Menuju konten utama

Asa Petani Kopi: Upaya Menopang Ekonomi & Mendobrak Ekspor

Di tengah potensi yang ada, petani kopi di Indonesia umumnya masih memiliki masalah klasik yakni memperluas pasar.

Asa Petani Kopi: Upaya Menopang Ekonomi & Mendobrak Ekspor
Sekretaris Perusahaan Askrindo, Cahyo Hari Purwanti bersama dengan kelompok Tani tengah meninjau perkebunan kopi di Desa Catur, Kabupaten Bangli. tirto.id/Dwi Aditya Putra

tirto.id - Di usianya yang tidak lagi muda, Wayan Darma masih memiliki keyakinan kuat. Dengan menjadi petani kopi, kondisi ekonominya dapat jauh lebih berkembang. Ini sekaligus mematahkan stigma buruk 'petani' yang dianggap melekat dengan kemiskinan.

Wayan adalah salah satu dari puluhan Kelompok Tani Wisnu Sariguna, di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Di dataran ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut itu, ia dkk menaruh asa kehidupan dari hasil tanaman kopinya.

“Bahwasanya dengan kami menjadi petani kopi, ekonomi kami akan meningkat,” kata Wayan saat ditemui reporter Tirto di Bali, Kamis (22/2/2024).

Tanaman kopi di Desa Catur mulai dikembangkan dan ditanami sejak era Presiden Soeharto pada 1979. Saat itu, para kelompok tani masih awam atau belum mengetahui tujuan daripada menanam kopi itu sendiri. Mulai dari bagaimana cara budidayakan, proses produksi, hingga cara pemasaran.

Barulah pada 1999, ilmu dari pemerhati kopi mengajarkan para petani untuk mulai melakukan budidaya. Dari situ kemudian petani di Desa Catur mulai terbiasa berkebun, memanen kopi, kendati belum mengetahui apakah hasilnya akan membawa kesejahteraan bagi mereka.

"[Dulu] belum tentu kita ketahui ke mana arah kopi nantinya dan akan membawa dampak apa kopi itu sendiri," imbuh Wayan.

Seiring dengan perkembangan zaman dan modernisasi sekarang, petani kopi yang turun-menurun ini mulai menjadi profesi menjanjikan bagi warga setempat. Dibantu oleh berbagai pihak, para petani kemudian memahami cara memaksimalkan kopi hingga ke hilir.

“Berjalannya waktu, kami terus kerja sama dengan pihak tertentu bagaimana kami bisa meningkatkan SDM kami. Bagaimana petani di sini menjadikan kopi itu sebagai tolak ukur ekonomi," ujar dia.

Saat ini, Kelompok Tani Wisnu Sariguna, baru mampu memproduksi 10.000 ton per tahun. Meski masih terkendala kapasitas produksi di hilirnya, permintaan Kopi Arabika Kintamani punya pangsa pasar cukup besar di dalam negeri.

Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi Kopi Arabika menurut di Provinsi Bali dalam dua tahun terakhir mengalami penurunan. Pada 2022, total produksi kopi hanya mencapai 3.892 ton per tahun. Lebih rendah dibandingkan 2021 sebelumnya 3.983 ton per tahun.

Khusus di Kabupaten Bangli, total produksinya pada 2022 mencapai 2.082 ton per tahun. Total produksi ini juga menurun dibandingkan periode sebelumnya 2021 sebesar 2.173 ton per tahun.

“Bagaimana kita bisa memberikan jaminan bahwa kopi saya terbaik dengan kendala fasilitas [produksi] tadi," kata dia.

Wayan Darma

Wayan Darma, Petani Kopi Kelompok Tani Wisnu Sariguna, tengah menjelaskan potensi Kopi Kintamani. tirto.id/Dwi Aditya Putra

Citra Rasa Khas

Soal kualitas dan rasa lidah memang tidak bisa bohong. Kopi Arabika yang berasal dari Pulau Dewata ini, memiliki cita rasa serta aroma yang cenderung citrusy yang segar ditambah hint chocolaty, karamel atau brown sugar.

Kopi Kintamani ini juga tidak memiliki cita rasa atau aroma spicy atau rempah-rempah khas jenis kopi di Indonesia lainnya. Hal ini berkat proses penanamannya yang unik.

Sedangkan untuk body-nya cenderung medium dan tidak terlalu terasa pahit dengan rasa asam seperti jeruk. Hal inilah yang membuat Kopi Kintamani disukai.

“[Ciri khas] asem, manis, pahit itu ada. Sedangkan bukan karena geografis kami ditanami jeruk, sehingga muncul rasa asamnya bukan. Itu muncul ada dikandungan geografis itu sendiri alami,” ujar Wayan.

Sesuai dengan filosofi 'Tri Hita Karana' yang masih dilestarikan hingga kini, semua proses penanaman hingga panen kopi di Desa Catur, dilakukan secara alami dan tradisional. Tri Hita Karana sendiri jika diterjemahkan menjadi tiga penyebab kebahagian.

Salah satunya adalah filosofi untuk menjaga keseimbangan alam. Perkebunan Kopi Kintamani menjaga keseimbangan alam dengan juga menggunakan sistem irigasi subak, pupuk organik, dan tanpa pestisida. Selain itu,penanaman pohonnya ditanam beriringan dengan pohon jeruk atau sayuran.

Jadi, tidak heran jika Kopi Kintamani juga dikenal sebagai kopi yang ecofriendly karena proses penanamannya yang begitu memerhatikan lingkungan. Kopi Kintamani juga sudah memiliki sertifikat Geographical Indication yang artinya jenis kopi ini sudah diakui secara internasional keberadaannya.

Proses penyeduhan sendiri bisa dengan cara tradisional, yaitu tubruk. Kopi tubruk ini memang secara luas dikenal dari Sabang sampai Merauke. Proses pembuatannya mudah karena hanya membutuhkan bubuk biji kopi halus dan air panas saja.

Kopi Kintamani yang diseduh dengan cara tubruk juga memunculkan aroma yang lebih kuat. Biasanya warga lokal Bali juga menambahkan gula sebagai pemanis alami.

“Sangkin khasnya Kopi Kintamani yang asli pada dasarnya itu saya bisa menentukan 'oh ini bukan kopi saya'," imbuh Wayan.

Kendala Ekspor

Di tengah potensi yang ada, petani kopi di Indonesia umumnya masih memiliki masalah klasik yakni memperluas pasar. Kebanyakan petani kopi, belum memiliki kemampuan untuk mengolah biji kopi menjadi produk siap jual.

Permasalahan ini juga dirasakan pada petani Kopi Arabica Kintamani di Desa Catur, Kabupaten Bangli. Padahal kualitas kopi mereka tak kalah dari wilayah Indonesia lain, seperti kopi Aceh maupun Lampung.

Sayangnya, petani di sini belum bisa mengolah dan menjualnya dengan harga kompetitif. Keluhan petani ini disampaikan kepada Sekretaris Perusahaan PT Askrindo, Cahyo Hari Purwanto.

"Tadi saya ngobrol dengan para petani, tantangannya bagaimana setelah menanam, jadi petani itu harus mengolah mereka mengolah itu mungkin nggak punya alat, keahlian juga belum," kata Cahyo.

Dengan keterbatasan tersebut, petani kopi lebih memilih datang ke tempat roaster. Namun, ada cost yang harus dikeluarkan petani sehingga membuat margin berkurang.

"Keuntungan petani sekarang cuma 10 persen yang banyak keuntungan ada di barista, kalau dia bisa meningkatkan margin dengan mengurangi cost produksi tadi petani akan lebih sejahtera," ucap dia.

Untuk itu, dia menilai pelatihan marketing bagi petani sangat penting. Dengan begitu, petani kopi tidak hanya jago menanam saja namun juga mahir berjualan produknya.

“Permasalah yang sering terjadi ketika petani bisa menanam tapi mengolah ga bisa apalagi menjualnya. Ini problem klasik yang terjadi, jadi butuh tekad juga dari para petani," ujar Cahyo.

Atas dasar itulah, Askrindo ikut membantu pemberdayaan UMKM secara nasional melalui program Pendanaan Usaha Mikro dan Kecil (PUMK) TJSL. Askrindo fokus terhadap proses pengembangan kualitas dan kuantitas pengolahan Kopi Kintamani dari hulu ke hilir.

“Program ini membantu para petani Kopi Arabica Kintamani dapat bersaing di pasar domestik dan mancanegara sehingga para petani dapat menghasilkan nilai tambah,” kata dia.

Selain Kopi Arabika, Askrindo juga telah membantu para mitra binaannya melakukan pemasaran hingga keluar negeri seperti Norwegia dan Turki. Selain bantuan pendanaan, Askrindo juga memberikan bantuan sarana produksi agar Kopi Langit Bali Kintamani ini terus dikenal luas oleh wisatawan.

Dukungan dari Askrindo, disambut baik kelompok tani di Desa Catur. Wayan dkk berharap hadirnya Askrindo membuat Kopi Arabika Kintamani mampu menembus pasar ekspor.

“Luar biasa dengan hadirnya Askrindo ke kita sangat membawa dampak sesuai dengan visi misi kita di sini bagaimana kami menjadi petani. Di luar sosok petani nilainya dipandang rendah, tetapi kami meyakini dengan kami menjadi petani kami akan mampu melakukan apa pun," tukas dia.

Baca juga artikel terkait KOPI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz