Menuju konten utama

Pantaskah Prabowo Dapat Gelar Jenderal Kehormatan dari Jokowi?

Keputusan Presiden Jokowi berikan gelar jenderal kehormatan bagi Prabowo menuai polemik. Bagaimana aturannya?

Pantaskah Prabowo Dapat Gelar Jenderal Kehormatan dari Jokowi?
Foto kegiatan Rapim TNI Polri yang dihadiri Presiden Jokowi, Menhan Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit, Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani, Ketua Komisi I Meutya Hafidz, Menkopolhukam Hadi Tjahjanto, Kepala KSP Moeldoko, Wamenhan Letjen Herindra, dan para kepala staf. (Tirto.id/Andrian Pratama Taher)

tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi memberikan gelar jenderal kehormatan kepada Menteri Petahanan Prabowo Subianto, Rabu (28/2/2024). Pemberian gelar ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 13/TNI tahun 2024 tentang Penganugerahan Pangkat secara Istimewa yang terbit pada 21 Februari 2024.

Jokowi mengatakan pemberian gelar dilakukan karena sikap Prabowo yang berbakti pada bangsa dan negara. “Saya ucapkan selamat kepada Bapak Jenderal Prabowo Subianto,” kata Jokowi saat memberikan sambutan dalam acara Rapim TNI-Polri 2024 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Rabu (28/2/2024).

Prabowo menanggapi singkat soal pemberian gelar jenderal kehormatan yang diputuskan Jokowi. Prabowo berkelakar pangkatnya berat. “Nampaknya berat,” ujar Prabowo singkat seraya meninggalkan lokasi kegiatan.

Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil justru mengkritik langkah Jokowi yang memberikan gelar jenderal kehormatan ke Prabowo. Hal ini tidak lepas dari rekam jejak masa lalu mantan Danjen Kopassus itu yang saat di militer tidak berjalan mulus.

“Pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan langkah keliru. Gelar ini tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karier militer, khususnya berkaitan dengan keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu,” kata anggota Koalisi Masyarakat Sipil, Muhammad Isnur, Rabu (28/2/2024).

Isnur menambahkan, “Pemberian gelar tersebut lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo yang menganulir keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.”

Ketua Umum YLBHI ini mengingatkan bahwa Prabowo telah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan termasuk melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis prodemokrasi pada 1998. Hal itu berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP.

Sebagai catatan, pangkat terakhir Prabowo adalah jenderal bintang tiga atau letjen. Jabatan terakhir Prabowo adalah Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Pangkostrad). Ia diberhentikan tidak hormat dan dilarang masuk Amerika Serikat karena diduga melanggar HAM pada 1998. Hal itu terungkap dengan beredar surat keputusan nomor KEP/03/VIII/1998/DKP sebagai bentuk pemberhentian Prabowo.

Berdasarkan surat keputusan itu, Prabowo kemudian dijatuhkan hukuman berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan. Pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat secara tidak hormat oleh TNI sejatinya telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh TNI.

Selain itu, kata isnur, apresiasi berupa pemberian kenaikan pangkat kehormatan ini justru bertentangan dengan janji Presiden Jokowi dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilu 2014.

Isnur mengingatkan, pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat, salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak 2006.

Dengan demikian, hal ini haruslah beriringan dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata dari pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengadili para pelaku, alih-alih melindungi mereka dengan tembok impunitas dan memberikan kedudukan istimewa dalam tatanan pemerintahan negara ini.

Pemberian gelar kehormatan bagi Prabowo, kata Isnur, juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap gerakan Reformasi 1998. Kebebasan yang dinikmati hari ini merupakan buah perjuangan para martir dari Gerakan Reformasi 1998. Ia menyayangkan pihak yang dulu ditumbangkan oleh Reformasi 1998 justru hari ini diberikan penghargaan.

“Bahkan, Prabowo Subianto belum pernah diadili atas tuduhan kejahatan yang dia lakukan. Jadi, nama Prabowo Subianto masih masuk dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan karena belum pernah diputihkan atau dibersihkan melalui sidang pengadilan yang terbuka melalui Pengadilan HAM ad hoc yang digelar untuk mengadili kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998,” kata Isnur.

