Menuju konten utama

Celah Suap di Tubuh Polri

Saban tahun anggaran Polri selalu naik, tapi sangat minim buat operasi mengusut kasus-kasus pidana. Siasatnya, Polri menerima sumbangan dari pengusaha sampai "memelihara" kejahatan.

Celah Suap di Tubuh Polri
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan para petinggi Polri. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf.

tirto.id - Pengakuan minimnya anggaran operasional datang dari Brigadir Jenderal Syaiful Zachri, Inspektur Wilayah V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Besar Polri, Kamis (30/3). Saat itu, ia menyambangi gedung Ombudsman di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Di depan komisioner Ombudsman, Adrianus Meliala, Zachri mengatakan jika anggaran buat tersangka masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sangat minim, hanya Rp6 juta. Padahal, kata dia, setiap DPO memiliki tingkat kesulitan dalam pengejaran. Hal ini juga yang bikin menumpuk operasi pengejaran DPO.

Mau tak mau, dia pun mengakui, buat menangkap tersangka DPO, Kepolisian Indonesia memakai dana pemberian dari pelapor atau korban. "Kalau kasus ringan seperti kecelakaan tapi pelakunya kabur ke Medan, enggak cukup dana Rp6 juta, walaupun kasusnya kecelakaan. Apalagi ada yang ke luar negeri, bagaimana kita cari (anggaran),” ujar Zachri.

“Otomatis potensi kolusi itu pasti ada dengan penyidik. Biasanya memang ada penyiapan dana dari pelapor (korban) dalam artian pencarian (pelaku kejahatan),” tambahnya.

Pengakuan Brigjen Syaiful Zachri mengisyaratkan tata kelola anggaran buat operasional di tubuh Polri masih minim dan penuh praktik kolusi. Padahal, saban tahun, Polri selalu mendapat tambahan anggaran dari Kementerian Keuangan buat menopang kinerja mereka melayani masyarakat termasuk untuk mengejar tersangka DPO.

Misalnya, anggaran untuk mengungkap kasus tindak pidana umum yang tadinya Rp445 miliar pada 2015 menjadi Rp598 miliar pada 2016. Anggaran buat pidana narkoba, Polri menerima Rp108 miliar pada 2015 dan naik menjadi Rp225 miliar pada 2016. Buat tindak pidana ekonomi khusus, anggarannya Rp20 miliar menjadi Rp25 miliar.

Penaikan anggaran ini didistribusikan ke 33 Kepolisian Daerah, dan menetes lagi ke Kepolisian Resort Kota Besar, Resort Kota hingga Kepolisian Sektor. Lantaran bentuk laporan pemakaian anggaran ke Kementerian Keuangan tidak rinci, tidak ada angka pasti berapa jatah anggaran operasional yang dibagi-bagikan dari Markas Besar Polri.

Redaksi Tirto meminta rincian anggaran untuk operasional Polri hingga tingkatan Polsek, tapi sampai laporan ini diturunkan, permintaan data dan janji wawancara yang dikirim ke Polres, Polda Metro Jaya, dan Mabes Polri belum ada tanggapan. Meski demikian, Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri Brigjen Rikwanto membenarkan jika anggaran operasional kepolisian "belum mencukupi". Penyebabnya, mayoritas porsi anggaran dari Kementerian Keuangan dipakai buat gaji para anggota Polri.

“Belanja pegawai paling besar. Gaji itu mengambil anggaran yang lebih besar daripada beli-beli barang. Negara maju itu belanja barang untuk operasionalnya lebih besar. Kita, kan, negara berkembang,” ujar Rikwanto kepada reporter Tirto, Jumat (31/3).

Ia mengatakan, lantaran minim anggaran itu, dampaknya pada masyarakat. Bahkan, kata Rikwanto, dana operasional untuk mobil patroli juga mengenaskan. “Ya memang ada beberapa yang tidak cukup, kalau kita patroli tiba-tiba habis bensin, pulang lagi kita,” ujarnya.

Anggaran dari Parmin, Parmas, dan Parman

Buat menyiasati minimnya anggaran operasional itu, Polri melakukan bermacam akrobat. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia pernah meneliti mengenai anggaran di kepolisian. Hasilnya, selain ditemukan minimnya anggaran buat pengungkapan kasus, demi menutupi kekurangan, Polri memakai dana dukungan operasional Kepala Polda hingga menerima uang dari pelapor dan pengusaha. Bahkan ada kasus yang dipelihara oleh Polri dan kemudian dijadikan tambang uang penyelidikan.

Ada istilah buat menyebut anggaran polisi di luar APBN itu: Parmin (partisipasi kriminal), Parmas (partisipasi masyarakat), dan Parman (partisipasi teman) alias dana dari pengusaha.

