tirto.id - Hampir seabad silam, pada 1918, C. van Rossen diminta datang ke Betawi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Paul van Limburg Stirum. Orang nomor satu di Hindia Belanda itu, menurut Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (2011), menilai van Rossen sebagai tokoh yang sangat bersih. Kala itu, Hindia Belanda belum memiliki kepolisian yang tertata sistemnya. Termasuk sistem keuangannya. Gubernur Jenderal tentu butuh orang jujur, van Rossen dianggapnya cocok.
Di Betawi, van Rossen menjadi Kepala Polisi Lapangan Betawi, dengan pangkat Komisaris Besar. Setidaknya, ia pernah terlihat menjadi perwira yang punya inisiatif mengenai seragam kepolisian. Pada 1921, ia memberi masukan cukup penting mengenai bagaimana seharusnya seragam polisi. Sebelumnya, seragam polisi lapangan di Jawa hanya mementingkan penampilan, tapi kurang memperhatikan kepraktisan.
“Agar unit polisi lapangan diberikan seragam yang sesuai: kuat, tidak terlalu panas, warna yang tidak mudah kotor, mudah dicuci dan memudahkan pergerakan di lapangan,” ujar van Rossen seperti dikutip Bloembergen.
Belakangan, van Rossen diangkat menjadi kepala bagian pembukuan kepolisian. Akhir tahun 1922, van Rossen sudah punya sebuah mobil merah bermerek Hudson, rumah mewah, dan vila di Negeri Belanda.
Diam-diam Asisten Residen Betawi, J.J. van Helsdingen mulai mengawasinya sejak November 1922. Ketika itu, polisi di bawah koordinasi departemen dalam negeri dan tak sentralistis seperti di masa-masa setelahnya. Soal keuangan pun masih terkait pemerintah keresidenan. Asisten Residen ikut mencermati dan mengawasi kepolisian.
Beberapa polisi didapatinya bermasalah. Ada agen kepala bernama Muller yang melaporkan atasannya, kepala reserse unit candu bernama WJ Kelder, telah terlibat penyelundupan candu. Asisten Residen tak temukan bukti. Namun belakangan Kelder kena hukum karena menyelewengkan pembukuan. Kelder juga ternyata kecanduan morfin. Seorang kepala reserse bernama Tjoa Bok Seng juga ditangkap karena bermasalah.
Kawasan judi dan pelacuran di Senen juga menjadi "sapi perah" polisi. Ada 15 tempat pelacuran dan judi yang tiap bulan menyetor uang sebesar 2.000 gulden ke polisi di Senen. Asisten Residen mencurigai komisaris van Rossen menjadi kepala polisi yang membiarkan penyelundupan candu merebak di Betawi. Namun, van Helsdingen tak punya bukti kuat untuk masalah tersebut. Kejahatan van Rossen yang berhasil dibongkarnya adalah menggelapkan uang 1 juta gulden. Selama bertahun-tahun ia memperkaya diri dengan memainkan pos anggaran kepolisian.
Pada 8 September 1923, van Rossen akhirnya ditahan dan dipecat. Tentu saja korupsi duit sejuta gulden sang komisaris van Rossen jadi berita gede di koran. Baik koran berbahasa Belanda maupun bahasa Melayu pasar.
Koran Sin Po (13/09/1923) memberitakan bahwa korupsi di kalangan kepolisian Betawi sudah lama terendus. Sebelumnya, jika ada pemeriksaan sebagai komisaris, van Rossen selalu menghalangi. Sin Po edisi 29 September 1923 memberitakan pemanggilan van Rossen untuk diperiksa di Raad van Justitie alias kantor Pengadilan Tinggi. Bekas Asisten Residen Meester Cornelis (Jatinegara) Beck juga diperiksa. Tuduhannya, ia terjerat kasus penggelapan yang sama. Koran Oetoesan Melajoe-Perobahan edisi 24 Oktober memberitakan Asisten Residen Meester Cornelis itu akhirnya diberhentikan.
Menurut catatan Bloembergen, pada 10 September 1923, Asisten Residen ditugaskan untuk membuka kasus korupsi van Rossen hingga tuntas. Penyelidikan kemudian menyeret komisaris besar lainnya: Kepala Sekolah Polisi di Bogor bernama Misset dan Kepala depo pelatihan H de Waard. Pembukuan mereka pun mengandung penilepan duit, yang zaman sekarang dikenal sebagai korupsi.
Koran Het Vaderland yang terbit di Den Haag, yang punya koresponden di Betawi, bahkan mengadakan investigasi. “Disebutkan maraknya korupsi, penerimaan uang suap dari pusat perjudian dan pelacuran yang dikelola orang-orang Tionghoa, pendapatan ilegal dari distribusi beras, perwira-perwira yang tidak becus, pengelolaan keuangan yang kacau-balau, salah kelola dalam proses penerimaan dan penempatan anggota kepolisian lapangan di Betawi. Itu semua terjadi karena kuatnya sistem saling melindungi dalam kepolisian umum di gewest (daerah) Betawi: van Rossen, De Waard, dan Misset, semuanya berasal dari korps inspektur polisi Den Haag,” tulis Bloembergen.
Hindia Belanda, yang kala itu udik dan belum semapan Eropa, tampaknya menjadi daerah basah bagi tritunggal van Rossen, De Waard, dan Misset. Mereka melihat peluang penyimpangan yang begitu besar di Hindia. Kepercayaan terhadap perwira polisi di Hindia pun merosot karena ulah van Rossen dan kolega-koleganya. Sepanjang tahun 1924, banyak perwira polisi yang diperkarakan.
Bloembergen mencatat, kasus penyalahgunaan pembukuan oleh perwira korup terjadi juga di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Manado, dan Makassar. Perkaranya pada pembukuan unit polisi lapangan, yang kala itu disebut Veld Politie—punya tugas seperti Brigade Mobil (Brimob) masa sekarang.
Sesudah van Rossen lengser, Gubernur Jenderal dan jajarannya dibuat pusing buat cari sosok pengganti koruptor di awal abad 20 itu. Para pembesar ini membicarakan suksesornya pada 2 November 1923 di Istana Gubernur Jenderal. Sekretaris pemerintah kolonial, Welter, yang belakangan menjadi Menteri tanah Jajahan Belanda, juga hadir. Belakangan tercetus ide untuk mengerahkan militer, khususnya Marsose, untuk menggantikan posisi para perwira polisi yang korup dan diberhentikan tadi.
Kasak-kusuk akan melibatkan militer ke kepolisian bikin risih orang-orang di kepolisian pada 1923. Surat kabar Oetoesan Melajoe Peroebahan (15/11/1923) memberitakan Politie Bond (Perkumpulan anggota Polisi) merasa tidak senang dan menyatakan keberatan atas rencana pengangkatan perwira-perwira militer KNIL sebagai kepala Polisi di Betawi. Mereka mengajukan surat keberatan itu kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Betawi.
Suka tidak suka, perwira militer akhirnya turun tangan. Menurut catatan Marieke Bloembergen, penutupan tempat judi dan pelacuran Senen pun harus melibatkan Kapten Retering dan Letnan Drost dari Marsose—unit polisi militer khusus yang terkenal kejam dalam Perang Aceh.
Namun, perkara suap-menyuap ternyata tak hanya terjadi di zaman kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, penyuapan sering terjadi. Mantan Kapolri legendaris Hoegeng Imam Santoso yang dikenal jujur itu, dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993), pernah bercerita bagaimana ia disambut oleh pengusaha yang memberinya rumah beserta perabotan lengkap dan mobil di Medan pada 1950-an. Hoegeng saat itu memilih untuk mengembalikan pemberian si pengusaha. Ketika itu Medan terkenal dengan penyelundupan, judi, dan korupsi. Namun Hoegeng tidak bercerita soal keterlibatan polisi.
Soal korupsi di kepolisian setelah tahun 2000 tak kalah hebat. Bukan lagi seorang komisaris besar, tapi jenderal polisi juga terlibat kasus korupsi alat simulator ujian SIM. Namanya Djoko Susilo. Ia merugikan negara hingga Rp100 miliar.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam