tirto.id - Empat mobil truk yang mengangkut puluhan polisi terparkir di sekitar gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Tenda aparat didirikan di luar pagar Gedung YLBHI, tepatnya di Jalan Mendut, Menteng, Jakarta Pusat.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 08.00 WIB, Senin (26/2/2024). Lusinan aparat itu ternyata berjaga untuk mengantisipasi gelombang demonstrasi yang akan menyasar YLBHI.
Pihak YLBHI baru mengetahui akan ada demonstrasi di kantornya saat polisi datang berjaga. Aksi ini merupakan lanjutan dari tiga aksi sebelumnya yang dilakukan oleh massa aksi yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Pemuda Mahasiswa Indonesia Timur Cinta NKRI (Format-NKRI). Massa demonstran datang dalam dua gelombang yang dimulai sekitar pukul 13.00 WIB.
Mereka membawa mobil komando dan spanduk berisi tuntutan kepada YLBHI dan LBH Jakarta. Gelombang aksi kedua yang datang sekitar 13.40 WIB, bahkan mengeluarkan ajakan untuk menyerang Gedung YLBHI lewat orasinya.
Mereka mengancam akan merusak pagar serta membakar ban tepat di trotoar depan pagar YLBHI. Massa memaksa mendorong pagar untuk merangsek masuk secara paksa ke dalam pekarangan kantor.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI, Arif Maulana, menyayangkan pihak kepolisian yang berjaga terkesan membiarkan hal tersebut.
Massa aksi ini mempunyai tuntutan kepada YLBHI dan LBH Jakarta, termasuk Lokataru, Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Kontras untuk minta maaf atas tudingan kalimat rasisme.
“Dalam aksi mereka di beberapa lembaga termasuk di LBH-YLBHI, mereka [juga] menuntut agar semua pihak menerima hasil pemilu dan tidak berbicara terkait pemakzulan Jokowi. Apa hak dan kewenangan mereka?” kata Arif kepada reporter Tirto, Selasa (27/2/2024).
Aksi demonstrasi memang tidak hanya menyasar kantor YLBHI, tetapi juga di beberapa lembaga lain seperti Kontras, Lokataru, dan ICW. Aksi di depan Gedung YLBHI telah dilakukan dalam empat kesempatan.
Format NKRI, massa aksi tersebut, terlibat dalam pembubaran konsolidasi aksi mahasiswa pada tanggal 4 Februari 2024 di sekitar Universitas Trilogi.
Format NKRI menuding beberapa lembaga pembela HAM yang disebutkan di atas, menyematkan kalimat rasis kepada mereka saat merespons tindakan pembubaran aksi mahasiswa di Universitas Trilogi. Namun, YLBHI membantah hal tersebut dan menyatakan hal itu sebagai fitnah.
Dari tuntutan peserta aksi, YLBHI menilai ada indikasi kuat bahwa aksi ini dilakukan untuk mengintimidasi YLBHI dan masyarakat sipil lainnya untuk tidak berbicara terkait isu kecurangan pemilu, kerusakan demokrasi, serta diskursus pemakzulan Presiden Jokowi.
Hal ini jelas bentuk praktik pembatasan terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi serta pembungkaman terhadap suara kritis warga yang mengkritik penguasa.
“Situasi ini memperkuat fakta semakin terancamnya hak berpendapat dan berekspresi warga negara yang mengkritik negara dan memperjuangkan haknya. Kami menduga aksi represif yang belakangan muncul memang respons sistematis dari pihak yang berkepentingan,” ujar Arif.
Aksi serupa juga dilakukan massa Format NKRI di depan kantor ICW dan disertai aksi bakar ban. Koordinator Format NKRI, Abdul Aziz, mengklaim bahwa pihaknya merupakan sekelompok mahasiswa. Menurut Aziz, kelompoknya disebut oleh ICW sebagai segerombolan preman.
Penyebutan itu diklaim terjadi ketika Aziz cs membubarkan konsolidasi aksi mahasiswa di Universitas Trilogi karena tidak setuju dengan tema diskusinya, yakni pemakzulan Presiden Jokowi. Kata dia, pemakzulan Jokowi dinilai bakal menguntungkan salah satu paslon Pilpres 2024.
“Jadi, saya sampaikan [ke mahasiswa Universitas Trilogi], bahwa saya mendukung kalian, tapi saya tidak sepakat dengan narasi pemakzulan. Karena, bagi kami senior, narasi pemakzulan ini akan menguntungkan salah satu capres-cawapres dalam kontestasi demokrasi yang baru saja selesai,” tutur Aziz di depan kantor ICW, Jakarta Selatan, Senin (26/2/2024).
Aziz menolak disebut preman sebab menurutnya mereka merupakan mahasiswa aktif. Cap preman dinilainya tergolong rasis. Karena itu, Format NKRI menuntut ICW dan organisasi pembela HAM lain meminta maaf.
“Yang kami tegaskan, kenapa ICW harus minta maaf? Karena ICW masuk dalam hal pernyataan-pernyataan yang rasis dalam hal mendiskreditkan kami orang timur,” tutur Aziz.
Tudingan Tak Beralasan
Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menegaskan pihaknya tak pernah mengucapkan pernyataan rasis. ICW, kata Wana, sangat menghargai dan mematuhi bahwa seluruh elemen warga dapat melakukan demonstrasi, karena itu merupakan hak mereka.
“Kami masih mempertanyakan motivasi yang dilakukan oleh kelompok demonstran tersebut, karena pada akhirnya ketika kami coba ingin melakukan upaya klarifikasi terhadap apa yang disampaikan, para demonstran cenderung bersikap defensif,” kata Wana di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Senin (26/2/2024).
Wana menegaskan bahwa ICW tidak akan menuruti tuntutan para peserta aksi. Sebab, kata dia, ketika diminta klarifikasi atas tudingan rasisme tersebut, Format NKRI bersikeras menolak membuka ruang dialog.
Sementara itu, Wana menegaskan bahwa para peserta aksi merupakan terlapor atas kejadian pembubaran diskusi di Universitas Trilogi yang disertai dugaan tindakan kekerasan.
“Prinsipnya bagi kami adalah seluruh kritikan apakah itu kecurangan, pemakzulan, itu sah berdasarkan hukum. Jangan sampai pemerintah takut terhadap kritik ketika ada upaya pemakzulan, tiga periode aja mereka bisa melontarkan. Masa masyarakat sebagai pemegang, penerima manfaat itu tidak boleh untuk menyampaikan aspirasi,” sebut Wana.
Di sisi lain, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Jabodetabek, menolak dan mengecam keras segala tindakan pengatasnamaan Papua, Orang Papua, bahkan Mahasiswa Papua, oleh massa aksi Format NKRI.
Ketua IMAPA, Okto Wimelek Gobai, menilai demonstrasi yang dilakukan Format NKRI dapat berujung pada konflik horizontal masyarakat sipil.
“Kami mempertanyakan kepada Format-NKRI di mana selama ini ketika orang Papua mengalami rasisme, diskriminasi, pelanggaran HAM dari negara selama bertahun-tahun,” kata Okto dalam keterangan tertulis, Selasa (27/2/2024).
IMAPA Jabodetabek menilai, lembaga-lembaga pembela HAM yang didemo justru memberikan banyak peran kepada Papua. Misalnya, YLBHI disebut selalu mendampingi mahasiswa ketika melakukan aksi-aksi mengutuk kekerasan negara di Papua.
“Gedung LBH, YLBHI Jakarta pernah menjadi tempat perlindungan bagi mahasiswa/i Papua di Jakarta yang melakukan aksi penolakan ujaran rasisme di Surabaya pada 2019,” terang Okto.
Begitupun Kontras, kata Okto, dalam perjalanannya selalu mengadvokasikan kekerasan negara dan pelanggaran HAM di Papua, misalnya kasus mutilasi di Timika. Sementara Lokataru melalui Direktur Eksekutif Haris Azhar pernah melakukan penyelidikan kasus penembakan Pdt. Yeremia Zenambani di Intan Jaya.