“Jadi beberapa kriminal di luar kendali ditangkapin. Sedangkan kriminal yang baik-baik saja, mengikuti aturan atau tidak macam-macam, itu diperas," ujar Ringoringo Halomoan Achmadi, peneliti dari LPEM-UI. "Sebab tidak ada anggaran dari pemerintah, sementara (Polri) harus jalan."

Menurut Achmadi, anggaran operasional Polri memang masih minim, jumlahnya hanya 30 persen dari DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang ditetapkan Kementerian Keuangan. Sementara itu, buat menutupi kekurangan anggaran operasional sebanyak 70 persen, Polri mengambil dari beragam bantuan, dari APBD hingga pengusaha.

"Pengusaha suka nyumbang, itu istilahnya teman," ujar Achmadi.

Hasil penelitian oleh Kemitraan tentang Indeks Tata Kelola Kepolisian pada 2015 di 31 Polda seluruh Indonesia, ditemukan anggaran operasional untuk penanganan tidak pidana kejahatan umum hanya 36 persen. Imbasnya, hanya 19.670 berkas kasus yang ditangani dari total 130.264 kasus yang dilaporkan. Sementara dari anggarannya hanya cukup buat 7.081 berkas kasus, dan yang naik ke meja persidangan cuma 3.965 berkas kasus. Untuk kasus narkoba, dari total 14.563 kasus yang dilaporkan, hanya 4.135 berkas kasus yang ditangani. Adapun untuk tindak pidana narkoba, hanya 654 kasus yang berhasil dipersidangkan dari 1.488 berkas kasus.

Minimnya anggaran ini pula yang sering dijadikan alasan plus celah terjadinya praktik penyuapan. Praktik itu misalnya mengubah pasal hingga merekayasa perkara dengan mengubah Berita Acara Pemeriksaan. Dari sana anggota-anggota penyidik Polri mengutip uang dari tersangka. Kasus ini bisa untuk pidana apa saja, termasuk pidana narkoba.

Inspektur Jenderal Purnawirawan Benny Josua Mamoto, mantan Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional, membenarkan jika satuan narkoba melakukan jual-beli perkara sebagai tambang penyuapan. Modusnya, kata Benny kepada reporter Tirto, biasanya penyidik akan menjual pasal yang memberatkan tersangka. Benny berkata satuan narkoba adalah "lahan basah bagi oknum polisi untuk memperkaya diri."

Infografik HL Anggaran Kepolisian

Bisa Disetir Pemberi Dana

Sumber anggaran di luar Kementerian Keuangan ini bisa membuat independensi Polri tergerus. Ia membuat kinerja kepolisian mengesampingkan sikap profesional. Apalagi sistem anggaran kepolisian yang terpusat menimbulkan sejumlah masalah, dari urusan prioritas hingga penyaluran anggaran.

Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Riatu Mariatul Qibthiyyah mengatakan sumber anggaran di luar APBN seharusnya dilaporkan kepolisian secara transparan. Bukan tidak mungkin, ujarnya, Polri akan bekerja tebang pilih. Ia menilai, hingga saat ini sumber anggaran Kepolisian di Indonesia berbeda dari negara-negara maju yang sistemnya sudah tidak sentralistis.

Soal itu, Brigadir Jenderal Syaiful Zachri mengatakan prinsip menerima uang di luar APBN dibolehkan asalkan "tak ada masalah terkait anggaran dari korban untuk mengungkap kasus kejahatan." Meski hal itu tak dibenarkan, tapi pada praktiknya, pelapor juga akhirnya memberikan dana, agar kasus yang dilaporkannya cepat diselesaikan kepolisian.

“Kalau tidak memengaruhi proses penyidikan masih bisa kita toleransi,” ujar Syaiful.

Bagi kepolisian, dana dari pelapor atau korban serta pengusaha mungkin dianggap wajar karena bisa mendukung dana operasional mereka yang masih minim. Namun, menurut Komisioner Ombudsman Adrianus Meliala, permintaan dana atau sumbangan dari pengusaha tak bisa dimaklumi. Sebab, kata dia, sejauh ini Polri sudah diberikan anggaran termasuk kewenangan, mekanisme, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana untuk menjalankan tugas.

“Jangan minta duit lagi dari orang," kata Adrianus kepada reporter Tirto. "Kami dari Ombudsman menegaskan alasan itu—minimnya anggaran—tidak dapat diterima karena Polri sudah punya semuanya. Kalau masih minta duit (di luar APBN), kami enggak bisa terima.”

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Hukum
Reporter: Arbi Sumandoyo & Reja Hidayat
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam