tirto.id - Sikap tegas buat memberantas pungutan liar serta suap di tubuh kepolisian Indonesia dilontarkan oleh Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian pada Oktober tahun lalu. Melalui wicara via video dengan para Kepala Polda seluruh Indonesia, alumni Akademi Kepolisian tahun 1987 itu meminta bawahannya buat membentuk tim khusus memberantas pungutan liar di internal Polri. Sasarannya, ia menyebutkan, tempat-tempat pelayanan yang terindikasi menjadi sarang pungutan liar, seperti tempat pembuatan SIM, STNK, dan BPKP.
Ketika Tito meminta jajarannya membentuk Tim Operasi Pungli, ia mendapati Satuan Pelayanan Administrasi Surat Izin Mengemudi (Satpas SIM) di wilayah Bekasi, Jawa Barat, dan Tangerang kerap melakukan aksi pungutan liar. “Sudah saya tindak itu, sudah ada penindakan. SIM yang di Bekasi, yang di Tangerang, ada empat kami gali,” kata Tito di Markas Polda Metro Jaya, Rabu (12/10).
Apa yang dikatakan Tito mengindikasikan bahwa praktik pemerasan telah mengakar di tempat pelayanan SIM termasuk di Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat).
Redaksi Tirto pernah menurunkan laporan mengenai pungutan liar di Satuan Pelayanan Administrasi SIM dalam bentuk asuransi kecelakaan milik Yayasan Bhakti Bhayangkara. Yayasan itu milik Polri dan terlibat dalam tempat pembuatan SIM tanpa melalui tender terbuka.
Dari hasil reportase di Samsat Daan Mogot, pola pungutan liar seolah resmi itu mewajibkan setiap pembuat SIM untuk membayar uang asuransi Rp30 ribu. Para petugas di Samsat sama sekali tidak mengedukasi tetapi mengarahkan pembuat SIM membeli asuransi itu. Modusnya, asuransi itu seolah menjadi bagian resmi dari alur pembuatan SIM, padahal asuransi tersebut bersifat tidak wajib. Meski harganya Rp30 ribu, tetapi jika kita kalkulasikan dengan pembuat SIM setiap hari yang mencapai ribuan, nilainya bisa mencapai miliaran rupiah. (Baca: Meraup Untung dari Asuransi SIM)
Pungli dan suap telah lama melekat di baju Polri. Ini juga yang kemudian menempatkan institusi Polri paling memiliki citra buruk sebagai lembaga negara. Data laporan Ombudsman pada 2016 menyebutkan Polri adalah lembaga negara dengan angka tertinggi sebagai sarang pungli dan praktik suap. Praktik itu, menurut Ombudsman, dicirikan dengan mengulur-ulur pengungkapan kasus dan maladministrasi yang jumlahnya mencapai 51 persen.
Citra Buruk Kepolisian
Dalam hal mengukur kinerja yang mengedepankan profesionalitas, Korps Bhayangkara ini pada 2015 menggandeng Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia dan Kemitraan buat melakukan penelitian. Hasilnya, dari riset Indeks Tata Kelola Kepolisian di sembilan satuan kerja di 31 Polda, rata-rata dari mereka memiliki banyak kekurangan.
Penelitian itu dilakukan pada Satuan Kerja (Satker); Pembinaan Masyarakat (Binmas), Lalu Lintas (Lantas), Intelijen Keamanan (Intelkam), Polisi Perairan (Polair), Reserse Kriminal Umum (Reskrimum), Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus), Reserse Narkoba (ResNarkoba), Samapta Bhayangkara (Sabhara), dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Hasilnya, ukuran-ukuran yang mencirikan tata kelola kepolisian yang baik mendapat penilaian yang buruk. Misalnya, prinsip akuntabilitas, prinsip kompetensi, prinsip efektivitas, dan prinsip keadilan. Sementara, hanya prinsip responsif, prinsip transparansi, dan prinsip perilaku di tubuh kepolisian yang punya nilai baik.
Inda Presanti Loekman, manajer riset, mengatakan meski rendah penilaian masyarakat terhadap pelayanan kepolisian, tetapi institusi Bhayangkara ini patut diapresiasi lantaran "mau membuka diri untuk mengevaluasi lembaganya." Ia menegaskan, sudah saatnya Polri menjalankan tugas dengan transparan.
"Polisi sekali commitment larinya kencang tapi butuh waktu panjang. Mumpung Pak Tito ada kemauan melakukan perubahan,” katanya kepada reporter Tirto.
Kantor Polisi Menjadi Sarang Pungli
Selain mengukur Indeks Tata Kelola pada tingkatan Polda, kerjasama itu mengukur integritas lembaga Polri dalam melayani masyarakat di 70 Kabupaten/ Kota pada tingkatan Polresta dan Polres. Penelitian itu mengukur potensi suap dan pemerasan setiap Polres maupun Polresta dari pelbagai satuan pelayanan.
Hasilnya, 35 Polres masuk dalam kategori "rawan sekali terjadi penyuapan." Mereka adalah Polresta Medan, Polresta Balerang, Polresta Pekan Baru, Polresta Sorong Kota, dan Polresta Bandar Lampung. Sementara, 30 lainnya masuk kategori rawan, di antaranya, Polresta Depok, Polres Bandung, Polrestabes Semarang, dan Polrestabes Surabaya. Dari 70 Polresta dan Polres itu, hanya 5 Polres yang masuk kategori "aman dari penyuapan," yakni Polres Konawe, Polres Garut, Polres Kotawaringin Timur, Polres Lombok Timur, dan Polres Sorong.
Sementara, dalam hal praktik pemerasan, hasilnya sebanyak 50 Polres dan Polresta masuk dalam kategori "rawan terjadinya pemerasan" dan 9 Polres dan Polresta masuk dalam kategori "rawan sekali terjadinya praktik pemerasan." Sembilan Polres ini dari Kupang, Medan, Balerang, Sorong Kota, Pekanbaru, Lampung Tengah, Banda Aceh, Deli Serdang, dan Bandar Lampung. Hanya enam Polres yang mendapat predikat cenderung aman dari praktik pemeresan (Polres sambas, Polres Garut, Polres Sorong, Polres Konawe, dan Polres Lombok Timur.
Praktik pungutan liar, pemerasan, dan penyuapan di tubuh Polri dalam melayani kasus-kasus pidana di tengah masyarakat sebenarnya sudah lama diketahui publik. Dari penelitian itu, rupanya praktik tersebut masih laten.
Temuan itu menunjukkan bahwa pekerjaan rumah Polri masih seabrek buat membenahi institusinya.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam