polisi karena berusaha menciptakan keseimbangan antara berbagai kepentingan dalam masyarakat,” tulis Sarah.

Apalagi dengan adanya faktor polisi bertanggung jawab kepada negara. Tindakan penegakan hukum oleh Polri sangat ditentukan oleh pihak penguasa.

“Dalam konteks ini, maka polisi mencerminkan sikap dan nilai-nilai yang dipraktikan pihak penguasa (negara). Jika penguasa menunjukkan rasa tidak hormat kepada prinsip-prinsip negara hukum, maka kecil kemungkinan mewujudkan pemolisian yang taat HAM dan demokratis,” catat Sarah.

Jurnal Polisi Indonesia (2001) yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia mengutarakan kekhawatiran serupa. Dengan adanya kepolisian daerah yang sejalan dengan otonomi daerah, ada peluang kepala daerah memanfaatkan Polri sebagai alat politik mereka untuk menjalankan sejumlah kebijakan.

“Dalam kapasitasnya sebagai tokoh politik, bukan tidak mungkin kepolisian digunakan sebagai alat politik, sebagaimana dikhawatirkan oleh bangsa AS dan dialami sejumlah negara,” tulis jurnal tersebut.

Sebagai pembantu kepala daerah, tentunya kepala kepolisian daerah akan sulit mengelak dari perintah atasan “walaupun akan membawa konsekuensi tindakan yang tidak sesuai hukum.”

Peneliti dari London School of Economics Jacqueline Baker mengatakan ada banyak konglomerat Tionghoa pada era Reformasi yang mengalokasikan anggaran untuk menjalin hubungan baik dengan Polri. Timbal-balik yang ingin didapat konglomerat ini tentunya adalah faktor keamanan dalam menjalankan bisnis.

"Orang pribumi Indonesia memahaminya sebagai hubungan patron-klien, di mana Tionghoa sebagai patron, atau cukong, menukar modal dengan privilese politik atau kekebalan hukum," tulisnya dalam disertasi berjudul The Rise of Polri: Democratisation and the Political Economy of Security in Indonesia (2012, hlm. 80).

Penerimaan ini biasa disebut penerimaan teman (parman). Dalam satu kesempatan, Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Riatu Mariatul Qibthiyyah mengatakan sumber anggaran di luar APBN seharusnya dilaporkan kepolisian secara transparan. Bukan tidak mungkin, ujarnya, Polri akan bekerja tebang pilih.

“Kalau tidak memengaruhi proses penyidikan masih bisa kita toleransi,” ujar Syaiful 2017 silam.

Karpet Merah Untuk Polri

Sepanjang 2019 terdapat sejumlah kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil: kematian sembilan orang dalam kerusuhan 21-22 Mei, penangkapan 1.489 peserta aksi #ReformasiDikorupsi, hingga penahanan sementara 14 mahasiswa yang ikut aksi peringatan Hari HAM 10 Desember.

Ketiga kejadian melibatkan kekerasan aparat kepolisian. Pada aksi 21-22 Mei, kekerasan yang dilakukan puluhan aparat awalnya bermaksud ditutup-tutupi. Sejumlah wartawan yang meliput diminta menghapus foto dan rekaman video kekerasan polisi terhadap massa.

Usaha ini sia-sia karena masih ada rekaman kekerasan yang beredar di media sosial. Akibatnya, 25 anggota Brimob menjalani hukuman disiplin—padahal jumlah yang melakukan kekerasan lebih banyak dari itu. Jumlah itu didapat dari empat video kekerasan polisi yang diserahkan Komnas HAM. Namun hanya dua yang berhasil teridentifikasi lokasinya: Kedutaan Spanyol di Jakarta Pusat dan Asrama Brimob di Jakarta Barat.

Padahal dalam kasus lain, misalnya penangkapan Andika, salah satu orang yang berada di Tanah Abang kala kerusuhan, dipukuli oleh 20 polisi di Gedung Bawaslu. Namun tidak ada keterangan polisi bahwa pelaku pemukulan di Bawaslu ini sudah terungkap atau tertangkap.

Kekerasan justru berulang dalam aksi demonstrasi #ReformasiDikorupsi, meski kali ini modus pemukulan berhasil diredam. Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 390 aduan kekerasan yang dilakukan aparat.

Dalam aksi peringatan hari HAM 10 Desember, mahasiswa juga terkena bogem mentah dari orang yang diduga sebagai intel polisi. Peserta aksi mengaku protes berlangsung damai. Namun, tiba-tiba saja satu orang yang diduga intel polisi mencabut rambu lalu lintas dan membuat keonaran.

Infografik Kinerja Problematis Polri 2019

Infografik Kinerja Problematis Polri 2019. tirto.id/Fuadi

Sebagian besar kejadian ini berlangsung di bawah kepemimpinan Tito Karnavian, yang menjabat Kapolri sampai Oktober 2019. Investigasi atas kasus-kasus tersebut dilakukan secara tidak transparan. KontraS menilai keterangan polisi sering berubah-ubah dan tidak jelas.

Secara pribadi, Tito sendiri diduga kuat terlibat masalah hukum terkait korupsi. Penyidik Polri di KPK merusak barang bukti kasus korupsi yang diduga melibatkan namanya. Tito sendiri selalu mengelak ketika dikonfirmasi soal ini.

Namun, Presiden Jokowi malah mengangkat Tito sebagai Mendagri. Tak hanya itu, Alih-alih mengevaluasi Polri secara besar-besaran, Jokowi menyetujui penambahan anggaran Polri untuk tahun 2020 menjadi Rp 104,7 triliun dan Kemenhan Rp 131,8 triliun.

Baca juga artikel terkait DWIFUNGSI TNI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Hukum
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Windu Jusuf