Serangkaian tindakan Presiden Jokowi yang kerap memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia, kata Isnur, tentu turut memperkuat belenggu impunitas di bumi pertiwi. Situasi tersebut menunjukan bahwa human rights vetting mechanism tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.

Padahal, kata dia, memeriksa latar belakang atau rekam jejak personil yang akan menduduki jabatan-jabatan publik atau yang disebut juga vetting mechanism, merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif. Namun, hal itu tidak pernah berjalan sejak Indonesia bertransisi dari kepemimpinan otoriter ke demokrasi dan supremasi sipil pada 1998.

Isnur mengingatkan, soft law internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni dalam Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity pada Februari 2005 (Rangkaian Prinsip yang Diperbarui untuk Perlindungan dan Promosi HAM Melalui Tindakan Memerangi Impunitas) dalam Prinsip 36 menyebutkan “Public officials and employees who are personally responsible for gross violations of human rights, in particular those involved in military, security, police, intelligence and judicial sectors, shall not continue to serve in State institutions.” (Pejabat dan pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen, dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara).

Lebih dari itu, pemberian gelar kehormatan terhadap Prabowo jelas-jelas akan merusak nama baik institusi TNI. Sebab, hal itu diberikan kepada orang yang diberhentikan oleh TNI pada masa lalu karena terlibat atau bertanggung jawab dalam kejahatan kemanusiaan akan diberi gelar kehormatan hari ini.

“Presiden Joko Widodo telah memaksa institusi TNI untuk menjilat ludah mereka sendiri demi kepentingan politik keluarga Presiden Joko Widodo. Presiden Joko Widodo tidak hanya mempolitisasi TNI, melainkan meruntuhkan muruah dan martabat TNI yang telah dibangun oleh banyak prajurit dengan darah dan air mata,” kata Isnur.

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Jokowi membatalkan pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo yang diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998. Mereka juga meminta Komnas HAM mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998.

Kemudian, Koalisi Masyarakat Sipil meminta Kejaksaan Agung untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998. Mereka juga meminta TNI Polri netral dan tidak berpolitik.

Bukan Pangkat Kehormatan, tapi Kenaikan Pangkat Istimewa

Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, meminta publik perlu memahami pemberian pangkat kepada Prabowo murni mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009. Akan tetapi, bukan pangkat kehormatan, melainkan kenaikan pangkat istimewa.

“Di undang-undang itu ada istilah pengangkatan atau kenaikan pangkat istimewa, bukan kehormatan seperti yang beberapa media keliru sebutkan. Nah, kenaikan pangkat istimewa atau pengangkatan pangkat istimewa itu adalah hak yang menyertai pemberian bintang jasa oleh negara,” kata Fahmi, Selasa (27/2/2024) malam.

Ia mengatakan, kenaikan pangkat kehormatan sudah tidak berlaku dalam Undang-Undang 34 tahun 2004 tentang TNI sekaligus PP Nomor 39 tahun 2010 yang merupakan turunan soal administrasi prajurit.

“Jadi kalau media menyebutnya sebagai kenaikan pangkat kehormatan atau pemberian pangkat kehormatan, itu narasi yang tidak tepat. Itu adalah penganugerahan pangkat istimewa sebagai jenderal bintang 4 atau jenderal penuh," kata Fahmi.

Fahmi mengatakan, Prabowo sudah layak mendapat kenaikan pangkat istimewa menjadi jenderal kehormatan karena sudah mendapat 4 bintang utama matra, antara lain bintang Yuda Dharma Utama, bintang Kartika Eka Paksi Utama, bintang Jalasena Utama, dan bintang Swa Bhuwana Paksa Utama.

Jika mengacu UU, kata Fahmi, Prabowo punya hak dan memenuhi syarat sejak 2022 setelah menerima 4 tanda bintang utama dari tiap matra. Pemberian pun adalah wewenang penuh Jokowi sebagai presiden dan sesuai undang-undang.

“Pemberian pangkat istimewa itu juga bukan sekadar hak prerogatif, melainkan kewenangan presiden sebagaimana diatur oleh undang-undang," kata Fahmi.

Fahmi juga menekankan Prabowo masih layak menerima tanda kehormatan hingga naik pangkat. Sebab, kata dia, semua prajurit yang memasuki pensiun atau dinas keprajuritan akan mendapat keputusan pemberhentian dari dinas keprajuritan. Prabowo, dalam kacamata Fahmi, diberhentikan secara hormat sehingga masih mungkin mendapat tanda kehormatan tersebut.

“Faktanya, status Prabowo adalah diberhentikan dengan hormat. Karena itu dia juga tidak kehilangan hak dan kewajiban apa pun yang berkaitan dengan statusnya sebagai prajurit TNI. Termasuk menerima tanda kehormatan bintang militer dan pangkat istimewa," kata Fahmi.

Lantas, bagaimana soal posisi Prabowo yang disebut pelanggar HAM berat? Fahmi mengingatkan belum ada fakta hukum dan putusan berkekuatan hukum tetap yang menghukum Prabowo sebagai pelanggar HAM. Dengan kata lain, Prabowo masih layak menerima kenaikan gelar kehormatan.

“Selama hal itu tidak ada, tentu saja dia tidak bisa disebut demikian dan asas praduga tidak bersalah juga berlaku untuk Prabowo,” kata Fahmi.

Klarifikasi Jokowi dan TNI

Terkait polemik di atas, Kapuspen TNI, Mayjen Nugraha Gumilar, menjelaskan tentang status Prabowo yang sebelumnya disidang etik. Nugraha menegaskan bahwa Prabowo diberhentikan secara hormat sehingga masih layak mendapat gelar jenderal kehormatan.

“DKP merekomendasikan ke presiden untuk Pak Prabowo diberhentikan dari dinas keprajuritan dan presiden melalui surat Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 1998 memutuskan untuk memberhentikan dengan hormat dan mendapatkan hak pensiun,” kata Gumilar saat dikonfirmasi, Rabu (28/2/2024).

Nugraha juga menekankan bahwa Prabowo layak menerima kenaikan pangkat. Hal ini tidak lepas dari peran mantan Danjen Kopassus itu untuk bangsa.

“Beliau banyak jasanya untuk negeri ini, itu salah satu pertimbangannya,” kata Nugraha.

Presiden Jokowi juga menjelaskan alasan pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo. Jokowi mengatakan, pemberian gelar kepada Prabowo tidak lepas dari status Prabowo yang sudah mendapat bintang yudha dharma dalam sepak terjang di masyarakat.

“Ya ini supaya kita tahu semuanya bahwa 2022, Bapak Prabowo Subianto ini sudah menerima anugerah yang namanya bintang yuda dharma utama atas jasa-jasanya di bidang pertahanan sehingga memberikan kontribusi yang luar biasa bagi kemajuan TNI dan kemajuan negara,” kata Jokowi usai menghadiri acara Rapim TNI-Polri di Jakarta, Rabu (28/2/2024).

Jokowi mengatakan pemberian gelar sudah melalui verifikasi Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Pemberian gelar pun sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009. Ia mengatakan pengajuan dilakukan oleh Panglima TNI.

“Indikasi dari penerimaan anugerah bintang tersebut sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 2009, kemudian Panglima TNI mengusulkan agar Pak Prabowo diberikan pengangkatan dan kenaikan pangkat secara istimewa,” kata Jokowi.

Jokowi menambahkan, “Jadi semuanya memang berangkat dari bawah berdasarkan usulan Panglima TNI, saya menyetujui untuk memberikan kenaikan pangkat secara istimewa berupa Jenderal TNI kehormatan," yutur Jokowi.

Jokowi juga menegaskan bahwa pemberian gelar tidak hanya dilakukan di era dia saja. Ia mengatakan Susilo Bambang Yudhoyono dan Luhut Binsar Pandjaitan juga menerima penghargaan serupa. “Sesuatu yang sudah biasa di TNI maupun di Polri,” kata Jokowi.

Jokowi juga menjawab bahwa pemberian gelar dilakukan sebagai upaya mencegah transaksi pemilu. Hal ini merespons dugaan transaksional.

“Ya kalau transaksi politik kita berikan saja sebelum pemilu ha, ha, ha. Ini kan setelah pemilu jadi supaya tidak ada anggapan-anggapan itu,” kata Jokowi.

Baca juga artikel terkait PRABOWO SUBIANTO atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz