Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Siapa Petahana & Elite Parpol Berpotensi Gagal Lolos ke Senayan?

Kahfi menekankan dalam metode Saint Lague masih membuka peluang suara yang kecil sekalipun bisa dapat kursi.

Siapa Petahana & Elite Parpol Berpotensi Gagal Lolos ke Senayan?
Header Pileg. tirto.id/quita

tirto.id - Peta perolehan suara pemilihan legislatif (Pileg) 2024 mulai tergambar. Sejumlah caleg petahana dan elite partai politik mulai terlihat, siapa yang diprediksi lolos dan siapa yang berpotensi gagal masuk ke Senayan sebagai anggota dewan.

Sebut saja sejumlah elite yang bertarung di daerah pemilihan DKI Jakarta. Mengutip data sementara KPU yang dikutip dari Sirekap per 22 Februari 2023 pukul 23.00 WIB, terdapat beberapa nama berpotensi gagal pada Pemilu 2024.

Di Dapil DKI Jakarta I misal, ada Wakil Ketua Umum DPP Partai Nasdem, Ahmad Ali. Ia berpotensi gagal ke parlemen karena perolehan suaranya kalah bersaing. Meski suaranya masih masuk dalam 10 besar, tapi di dapil ini hanya tersedia enam kursi.

Nasib yang sama juga berpotensi dialami Ario Bimo Nandito. Politikus Partai Golkar saat saat ini menjabat sebagai menteri pemuda dan olahraga (menpora) ini juga diprediksi gagal melenggang ke parlemen. Di dapil ini, PKS unggul dengan suara cukup signifikan, disusul PDIP, lalu Partai Gerindra.

Bergeser ke Dapil DKI Jakarta II, persaingan jumlah suara jauh lebih sengit. Berdasarkan data sementara (57,11 persen), perolehan suara Eriko Sotarduga dan Masinton Pasaribu masih kalah dari Once Mekel. Jika misalnya PDIP hanya dapat satu kursi dari dapil ini, maka Eriko dan Masinton terancam gagal masuk parlemen lagi. Namun, bila PDIP dapat 2 kursi, maka masih ada peluang.

Di luar Jakarta, ada beberapa tokoh dan elite partai yang juga terancam gagal ke parlemen. Sebut saja mantan Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum. Uu, yang maju lewat PPP, berpotensi gagal lolos parlemen karena suara sementara yang didapatkan Uu kalah bersaing di internal partai.

Berdasarkan data Sirekap KPU (suara yang masuk baru 63,81 persen), Uu hanya mengantongi 2.639 suara, kalah jauh dari rekan separtainya, Patrika Susana yang mengantongi 16.316 suara dan Muhammad Shofy dengan 21.143 suara. Di Dapil Jabar VIII ini ada 9 kursi yang diperebutkan dan suara sementara PPP berada di urutan ke-10.

Bergeser ke Dapil Jawa Timur VI, Arteria Dahlan, juga berpotensi tidak lolos bila PDIP hanya mendapatkan dua kursi dari dapil ini. Namun, bila PDIP mampu memborong tiga kursi seperti Pileg 2019, maka kesempatan Arteria kembali masuk parlemen masih terbuka lebar karena suara dia terbesar ketiga di internal PDIP.

Data sementara Sirekap KPU (data masuk 85,24 persen), Arteria mendapatkan suara sebanyak 45.891. Ia berada di bawah Pulung Agustanto yang mendapat suara sangat tinggi, yaitu 135.848 suara serta Sri Rahayu dengan perolehan suara sebanyak 82.791.

Di dapil sebelahnya, yaitu Dapil Jatim V, ada Krisdayanti. Caleg petahana yang juga penyanyi ini terancam gagal ke parlemen bila PDIP hanya mendapatkan dua kursi. Meski suara Perempuan yang akrab disapa KD ini cukup tinggi, yakni 40.944, tapi suara dia masih kalah dari Ahmad Basarah (49.610 suara) dan Andreas Eddy Susetyo (45.559).

Berdasarkan data sementara Sirekap KPU (suara yang masuk baru 70,38 persen), PDIP finis di urutan kedua setelah PKB. Bahkan suara PDIP tidak jauh berbeda dengan Gerindra yang berada di urutan ketiga. Pada Pileg 2019, PDIP mendapatkan tiga kursi dari dapil ini, sedangkan PKB hanya dua kursi. Namun, pada Pileg 2024 ini, posisi PDIP justru di bawah PKB.

Selain terancam tidak lolos karena perolehan suara yang kurang, adapula yang potensi tidak lolos akibat suara partai yang tidak lolos ambang batas parlemen. Misalnya, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie. Ia berpotensi gagal lolos parlemen karena suara PSI tidak sampai 4 persen secara nasional. Padahal Grace mengantongi 40.287 suara sementara di Dapil DKI Jakarta III.

Nasib serupa juga dialami Ketua Harian Partai Perindo, M. Zainul Majdi. Pria yang dikenal dengan panggilan TGB itu mengantongi 106.132 suara di Dapil NTB II, tetapi Partai Perindo tidak lolos parlemen karena suara nasional berpotensi kurang dari 4 persen.

Popularitas Bukan Jaminan

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan, mengatakan caleg suara besar tidak serta-merta bisa lolos parlemen. Ia juga menilai keterkenalan elite juga tidak menjadi jaminan bisa melenggang ke Senayan.

“Tergantung berapa kursi yang akan didapat partai. Bisa jadi suaranya besar, tetapi kemudian ketika dibandingkan dengan suara teman-temannya dalam satu partai yang jomplang misalnya, bisa jadi partai hanya dapat satu kursi atau bahkan enggak dapat kursi,” kata Kahfi, Jumat (23/2/2024).

Kahfi mengatakan penentuan yang terpilih harus menunggu penetapan hasil rekapitulasi Pileg 2024. Ia mengatakan penghitungan pileg berjalan lebih rumit daripada Pilpres 2024. Sebab, kata dia, penghitungan pileg menggunakan sejumlah tahapan.

Ia mencontohkan perhitungan akan melihat apakah suara partai tembus ambang batas parlemen atau tidak. Setelah dinyatakan lolos, suara partai lalu dihitung dengan pendekatan Saint Lague bagaimana jumlah kursi yang diperoleh partai.

“Jadi bisa jadi suara calegnya itu enggak banyak, kalah kalau misalkan dibandingkan tiap caleg di dalam satu dapil dengan partai berbeda-beda, mungkin bisa beda. Bisa enggak dapat atau peringkat lebih bawah, tapi karena misalnya partainya punya suara banyak kalau diakumulasikan, mungkin dia dapat kursi lebih dari 3, bisa jadi malah dia yang duduk,” kata Kahfi.

Kahfi paham bahwa keterkenalan faktor utama dari beragam faktor yang membuat keterpilihan legislatif. Ia mengakui tidak banyak orang mendapat informasi soal caleg. Ketika bicara soal partai, hal itu bisa lebih mudah.

Akan tetapi, kata dia, keterkenalan tidak serta-merta bisa membuat mereka lolos Senayan. Ia mencontohkan Ahmad Ali yang berada di dapil baru, DKI Jakarta I. Padahal sebelumnya ia berasal dari Sulawesi Tengah. Ahmad Ali tentu kalah bersaing dengan Mardani Ali Sera, politikus PKS yang lama membangun konstituen di Jakarta I.

Kahfi menambahkan persaingan akan semakin sengit ketika partai sudah ditentukan, mendapat hanya 2 kursi, sementara suara caleg berdekatan. Suara caleg lantas diperingkatkan mana yang lebih tinggi akan dapat kursi.

“Walaupun dia tinggi kalau misalnya teman separtai lebih tinggi, dia enggak akan dapat kursi walaupun misalnya dibandingkan caleg-caleg di partai lain, mungkin suara jomplang, tetapi karena partai lain mungkin dapat 1 kursi, ya mereka yang dapat,” kata Kahfi.

Di sisi lain, Kahfi menekankan metode Saint Lague pun masih membuka peluang suara yang kecil sekalipun bisa dapat kursi. Ia mengatakan bisa saja caleg suara besar misalnya di peringkat 3 terbesar, tidak dapat dilantik lantaran jumlah kursi yang diperoleh partai hanya 2 kursi.

“Makanya lagi-lagi untuk penentuan ini memang agak rumit dan tidak bisa kita pastikan langsung sekarang walaupun kita sudah lihat perolehan suara berapa, tapi lagi-lagi kita harus tunggu penetapan hasil sehingga kita bisa tentukan berdasarkan metode Saint Lague yang didapat oleh partai politik,” kata Kahfi.

Sementara itu, analis politik dari Skala Data Indonesia, Arif Nurul Imam, menegaskan bahwa penghitungan kursi legislatif berbasis metode Saint Lague. Ia mengamini bahwa suara caleg besar bahkan elite partai tidak serta-merta lolos di Pileg 2024.

“Kalau suara caleg gede, tapi tidak lolos karena kursi partai tidak terpenuhi untuk memenuhi 1 kursi,” kata Imam kepada Tirto, Jumat (23/2/2024).

Imam mengatakan, ada beberapa faktor petahana gagal lolos. Pertama, bisa saja caleg tersebut tidak merawat atau memperjuangkan konstituen. Kedua, partai bisa saja tidak bisa merebut suara untuk kepentingan satu kursi sebagai sebuah partai dalam rekapitulasi. Faktor lain adalah persaingan politik daerah semakin kuat.

“Mungkin memang persaingan makin keras sehingga menggerus suara-suara petahana,” kata Imam.

Imam menilai publik belum bisa melihat perolehan suara dan kursi di parlemen. Ia beralasan, angka penghitungan masih di angka 50 persen. Ia berkeyakinan hilal kursi legislatif baru terlihat ketika angka mencapai 80 persen.

“Masih apalagi caleg yang selisih tipis nanti kan di sisa suara itu,” kata Imam.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz