Menuju konten utama

Pungli dan Korupsi di Kepolisian Kita

Pungli dan korupsi telah mengakar di tubuh Polri. Pelakunya dari tingkatan bintara hingga perwira tinggi.

Pungli dan Korupsi di Kepolisian Kita
Pimpinan DPR RI berjabat tangan dengan Komjen Pol Tito Karnavian setelah sidang paripurna di DPR RI, Jakarta, Senin, (27/6). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Kabar operasi tangkap tangan itu menyebar cepat ke telinga wartawan di Markas Besar Polri, Jumat dua pekan lalu (31/3). Isinya, tujuh anggota kepolisian dari Polda Sumatera Selatan dan satu pegawai negeri sipil ditangkap lantaran diduga melakukan pungutan liar. Mereka kongkalikong melakukan pungli terkait seleksi penerimaan anggota Polri 2017.

Tak tanggung-tanggung, petugas Propam Markas Besar Polri, yang melakukan penangkapan itu, menyita uang senilai Rp4,7 miliar yang diduga hasil pungli. Selain itu, petugas menyita barang bukti berupa BPKB mobil BMW, BPKB sepeda motor, data komputer, dan telepon selular. Diduga anggota Korps Bhayangkara itu bukan kali pertama melakukan pungutan liar kepada para calon anggota polisi, tepi sudah sejak 2015.

“Kita jamin kepada masyarakat, perekrutan anggota Polri tidak dipungut biaya apa pun,” ujar Brigadir Jenderal Rikwanto, Kepala Biro Penerangan Hubungan Masyarakat Mabes Polri. Ia menegaskan, operasi tangkap tangan ini merupakan aksi tidak lanjut dari instruksi Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk melakukan bersih-bersih di tubuh kepolisian dari praktik suap dan pungutan liar.

“Ini berhubungan dengan komitmen kita memberantas pungli,” kata Rikwanto.

Sebetulnya, pungutan liar di kepolisian bukan kali ini saja diungkap Mabes Polri. Pada 2016, misalnya, sepanjang Oktober hingga November, setidaknya ada 101 anggota Polri ditangkap karena melakukan pungutan liar. Anggota polisi itu berdinas di 8 Polda dan kebanyakan yang melakukan pemerasan bertugas di satuan lalu lintas hingga pelayanan pembuatan Surat Izin Mengemudi.

Sementara pada Juli hingga Oktober 2016, Mabes Polri juga melakukan Operasi Pemberantasan Pungli dan menangkap anggota mereka yang kedapatan melakukannya. Hasil dari operasi sejak 17 Juli hingga 17 Oktober itu, Mabes Polri mencatat ada 235 "oknum" di tubuh kepolisian yang melakukan pemerasan. Data itu diperoleh dari operasi tangkap tangan oleh Polda di hampir seluruh Indonesia. Paling banyak, pungli dilakukan di Markas Polda Metro Jakarta Raya.

Infografik HL Anggaran Kepolisian

Dari Bintara hingga Perwira Tinggi

Pungli dan suap sudah lama melekat di baju polisi. Kasus lain sempat membuat institusi Polri menjadi sorotan, yakni korupsi pengadaan Alat Simulator Surat Izin Mengemudi yang dilakukan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo pada 2012.

Susilo melakukan korupsi pengadaan alat simulator SIM tahun anggaran 2011 dan merugikan negara hingga Rp100 miliar. Tidak hanya dia, kasus ini melibatkan wakilnya dari korps yang sama, Brigadir Jenderal Didik Purnomo.

Djoko Susilo terbukti melakukan praktik yang memperkaya diri sehingga melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan melanggar pasal tindak pidana pencucian uang. Ia divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 3 September 2013. Putusan itu lantas diperberat di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan menambah hukuman jenderal bintang tiga itu menjadi 18 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan memerintahkan pembayaran uang pengganti Rp32 miliar. Sejawatnya, Brigjen Didik Purnomo juga dinyatakan bersalah, dengan dakwaan korupsi, dan divonis 5 tahun penjara serta denda Rp250 juta.

Selain kasus melibatkan perwira tinggi Polri, lembaga Kepolisian juga pernah menjadi sorotan lantaran rekening gendut milik seorang bintara polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah Papua. Adalah Ajun Inspektur Satu Labora Sitorus, anggota Kepolisian Resort Sorong, Papua, pemilik rekening gendut itu. Berdasarkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dalam rekening Aiptu Labora ditemukan dana mencurigakan sebesar Rp1,2 triliun. Aliran dana itu terpantau sejak 2007 hingga 2012.

Kini Labora menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Ia divonis 15 tahun penjara atas kasus pencucian uang dan kepemilikan narkotika setelah sebelumnya, dalam dakwaan pengadilan tingkat pertama, didakwa menimbun kayu gelondongan dan menimbun 1 juta liter solar.

Kasus terbaru yang juga menjadi sorotan institusi Polri adalah operasi tangkap tangan Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno dan seorang komisaris, November 2016. Kedua perwira menengah Polri ini diduga menerima suap Rp1,75 miliar terkait penyidikan kasus pencetakan sawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara tahun anggaran 2012-2014 di Ketapang, Kalimantan Barat.

Brotoseno diduga menerima suap untuk memperlambat penyelidikan kasus dugaan korupsi cetak sawah yang kasusnya tengah ditangani Direktorat Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri. Dalam pengakuannya kepada penyidik, Brotoseno berkata menerima uang Rp1,75 miliar dari rekannya sesama penyidik, yakni Kompol DSY. Uang itu diakui sebagai titipan dari seorang perantara berinisial LMB.

Kepolisian pun telah menangkap Kompol DSY berikut barang bukti Rp150 juta, dan seorang yang disebut perantara itu dengan barang bukti uang Rp1,1 miliar. Kini berkas perkara dugaan suap ketiga tersangka itu telah dilimpahkan ke kejaksaan buat selanjutnya diproses di pengadilan.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Hukum
Reporter: Arbi Sumandoyo & Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam