tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) jelang akhir masa jabatan terlihat sibuk bermanuver demi kepentingan Prabowo-Gibran Rakabuming Raka. Jokowi baru-baru ini membahas makan siang gratis yang menjadi program capres dan cawapres nomor urut 2.
Jokowi membahas soal program Prabowo
dalam sidang kabinet paripurna persiapan ramadan dan Idulfitri 1445 Hijriah di Istana Negara, Senin (26/2/2024) kemarin.
Dihadapan para menteri, Jokowi memastikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 akan memperhatikan hasil Pilpres 2024. Alasannya, karena anggaran tersebut akan dijalankan presiden selanjutnya.
"Sambil menunggu hasil perhitungan resmi KPU, maka RAPBN 2025 harus disiapkan dengan memperhatikan hasil pilpres, karena yang menjalankan APBN 2025 adalah presiden terpilih," ujar Jokowi.
Pada kesempatan itu, Jokowi juga menyampaikan transformasi ekonomi yang telah dijalani selama 10 tahun terakhir harus terus berlanjut. Harapannya kebijakan postur makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada 2025 dapat mendukung keberlanjutan transformasi ekonomi.
"Rencana kerja pemerintah [RKP] dan kebijakan fiskal adalah jembatan untuk menjaga keseimbangan pembangunan dan mengakomodasi program-program presiden terpilih hasil Pilpres 2024," kata Jokowi.
Usai sidang kabinet, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, membenarkan program makan siang gratis dibahas. Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Dewan Pengarah TKN Prabowo-Gibran juga mengakui hal itu merupakan perintah Jokowi untuk pemerintahan Prabowo walaupun belum ada putusan KPU.
"Kita kan minta arahan pak Presidem Joko Widodo bahwa pemerintahan itu berlanjut keberlanjutan oleh karena itu program yang memerlukan anggaran itu dipersiapkan di in-mark di RAPBN 2025 karena nanti pelaksanaan RAPBN 2025 adalah pemerintah mendatang supaya bisa berjalan lancar dan smooth," kata Airlangga.
Jokowi Dinilai Abai Urus Masalah Beras
Langkah Jokowi pun langsung dikritik calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD. Mantan Menko Polhukam itu menilai, program makan siang gratis tidak seharusnya masuk di APBN 2025 yang ditangani pemerintah saat ini.
"Ya mestinya kurang tepat karena APBN itu nanti kan ditetapkan oleh pemerintah sekarang, tetapi kalau yang mau masuk program makan [siang] gratis kan pemerintah baru," kata Mahfud.
Tidak hanya Mahfud yang mengkritik sikap Jokowi. Peneliti kebijakan publik dari IDP-LP, Riko Noviantoro, menyoroti sikap Jokowi yang membahas program makan siang gratis. Dia menilai aksi tersebut bukan prioritas pemerintah saat ini.
"Itu juga ngawur. Bahwa makan siang adalah program namun belum ada penetapan presiden terpilih jadi secara administrasi itu bukan prioritas pembahasan," kata Riko.
Jokowi dinilai abai di akhir masa jabatan. Riko melihat mantan Gubernur DKI Jakarta itu lebih penting bahas pemilu, hak angket hingga program makan siang, tetapi lupa
masalah sembako, harga beras yang semakin mahal hingga bencana alam.
Riko menyoroti masalah harga beras yang terus meroket. Akibatnya, jauh dari daya beli masyarakat sementara petani juga tidak menikmati keuntungan.
Terlihat dari data panel harga pangan, beras terus meroket. Pada Selasa (27/2/2024), beras medium naik Rp30/kg menjadi Rp14.330/kg sementara beras premium naik Rp50/kg menjadi Rp16.420 per kilogram padahal pemerintah sudah melakukan operasi pasar.
"Ini presiden ke mana? Udah bosan jadi presiden. Ajukan aja pengunduran diri," tegas Riko.
Riko menilai program makan siang gratis saat ini belum perlu dibahas pemerintah. Dia pun mendesak Jokowi untuk mengatasi masalah sembako di akhir masa jabatan.
"Program makan siang gratis itu sudah jelas segmennya artinya tidak terlalu rumit. Sedangkan menjaga harga sembako dalam rentang daya beli masyarakat itu rumit. Jadi perlu diperhatikan. Program makan siang gratis cukup gandeng catering-catering lokal. Bisa selesai, enggak perlu presiden mikirin," kata Riko.
Diminta Perkuat Ketahanan Pangan
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai, pemerintah sebaiknya memperkuat ketahanan pangan daripada program makan siang gratis. Dia beralasan, program makan siang gratis hanya berdampak untuk sedikit orang.
"Kalau ada program makan siang gratis, dia tidak menyasar seluruh komponen masyarakat sementara sebagian besar masyarakat tetap harus membeli bahan kebutuhan pokok," kata Bhima.
Dia menilai program makan siang gratis memicu inflasi. Hal ini tidak lepas ketika ada perebutan bahan pangan untuk kebutuhan makan siang gratis dengan konsumsi masyarakat umum.
"Kalau harganya naik apalagi terjadi perebutan antara bahan untuk makan siang gratis dengan kebutuhan masyarakat warung juga secara umum, yang terjadi adalah inflasi dan kalau inflasi ini akan menekan sekali dari segi daya beli masyarakat yang rentan justru," kata Bhima.
Pemerintah lebih baik memberikan anggaran fokus pada ketahanan pangan daripada makan siang gratis. Hal ini seiring situasi global yang tidak menentu.
Bhima mengingatkan, penyesuaian APBN 2025 tanpa alokasi anggaran signifikan bisa memicu defisit anggaran hingga 3 hingga 3,2 persen. Jika angka sudah terlalu tinggi, APBN bisa dianggap tidak kredibel dan angka defisit bisa lebih tinggi pada 2026.
Situasi dunia yang tidak menentu membuat proyeksi penerimaan negara bukan pajak, tantangan ekonomi global, perlambatan di negara mitra dagang dan harga komoditas bisa memicu penurunan penerimaan. Pemerintah perlu melakukan kajian detail sehingga tidak mengorbankan ekonomi negara.
"Saya pikir ini Yang jangan sampai hanya demi program yang populis sifatnya ini bisa mengganggu capaian indikator ekonomi lainnya. jadi mumpung dari awal sudah dibahas, ya bukan berarti kemudian mengakomodir anggaran yang terlalu jumbo untuk program-program yang sifatnya populis itu sebenarnya kuncinya," kata Bhima.
Bhima pun mendorong pemerintah tidak perlu mengalokasikan anggaran makan siang gratis secara besar. Dia menilai seharusnya Jokowi lebih prioritas sektor pertanian, terutama infrastruktur dan kebutuhan di bidang hulu pertanian, hingga penelitian pertanian.
"Jadi jangan sampai dengan anggaran yang defisit nya melebar tapi kualitas anggarannya jadi berkurang dan pemerintah seperti kehilangan fokus," kata Bhima.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Intan Umbari Prihatin