“Kami berpendapat tindakan Format NKRI tersebut merupakan upaya negara untuk menekan suara-suara kritis dan menyembunyikan kekerasan di Papua,” ujar Okto.
Reporter Tirto sudah mencoba menghubungi Istana menanyakan respons pemerintah atas posisi mereka dalam menerima kritik kecurangan pemilu dan gencarnya diskursus pemakzulan Presiden Jokowi. Namun, pesan yang dilayangkan ke ponsel Koordinator Stafsus Presiden, Ari Dwipayana dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Wandy Tuturoong tidak direspons. Mensesneg Pratikno dan Stafsusnya Faldo Maldini, setali tiga uang.
Sebelumnya, Presiden Jokowi sudah merespons soal wacana hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024. Usulan ini muncul disertai tudingan keterlibatan pemerintah dalam melakukan kecurangan demi memenangkan paslon capres-cawapres tertentu.
“Itu hak demokrasi, enggak apa-apa,” kata Presiden Jokowi, Jakarta, Selasa (20/2/2024).
Demokrasi atau Vetokrasi?
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Kontras, Andi Muhammad Rezaldy, menilai aksi demonstrasi yang dilakukan Format NKRI kepada lembaganya ada kaitan dengan maraknya laporan masyarakat sipil terhadap dugaan kecurangan pemilu.
Andi menduga rentetan peristiwa demonstrasi yang menyasar lembaga pembela HAM beberapa waktu belakangan, menunjukkan secara psikologis ada kekhawatiran dari penguasa karena terungkapnya berbagai masalah.
“Selain itu, kami juga heran, pada pernyataan kami mana secara spesifik yang disebut rasis. Kami tidak pernah memberikan pernyataan seperti yang dituduhkan,” kata Andi kepada reporter Tirto, Selasa (27/2/2024).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan aksi demonstrasi yang menyasar beberapa lembaga pembela HAM sebagai bentuk intimidasi.
Data Amnesty International Indonesia mencatat, sejak masa kampanye pemilu hingga sehari jelang pencoblosan pada 14 Februari 2024, paling tidak ada 16 kasus serangan yang menyasar 34 pembela HAM yang bersuara kritis terhadap pemerintah. Bentuknya mencakup pelaporan ke polisi, intimidasi, dan serangan fisik.
“Di tengah munculnya intimidasi terhadap aktivis dan pembela HAM yang mengkritik pemerintah dan jalannya pemilu, kami mendorong agar protes-protes tersebut tidak berujung pada penghalangan kritik-kritik damai,” kata Usman kepada reporter Tirto, Selasa (27/2/2024).
Usman menyerukan kepada pihak berwenang dan semua pihak yang terlibat untuk mengambil langkah-langkah yang tegas melindungi pembela HAM.
“Memastikan bahwa mereka dapat bekerja tanpa rasa takut atau gangguan intimidasi dari pihak manapun,” ujarnya.
Peneliti politik senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpendapat pembungkaman kritik dan kurangnya partisipasi publik dalam kebijakan merupakan tanda menyempitnya demokrasi. Hal yang menurut Firman sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir.
“Cerminan bahwa demokrasi kembali belum menemukan bentuk terbaiknya,” ujarnya.
Demokrasi di Indonesia, kata dia, dalam beberapa penelitian memang sudah menunjukkan tendensi ke arah otoritarian. Sebutan yang paling tepat terhadap fenomena ini adalah indikasi munculnya pemerintahan vetokrasi.
Vetokrasi merupakan kemampuan sekelompok penguasa kepentingan memblokir tindakan kolektif masyarakat sipil. Negara hukum yang seharusnya mengakomodasi demokratisasi berubah menjadi negara kekuasaan yang membungkam nalar kritis warga.
“Tendensi dalam bentuk [pemerintahan] otoriter itu ada ya, walaupun belum sampai bisa disebut bentuk otoritarianisme,” tutur Firman.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi