tirto.id - Kamis, 7 Maret 2019, Robertus Robet ditangkap di kediamannya. Itu dilakukan polisi setelah ia berorasi di acara Aksi Kamisan di Monas, Jakarta Pusat pada 28 Februari.
Dalam Aksi Kamisan tersebut, Robet sempat menyanyikan penggalan lagu Mars ABRI yang dipelesetkan, yang populer pada saat aksi-aksi demonstrasi menjelang jatuhnya Soeharto.
Lagu tersebut ia nyanyikan sebagai pengingat akan bahaya militer yang hadir dalam kehidupan sosial-politik, yakni memegang jabatan-jabatan sipil. Konteksnya adalah wacana kembalinya sejumlah militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil seiring begitu banyak perwira tinggi yang “menganggur”.
“Lagu ini jangan-jangan mesti kita ingat kembali. Kenapa? Karena ada ancaman yang muncul di depan kita. Generasi-generasi baru yang muncul mesti mulai mencipta lagu-lagu semacam ini untuk menghadapi tantangan-tantangan zamannya,” ujar Robet.
Ia menambahkan, penolakan tersebut bukan karena benci kepada tentara, tapi sebagai wujud cinta kepada tentara yang profesional, yang fokus pada tugas pertahanan negara. Apa yang ia tolak adalah kehadiran tentara dalam kehidupan sipil, yakni kehidupan politik dan kehidupan demokrasi.
Menurutnya, tentara adalah orang yang memegang senjata. Dan orang yang memegang senjata, mengendalikan, serta mendominasi alat-alat kekerasan negara tidak bisa diajak berdialog dan berdebat. Sementara demokrasi, kehidupan ketatanegaraan, harus berbasis kepada dialog yang rasional. Oleh sebab itu, tentara tidak boleh memegang jabatan-jabatan sipil.
“Ini bukan perkara personal. Ini bukan perkara kita membenci satu grup, atau menolak satu grup. Yang ingin kita kokohkan adalah apa yang disebut dengan supremasi sipil,” imbuh alumnus Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia itu.
Sekilas Sejarah Dwifungsi TNI
Setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, tentara kembali mendapat “sambutan” zaman seiring gencarnya aksi separatisme di sejumlah daerah dalam usia Republik yang masih muda. Militer kembali ke medan laga.
Pada tahun-tahun penuh pergolakan itu, terbit Undang-undang Nomor 74 tahun 1957 tentang Pencabutan Regeling op de Staat van Oorlog en Beleg (undang-undang keadaan bahaya dari zaman kolonial) dan Penetapan Keadaan Bahaya.
Undang-undang yang mengatur wewenang militer dalam keadaan bahaya atau kondisi darurat perang ini membuka peluang bagi tentara untuk mengeluarkan perintah atau peraturan yang menyangkut keamanan dan ketertiban umum.
“Militer di Indonesia mulai memiliki peran signifikan dalam perpolitikan pasca dikeluarkannya Undang-undang Keadaan Darurat Perang (Martial Law) atau dikenal dengan sebutan SOB (staat van oorlog en beleg) pada tahun 1957,” tulis Connie Rahakundini Bakrie dalam Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal (2007), yang ia kutip dari Jusuf Wanandi.
Setelah kondisi darurat perang dicabut, Nasution memperkenalkan konsep “jalan tengah” yang membuka jalan bagi militer—meski perang telah berakhir—untuk tetap “hadir” dalam kehidupan sipil atas nama stabilitas nasional.
Konsep ini kemudian dimatangkan pada zaman Orde Baru oleh Soeharto dengan nama Dwifungsi ABRI. Selama puluhan tahun bos Orde Baru ini membuat kedudukan militer begitu kuat. Tentara diberikan kesempatan yang amat luas untuk menduduki sejumlah jabatan sipil di pemerintahan.
Mereka yang dapat dengan mudah menyandang senjata itu hadir dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan sektor lainnya. Pada masa itu jabatan-jabatan seperti menteri, gubernur, dan bupati/walikota, banyak diisi anggota militer aktif.
Apa yang diungkapkan Robertus Robet dalam Aksi Kamisan pada 28 Februari 2019 adalah soal dwifungsi ini. Robet menekankan pentingnya supremasi sipil dalam kehidupan demokrasi kiwari. Tentara, sebagaimana mestinya, harus tetap di barak, fokus dan setia pada tugas pokoknya.
Dwifungsi ABRI Telah Dihapus
Saat reformasi 1998 bergulir, salah satu tuntutan yang kencang disuarakan kelompok pro-demokrasi adalah pencabutan Dwifungsi ABRI. Terpilihnya Abdurahman Wahid alias Gus Dur sebagai presiden membuat tuntutan itu cepat dikabulkan lewat sejumlah keputusan.
Dalam masa jabatannya yang sangat pendek (1999-2001) karena keburu dilengserkan, pemerintahan Gus Dur melakukan sejumlah reformasi TNI. Polri dipisahkan dari TNI. Doktrin Dwifungsi ABRI dicabut yang implementasinya melepaskan peran sosial-politik TNI.
Militer aktif tidak lagi melibatkan diri dalam politik partisan untuk mendukung Golongan Karya. Fraksi TNI-Polri dihilangkan dari parlemen. Dan doktrin kekaryaan yang selama itu melekat tidak lagi digunakan. Militer aktif tidak lagi menempati jabatan sipil.
“Perubahan TNI dalam reformasi TNI adalah perubahan dari Dwifungsi menuju militer profesional dalam sistem politik yang demokratis," tulis Agus Widjojo dalam Transformasi TNI (2015).
Purnawirawan yang kini menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) ini menambahkan, reformasi TNI sejatinya bukan merupakan perubahan, tapi pemurnian peran dan wewenang TNI sesuai dengan UUD 1945. Sebelumnya, peran TNI dianggap mengalami penyimpangan karena hadirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Sistem Pertahanan Keamanan Negara.
Bahaya Dwifungsi TNI
Setahun sebelum menjadi presiden, Gus Dur telah menjelenterehkan pelbagai bahaya dari kondisi di lapangan mengenai pelaksanaan Dwifungsi ABRI. Dalam tulisannya bertajuk “Dwifungsi ABRI: Prinsip dan Cara”, yang dimuat di harian Kompas edisi 13 Oktober 1998, ia menjelaskan tentang persepsi militer terhadap dwifungsi tersebut.
Menurut Gus Dur, dalam memandang perannya ini, timbul perasaan superior di kalangan militer yang melihat bahwa dwifungsi adalah alat untuk mencampuri urusan segala pihak tanpa terbendung. Dalam pandangan mereka, orang sipil seolah-olah tak mempunyai hak untuk menentukan segala sesuatu tanpa seizin militer.
Pandangan seperti ini, imbuh Gus Dur, pada akhirnya mematahkan segala usulan alternatif dari sipil dalam pelbagai keputusan karena akan selalu dikalahkan oleh alternatif dari militer. Gus Dur memberi contoh, saking luasnya dominasi militer, hanya sedikit saja bidang yang tak dapat mereka rambah, yakni ceramah di masjid atau pengajian-pengajian umum.
“Ini adalah pandangan yang paling ekstrem, namun inilah yang banyak dirasakan oleh berbagai kalangan di negeri kita,” imbuhnya.
Lebih lanjut ia menerangkan, pandangan kedua yang timbul di kalangan militer akibat perasaan superior ini adalah selalu menganggap sipil sebagai elemen yang tak becus mengurus dirinya sendiri, tak pandai mengambil keputusan karena pertentangan yang terkatung-katung.
Untuk mematahkan dua persepsi itu, Gus Dur mengajukan beberapa argumentasi. Pertama, keterlibatan orang militer bisa saja diperlukan dalam mengambil sejumlah keputusan tanpa membawa korps. Namun, yang lebih penting adalah mendorong supremasi sipil dengan cara memutus perlahan keterlibatan militer, sehingga selanjutnya militer bisa sepenuhnya lepas dari kehidupan sipil dan Dwifungsi ABRI kehilangan bobotnya. Artinya, jabatan dan profesi non-militer dapat sepenuhnya diambilalih kalangan sipil.
Argumentasi selanjutnya, berkaca dari situasi di Amerika Serikat, Gus Dur menilai bahwa tentara yang hendak menduduki jabatan non-militer wajib untuk disipilkan dulu, artinya mesti pensiun dari dinas kemiliterannya.
Namun, dalam konteks saat itu, Gus Dur masih memberi toleransi terhadap Dwifungsi ABRI. Ia melihat, setelah tiga dekade dalam cengkeraman militer, sipil masih belum bisa sepenuhnya lepas dari kerja-kerja praktis operasional militer, sehingga peran militer belum bisa sepenuhnya dicabut. Yang tegas ia sampaikan adalah militer harus dibatasi peranannya dalam membahas hal-hal yang sifatnya konsepsional.
Kini, dua dekade lebih sejak reformasi bergulir, kiprah sipil dalam demokrasi dan pemerintahan sudah cukup lama—dengan pelbagai kelebihan dan kekurangannya—membuat “toleransi” yang diberikan Gus Dur terkait dwifungsi militer sudah tidak relevan.
Supremasi sipil harus sepenuhnya ditegakkan. Dan wacana mengembalikan tentara aktif ke dalam jabatan sipil semestinya ditolak. Bukan hanya secara prinsip—seperti yang dikemukan Agus Widjojo—menyimpang dari UUD 1945, tapi juga mencegah hadirnya kembali para pemagang senjata ke pusaran politik dan sosial. Dengan begitu, tentara tak lagi mengangkangi kehidupan sipil seperti puluhan tahun silam.
Editor: Ivan Aulia Ahsan